oleh: EMHA AINUN NADJIB
Bangsa Indonesia
segera akan tiba pada salah satu puncak eskalasi pertengkarannya di antara
mereka sendiri sesaudara.
Salah
satu hasil minimalnya nanti adalah tabungan kebencian, dendam, dan permusuhan
masa depan yang lebih mendalam. Maksimalnya bisa mengerikan. Kita sedang
menanam dan memperbanyak ranjau untuk mencelakakan anak-cucu kita sendiri
kelak.
Masing-masing yang sedang
bertengkar memiliki keyakinan atas kebenarannya dari sisinya. Dan, tidak perlu
ada yang memperpanjang masalah serta menambah ranjau dengan mempersalahkan
pihak ini atau itu. Minimal, untuk sementara, ada baiknya menghindari
”kenikmatan” menuding ”siapa yang salah”. Sebab, kalau salah-benar diposisikan
pada subyek, kemudian yang ditegakkan adalah pro-kontra, maka semua akan
terjebak situasi subyektif: kalau ”pro” suatu pihak, maka ia ”benar 100
persen”; kalau ”kontra” suatu pihak, maka ia ”salah 100 persen”. Kita berada
sangat jauh dari kedewasaan berpikir.
Produknya, kita bermasalah
terhadap dua hal. Pertama, anak cucu kita akan kebingungan mempelajari sejarah
”kebenaran melawan kebenaran” dan ”kebaikan melawan kebaikan”. Kedua, kita
mempertengkari hakiki kemanusiaan kita sendiri sebab ”setiap orang dan pihak
ada benarnya dan ada salahnya”. Tidak bisa benar mutlak, tidak bisa salah
absolut.
Meskipun pahit dan tidak nyaman,
tapi yang sekarang perlu dilakukan memang bukan mendiskusikan ”siapa yang salah”,
melainkan duduk bersama untuk secara jernih menemukan ”apa yang salah”. Itu
perlu pengorbanan pada harga diri subyektif masing-masing. Sebab, keselamatan
sejarah Indonesia membutuhkan kejujuran, kejernihan, dan kejantanan untuk
saling menemukan kesalahan diri dan kebenaran orang lain.
Berpikir,
bersikap, dan bertindak NKRI
Yang saya maksud ”puncak eskalasi
pertengkaran” adalah segera akan muncul adegan di panggung di mana ”yang kuat
mengalahkan yang lemah”. Seseorang mungkin akan menang di pengadilan ataupun di
pemilihan. Sebelum itu, faktor-faktor yang dianggap kontraproduktif terhadap
kemenangan itu mungkin akan dipastikan untuk dipadamkan, ditangkap,
dipenjarakan, dibubarkan, diberangus atau dikebiri. Minimal dieliminasi.
Mungkin yang bisa terjadi adalah
letupan pertengkaran kecil, tapi itu rintisan lebih mendalam untuk masa depan
pertengkaran yang lebih besar. Pertanyaan yang muncul adalah: apa hebatnya
bangsa Indonesia mengalahkan bangsa Indonesia? Kalau dalam hidup ini memang
harus ada yang dimenangkan dan dikalahkan, apakah itu juga berlaku untuk sesama
bangsa Indonesia? Itukah makna nilai bineka?
Kalau
belajar dari filosofi Jawa: kegaduhan yang sekarang terjadi adalah sopo siro sopo ingsun (siapa kamu siapa aku, emang-nyakamu siapa!). Salah satu outputnya adalah adigang adigung adiguna (sok kamu ini, saya lindas!). Konstelasi
dikotomisnya adalah ”Habil dibunuh Qabil”. Hitam-putihnya adalah ”Putih
melindas Hitam”. Persoalannya: masing-masing merasa yakin dan memiliki
argumentasi bahwa ia adalah Habil, yang merasa terancam oleh Qabil sehingga
mendahului untuk memberangus Qabil. Bahwa ia adalah Putih, yang merasa dimakari
oleh Hitam, sehingga harus bersegera menumpas Hitam. Sementara yang ditumpas
juga meyakini bahwa ia adalah ”Habil yang dibunuh Qabil” dan ”Putih yang
diberangus oleh Hitam”.
