SAURIP KADI
Tulisan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di
harian Kompas pada 2 Januari 2017 dan 9 Januari 2017 perlu kita tanggapi dengan
serius agar tidak membuat publik galau dan kehilangan jati diri sebagai bangsa
yang berfalsafah Pancasila.
Pasalnya, SBY luput
membaca situasi geopolitik dan geoekonomi yang sedang berada pada masa ”arus
balik" (turning point) sejarah peradaban
bangsa-bangsa terkait 10 isu besar dunia dengan Indonesia menjadi pusat
perhatian dunia sebagai cikal bakal kemunculan tata dunia baru (New World Order). Sepuluh isu besar itu
adalah HAM, narkoba dan terorisme, lingkungan hidup, ketahanan pangan,
ketahanan energi, kemiskinan struktural, perdagangan manusia, tata ruang, tata
uang dunia pasca rontoknya ”gelembung ekonomi", dan ledakan jumlah penduduk,
SBY meminjam istilah game changers (pengubah jalannya sejarah/permainan) yang sering dipakai korporasi dalam
memenangi persaingan tanpa berdarah-darah karena gagasan dan cara yang
brilian.Seperti yang telah dilakukan Jeff Bezos, pendiri Amazon.com, di dunia
perdagangan ritel atau yang dilakukan oleh Elon Musk, pendiri Tesla Motors,
yang merajai dunia industri otomotif dengan temuan mobil listriknya.
Dan di Indonesia
tampaknya kini Go-Jek juga mulai mendesak layanan logistik lokal, transportasi
lokal, sekaligus menyemarakkan bisnis top kuliner, mengorganisasikan tukang
pijat freelance, tukang salon freelance dalam mendapatkan pelanggan,serta belanja praktis secara daring dan diantar
ke rumah. Masih banyak contoh lainnya.
Paul Krugman, peraih
Nobel ekonomi, dalam bukunya A Country Is Not a Corporate,menjelaskan bahwa pengelolaan sebuah
negara jauh lebih kompleks daripada korporasi. Meski demikian, tetap ada game changers atau terobosan cerdas yang bisa mengubah jalannya sejarah dalam tataran
pengelolaan negara sebagaimana terobosan di dunia korporasi.
Terlepas dari pro dan
kontra pandangan Krugman tentang negara dan korporasi, dalam konteks negara, game changers adalah pemimpin cerdas dari negara-negara yang mampu menjebol pasungan
realitas yang ada dan kemudian berbenah dengan platform baru memanfaatkan
globalisasi untuk kepentingan bangsanya.
Pilihan haruslah tepat.
Dalam tulisannya
tersebut, SBY menjelaskan, teman-temannya, para pemimpin dunia yang dia kenal
(kecuali Trump) yang menjadi game changers di abad ini, yaitu Donald Trump (Presiden
AS), Xi Jinping (Presiden Tiongkok), Vladimir Putin (Presiden Rusia), Angela
Merkel (Kanselir Jerman). Pertanyaan yang perlu dijawab adalah betulkah dalam
konteks Indonesia sejumlah pilihan tersebut tepat untuk kita jadikan contoh?
Sesungguhnya jika
disederhanakan, konsep nasionalisme (nation-state) adalah sebuah tatanan universal dunia abad modern pasca kolonialisme yang
rohnya adalah tetap, yaitu korporasi. Tatanan nation-state tersebut dirangkai dengan sistem keuangan global di mana mata uang adalah
”bendera” setiap negara untuk alattransaksi yang disepakati antarbangsa.
Dewasa ini mata uang
bukan lagi sebagai alat persatuan antarnegara dalam merumuskan tata dunia
bersama (World Order), melainkan kini sudah
berubah menjadi ”alat pertempuran” dalam “perang” di era globalisasi. Faktor
selanjutnya adalah asymmetric warfare/proxy warfare yang sangat mengandalkan
intelegensia dan antropologi karakter bangsa melalui dunia maya untuk
meyakinkan ilusi kekuasaan dan dampak ikutannya.
Apabila dilihat dari
faktor penentu (dominant factor), pilihan game changers bagi seorang kepala negara menjadi sangat mendasar karena otomatis akan
memengaruhi kebijakan yang hendak diterapkan. Dan menjadi fatal jika pilihannya
justru yang bertentangan dengan falsafah dan cita-cita luhur yang membarengi
dibentuknya negara dalam konteks Indonesia adalah Pancasila. Untuk bahan
perbandingan bisa diambil sejumlah contoh.