Mana Bapa Adam? Mana Ibu Hawa? Habil
ataupun Qabil adalah putra-putranya sendiri. Adam Hawa tidak berpikir bahwa
Qabil adalah musuhnya meskipun ia mengancam putranya yang lain. Yang mengancam
dan diancam sama-sama anaknya. Adam-Hawa mempelajari keduanya dengan sabar.
Mencari cara agar Habil tidak dibunuh, tetapi cara yang dipilih bukan membunuh
Qabil duluan sebelum ia membunuh Habil. Posisi Adam tak ubahnya berpikir dan
bersikap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Yatim
piatu tiada tara
Bangsa Indonesia adalah anak
yatim piatu. Tidak punya bapak yang disegani dan tidak ada ibu yang dicintai.
Saya coba menjelaskan hal ini melalui dua terminologi.
Pertama, ketika lahir, NKRI
memang lebih berpikir ”membikin sesuatu yang baru” dan kurang berpikir
”meneruskan yang sudah ada sebelumnya”. Kita memilih ”sejarah adopsi” dan tidak
merasa perlu menekuni ”sejarah kontinuasi”. Kita dirikan ”negara” dan
”republik” dengan mengadopsi prinsip, tata kelola, sistem nilai, birokrasi, dan
hukum.
Kita meneruskan ”mesin Belanda”
meskipun dengan memastikan pengambilalihan kepemilikan. Kita tidak mengkreatifi
kemungkinan formula yang otentik hasil karya kita sendiri, yang merupakan
kontinuitas kreatif dari apa yang sudah dilakukan oleh nenek moyang kita. Sejak
merdeka kita memang seolah-olah ”sengaja” meninggalkan orangtua kita sendiri.
Padahal, Belanda sendiri, juga banyak negara Eropa lain, tetap berpijak pada
kerajaan ”orangtua” mereka. Fakta yang itu justru tidak kita adopsi.
Juga tidak belajar kepada
Majapahit, umpamanya. Kencanawungu atau kemudian Hayam Wuruk adalah kepala
negara, Gajah Mada adalah perdana menteri. Kepala negara bikin kebijakan dan
sistem kontrol, perdana menteri berposisi eksekutif dalam kontrol negara. Hari
ini kepala pemerintahan kita adalah juga kepala negara. Mahkamah Konstitusi, Komisi
Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan sebagainya adalah lembaga negara,
tapi faktanya mereka berlaku sebagai lembaga pemerintah karena bangsa Indonesia
tidak merasa perlu membedakan antara negara dan pemerintah.
Negara adalah bapak, Tanah Air
adalah ibu (Pertiwi). Negara adalah keluarga, pemerintah adalah rumah tangga.
Manajemen rumah tangga adalah bagian dari manajemen keluarga. Pegawai negeri
sipil (PNS) yang diganti namanya jadi aparatur sipil negara (ASN) tidak beralih
kesadaran bahwa mereka adalah abdi negara, yang patuh kepada UU negara. Bukan
abdi pemerintah, yang taat kepada atasan. Kalau anak merasa ia adalah bapak
yang memiliki dan menguasai ibu, maka sangat banyak pertanyaan yang mencemaskan
atas NKRI hari ini dan di masa depan.
Sekarang anak-anak sedang nikmat
bertengkar, tidak ada bapak yang mereka segani, tidak ada ibu yang mereka
cintai. Keluarga kita menjadi sangat rapuh, dan para tetangga mengincar kita,
menginfiltrasi kita, menusuk masuk ke tanah dan jiwa kita, menggerogoti hak milik
kita untuk dijadikan milik mereka.
Kedua, di
antara bapak-ibu bangsa Indonesia yang Jawa memberikan pesan tentang sandang pangan papan, keris pedang cangkul, gundul pacul, kawula gusti, dan
sebagainya. Pasti banyak juga pesan dari nenek moyang mereka yang Sunda,
Minang, Bugis, Batak, Sasak, Madura, dan ratusan lainnya, yang setelah merdeka
semua itu kita sekunderkan, atau bahkan kita remehkan dan kita lupakan. Itu
menyebabkan sekarang kita tidak lagi punya ”pusaka”, dalam dimensi kejiwaan
bangsa ataupun dalam penerapan tata sistem, konstitusi, dan hukum pengelolaan
kebersamaannya.
Yang tak kita ketahui
Apa yang
di awal tulisan ini saya sebut sebagai ”puncak eskalasi pertengkaran” adalah
jika pemerintah, yang bertindak atas nama negara, menerapkan ing ngarsa sung kuwasa: berdiri
paling depan dengan kekuasaan untuk menguasai dan dengan kekuatan untuk
mengalahkan.
Adapun posisi manusia itu ngawula atau menghamba. Maka, sila ke-1 Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Janji nasional untuk menghamba kepada Tuhan. Dalam peradaban kerajaan, raja diverifikasi, dikualifikasi, kemudian dipercaya sebagai representasi dari Tuhan. Maka, kawula, rakyat, menghamba kepada raja sebagai jalan menghamba kepada Tuhan.
Bangsa Indonesia adalah hamba-hamba Allah yang setia. Bahwa wasilahnya, proses identifikasi dan kualifikasinya untuk menentukan mengabdi kepada Tuhan melalui raja atau presiden siapa, bisa keliru, itu persoalan lain. Dan, ini bukanlah soal salah atau benar, bukan perkara baik atau buruk. Tetapi, jelas ada yang perlu dihitung kembali, dipikirkan ulang, hal-hal yang menyangkut formula pengelolaan kesejahteraan rohani jasmani bangsa Indonesia.
Kita
membutuhkan keselamatan masa depan dengan mempertanyakan kembali cara pandang,
sisi pandang, sudut pandang, jarak pandang, dan resolusi pandang, bahkan
kearifan pandangterhadap NKRI dengan seluruh perangkat hardware ataupun software-nya.
Bineka harus kita tunggal-ika-kan, bukan memelihara dan memperuncing permusuhan
di antara bineka.
Untuk jangka pendek, secara pribadi, saya mohon izin untuk mengemukakan kalimat sehari-hari. Bahwa, kalau engkau bermasalah terhadap Tuhan, kalau Tuhan tidak kau perlakukan sebagai subyek utama sejarah hidupmu, maka syukur Tuhan masih bisa menunda bencana. Tapi, kalau NKRI bukan konsiderasi primer langkah-langkahmu, maka tidak ada yang bisa menghindari bencana.
Engkau bisa mudah menguasai
pengurus NKRI, engkau bisa membeli lembaga-lembaga, menaklukkan ormas-ormas.
Tapi, pemerintah berbeda dengan bangsa Indonesia, bangsa Indonesia berbeda
dengan rakyat Indonesia, rakyat Indonesia berbeda dengan hamba-hamba Tuhan di
tanah air Indonesia. NU berbeda dengan nahdliyin, Muhammadiyah berbeda dengan
muhammadiyin. Ormas-ormas Islam berbeda dengan umat Islam, dan umat Islam
berbeda dengan Islam.
Ada yang bisa kau kalahkan, kau
taklukkan, kau rampok, kau tindas, dan perhinakan. Tapi, ada yang tidak. Yang
tidak bisa kau taklukkan itu adalah dimensi dan energi yang juga ada di semesta
dan tanah yang disebut Indonesia. Ada yang sama sekali tak kita ketahui tentang
besok pagi.
EMHA AINUN
NADJIB, BUDAYAWAN; PIMPINAN JAMAAH MAIYAH
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Januari 2017, di halaman 7
dengan judul "Bangsa Yatim Piatu"
0 comments:
Post a Comment