Pertama, Bung Karno.
Sebagai game changer yang diakui dunia pada masanya, Bung Karno
melihat ketimpangan antara Barat-Timur danUtara-Selatan. Ditilik dari potensi
sumber daya alam dan manusia sebagai penggerak ekonomi, mayoritas berada di
negara-negara Selatan dan Timur. Namun, dalam praktiknya yang tampilsebagai
negara maju di mana rakyatnya menikmati kemakmuran justru di Barat dan belahan
Utara. Maka, membaca Konferensi Asia Afrika akan lebih tepat jika dimaknai
sebagai pendefinisian baru tentang aset dunia dan perumusan tata dunia baru
yang lebih adil sehingga tercapai perdamaian dunia.Sangat disayangkan ide besar
yang dikenal dengan sebutan konsep ”jalan tengah” itu harus kandas karena Bung
Karno keburu lengser.
Kedua, Hun Jin Tao.
Tiongkok tak menganut hukum teori permintaan dan penawaran (demand and supply theory), teori penentuan harga
(pricing theory), dan model ekonomi ala
Barat yang diajarkan di universitas pada umumnya. Yang penting bagi Tiongkok
adalah rakyat bekerja, memproduksi apa saja mulai dari peniti sampai satelit.
Barang-barangTiongkok kemudian membanjiri pasar dunia dengan harga yang tak
tertandingi. Melalui marketing corp yang dibangun di negara-negara Eropa dan AS,
perdagangan barang-barang Tiongkok kemudian masuk bursa.
Banjir produk Tiongkok tersebut dijuluki
sebagai kebangkitan kemiskinan global karena berbagai kemewahan elitis menjadi
produk merakyat yang terjangkau secara global. Tanpa peperangan antarkelas
sebagaimana revolusi sosial sebelumnya dalam peradaban, Tiongkok telah
melakukan proses revolusi sosial secara global. Dan yang pasti cadangan devisa
Tiongkok mencapai 3 triliun dollar AS.
Ketiga, Mahathir
Mohammad. Dengan program Malaysia Incorporated, Mahathir melakukan tata ulang,
tata ruang, dan tata uang yang dibarengi kebijakan restrukturisasidi mana peran
pemerintah diubah sebagai pelayan publik dan pemimpin bisnis dengan membukakan
peluang bisnis global bagi sebanyak mungkin pebisnis Malaysia, terutama ke
Timur Tengah dan negara-negara Islam, termasuk Indonesia. Dibangun pasar Islam
yang prinsipnya seperti masjid (tak ada kepemilikan privat), siapa datang
duluan silakan memilih tempat yang terbaik (caravan model) di mana diharapkan guild (sentra produksi) mendapat tempat
berdagang secara adil dan tidak monopolistis. Dan Malaysia disulap sebagai tourism hub Asia Pasifik.
Keempat, Thaksin
Shinawatra. Hampir sejenis Mahathir, tetapi pilihan Thaksin pada agrobisnis,
yakni dengan mengembangkan pertanian, peternakan, dan perikanan yang
dimantapkan sebagai sektor unggulan rakyat yang produknya semua dibeli oleh
pemerintah untuk pasar global dan domestik. Hasilnya, kini Thailand menjadi hub agrobisnis tingkat dunia.
Contoh lain yang tak
kalah cerdas adalah Hugo Chaves (Presiden Venezuela), Ahmadinejad (Presiden
Iran), Rafael Correa(Presiden Ekuador), dan Lula da Silva (Presiden Brasil)
yang terbukti mampu menerapkan konsep Jalan Tengah bercirikan kerakyatan
kapitalistik dan coopetitive (cooperative and competitive) antarbangsa.
Warisan amburadul
Buruknya warisan yang
diterima Presiden Joko Widodo tak bisa lepas dari lintasan sejarah negeri ini.
Di zaman Orde Lama, pemerintah membentuk 200 lebih BUMN yang mengurus semua
kebutuhan rakyat, dari garam sampai pesawat terbang, semuadiurus negara. Di era
Orde Baru, sesungguhnya yang diterapkan sistem negara liberal di mana sejumlah
kroni pengusaha asing dan domestik diberi hak dan atau lisensi sehingga
tambang, hutan, pasar, produksi, dan lainnya dikaplingkapling dan diatasnamakan
konsep efek menetes ke bawah (trickle down effect). Pemilihan model tata kelola ekonomi ini justru
melahirkan proses pemiskinan.
Ambil contoh, rakyat kita mulai dari
Sabang hingga Merauke makan mi merek sama, minyak goreng merek sama, dan produk
lainnya. Dampak ikutan yang tak bisa dihindari adalah jutaan usaha kecil
pembuat mi, minyak goreng, kecap, dan lain-lainnyadi desa-desa mati semua. Maka
lahirlah pengangguran dan akibatnya terjadi urbanisasi ke kota.
Di zaman reformasi, pada hakikatnya yang
kita praktikkan adalah mencampur aduk gaya Orde Lama dan Orde Baru tanpa ada
perombakan mendasar, bahkan diperparah dengan munculnya elite politik baru
produk UUD 1945 hasil amandemen yang mendadak berkuasa dan merasa berhak atas
kapling-kapling bisnis untuk sumber dana politik. Lebih parah lagi, cara
tercepat untuk kepentingan dana politik adalah dengan memungut komisi dari
impor komoditas. Itu sebabnya kini sekitar 60 komoditas utama adalah impor dan
ini jelas mematikan petani, nelayan, dan produsen dalam negeri. Belum lagi
kebijakan pendirian mal di tengahkota dan jaringan minimarket masuk ke
desa-desa yang nyata-nyata menutup lapangan kerja puluhan juta tenaga kerja
yang selama ini terlibat dalam pasar dan warung tradisional.
Alhasil, rakyat Indonesia sudah jatuh
tertimpa tangga, diinjak-injak lagi. Bayangkan jika kontraktor pembangunan
swasta harus tender melawan BUMN raksasa seperti Adhi Karya, Wijaya Karya,
Pembangunan Perumahan (PP), Waskita Karya, dan lainnya. Proyek pemerintah,
modal dari pemerintah dan dijamin bank pemerintah. Bagaimana mungkin rakyat dengan
modal sendiri dan kalau rugi ditanggung sendiri harus tender melawan BUMN yang
kalau rugi ditanggung negara. Di mana keadilan, kalau macan dan kambing dalam
satu kandang?
Menjadi wajar kalau kemudian muncul
pertanyaan, sesungguhnya Indonesia negara seperti apa? Komunis? Tidak, karena
rakyat bebas bicara dan dibiarkan mengurus semuanya sendiri, bahkan malah pakai
ongkos. Liberal? Juga tidak, karena rakyatnya tak kebagian apa-apa. Bukankah
semua ladang gemuk sudah dikapling negara lewat ratusan BUMN dan yang tersisa
dikapling oleh sejumlah kroni asing dan domestik serta kaum politisi? Sementara
itu dalam praktiknya BUMN lebih sebagai ”sapi perahan” rezim berkuasa.
Padahal, kuncinya
sederhana, bangunlah, jangan terus mimpi. Dan ketika bangun cepat gosok mata
agar tidak silau, niscaya akan segera sadar bahwa diri kita inilah pusat dunia
masa depan. Zamrud khatulistiwa terbentang sama panjangnya dengan Benua Eropa,
tebaran mutiara mutu manikam, belasan ribu pulau, ribuan suku dan bahasa,
ratusan agama dan kepercayaan yang Bhinneka Tunggal Ika, menyatu dengan alam
semestanya yang tata tentrem kerto raharjo, damai untuk alam semesta.
Sepanjang para menterinya tidak gagal
paham, Nawacita dan revolusi mental bukan tak mungkin menjadi formula yang
tepat untuk menyelamatkan negeri tercintayang begituamburadul untuk segera
diubah menjadi Negara Korporasi Rakyat Indonesia, perekonomian sepuluh besar di
dunia. Di sinilah saya berbeda rasa dengan SBY, yakni soal pilihan, sama sekali
bukan soal ”selalu ada pilihan”.Namun, pilihan tepat yang mana, agar ke depan
kita tidak lagi menggunakan label Pancasila namun yang dilaksanakan kapitalisme
brutal.
SAURIP KADI, MANTAN ASISTEN
TERITORIAL KEPALA STAF TNI ANGKATAN DARAT
Versi cetak artikel ini terbit di harian
Kompas edisi 19 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Memahami Arus
Balik".
0 comments:
Post a Comment