Friday, 28 October 2016

Keberagaman yang Membangun

MEMBACA INDONESIA
28 Oktober 2016

Selama 232 tahun perjalanan Kerajaan Majapahit, sekitar 55 tahun di antaranya diisi dengan masa keemasan. Salah satu faktor pendukung terwujudnya masa keemasan itu adalah adanya keseimbangan antara kepercayaan lokal serta dua agama dominan di kerajaan itu, yaitu Hindu/Shiwa dan Buddha.
Pada era keemasan Majapahit inilah Mpu Tantular menuliskan buku Sutasomayang di dalamnya ada kalimat Shiwa-Buddha Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa. Artinya, agama Hindu dan Buddha berbeda tetapi satu, sebab kebenaran tidak pernah mendua. Penggalan dari kalimat itu kini tertulis di lambang negara kita, burung Garuda Pancasila.
Nilai lokal yang tumbuh di masyarakat Majapahit menjadi dasar dari keseimbangan antara Hindu/Shiwa dan Buddha di kerajaan itu. Nilai lokal ini pula yang mendasari terciptanya toleransi di berbagai level masyarakat di Majapahit.
Kuatnya nilai lokal ini dapat ditemukan di buku Java in the 14th Century. Dalam bab I buku karya Pigeaud itu disebut bahwa "om" dalam bait pembuka Nagarakretagama adalah paralelisme antara pola pikir Jawa dan Shiwaisme dan Buddhisme.
Keberadaan nilai lokal yang menunjukkan bahwa toleransi sudah menjadi hal yang inheren di masyarakat pada era Majapahit, antara lain tecermin dalam cerita tentang Gagang Aking, pemeluk Shiwa yang asketis, dan Bhubuksa, penganut Buddha yang nyentrik. Dua bersaudara yang setiap hari mereka berangkat bersama dari rumah untuk melaksanakan ritual tapa ini menjalani hidup dengan cara yang berbeda. Bhubuksa senang makan segalanya sehingga tambun. Sementara Gagang Aking berpuasa terus-menerus jadi kurus kering.
Suatu hari, Bhubuksa dan Gagang Aking diuji. Masing-masing diminta mengorbankan nyawanya untuk seekor harimau yang kelaparan. Gagang Aking serta-merta menolak, sementara Bhubuksa rela menjadi santapan harimau yang adalah jelmaan Bhatara Guru. Keduanya akhirnya masuk nirwana. Namun, jika Bhubuksa dengan duduk di punggung harimau, Gagang Aking dengan berpegangan pada ekornya.
Kisah Gagang Aking dan Bubuksha ini menjadi relief di beberapa candi Shiwa, yaitu di Candi Surawana dan Candi Tigawangi di Kediri serta di pendopo teras Candi Penataran yang ada di Blitar, Jawa Timur. "Di Gunung Klotok, Kediri, pertapaan mereka masih ada di satu area," kata arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono.
Dari kisah rakyat yang cenderung komikal itu, ada beberapa hal yang bisa ditarik. Pertama, adalah wajar jika dalam satu keluarga ada perbedaan keyakinan. Bahkan, perbedaan keyakinan itu ada dalam keluarga kerajaan Majapahit. Rajapatni, salah satu istri Raden Wijaya beragama Buddha, sedangkan cucunya, yaitu Hayam Wuruk, beragama Shiwa.
Kedua, ada kebebasan untuk mengekspresikan tiap kepercayaan yang dianut.
Ketiga, ada kompetisi di bawah permukaan, di mana agama Buddha yang minoritas, sekitar 30 persen, menyindir agama Shiwa yang mayoritas. Namun, seusai kompetisi dan olok-olok, baik Shiwa maupun Buddha berada dalam harmoni dan keseimbangan.
Toleransi
Ada beberapa faktor yang memengaruhi terjaganya toleransi beragama pada masa Majapahit. Pertama, nilai-nilai dasar masyarakat yang mengutamakan harmoni membuat penganut agama tidak fanatik. Kedua, agama ditanggapi sebagai nilai yang paralel dengan nilai-nilai lokal yang telah ada.
Ketiga, raja Majapahit piawai mengolah perbedaan ini. Kepentingan negara diletakkan di atas perbedaan yang ada. Walaupun beda agama, Maha Patih Gajah Mada yang Buddha tetap jadi kepercayaan Hayam Wuruk. Dalam pupuh 19 Nagarakretagama disebutkan, Hayam Wuruk menganugerahkan tanah di dukuh kasogatan Makadipura untuk Gajah Mada. Kasogatan adalah wilayah bagi umat Buddha.
Mpu Prapanca, penulis Nagarakretagama, juga beragama Buddha. Bahkan, ayahnya adalah seorang pemuka agama Buddha. Tidak mengherankan, dalam Nagarakretagama diceritakan bagaimana Prapanca mengambil rute sendiri untuk mengunjungi candi-candi Buddha. Dalam salah satu bagian, ia menggambarkan bagaimana candi Buddha tidak terurus bangunannya, sementara candi Hindu terlihat mentereng. "Ini merupakan bentuk kritik juga yang disampaikan kepada raja, tetapi di sisi lain kita bisa juga melihat ada unsur kompetisi," kata Dwi Cahyono.
Salah satu kecerdasan Hayam Wuruk dalam mengelola perbedaan agama ini, seperti tercantum dalam pupuh 81 Nagarakretagama, dilakukan dengan mengakomodasi perbedaan agama di dalam struktur administrasi kerajaan.
Dalam struktur tata negara Majapahit, ada dua menteri agama, yaitu Dharmadyaksa Kasogatan untuk agama Buddha dan Dharmadyaksa Kasavian untuk agama Hindu. Dalam buku Slamet Muljana, A Story of Majapahit, disebutkan, menteri agama ini juga merangkap sebagai hakim untuk mengatasi konflik.
Hayam Wuruk juga membuat beberapa regulasi terkait interaksi antaragama. Dalam Pupuh 16 Nagarakretagama disebutkan tentang batasan wilayah penyiaran agama. Raja juga memberikan fasilitas bebas pajak terhadap Hindu dan Buddha, seperti dicantumkan di Pupuh 76-78 Nagarakretagama. Majapahit juga membangun candi yang sekaligus memiliki ciri Buddha dan Hindu sehingga bisa dipakai bergantian untuk upacara agama, seperti Candi Jago, Candi Jawi, dan Candi Panataran.
Posisi Majapahit yang merupakan titik simpul perdagangan di Nusantara, juga mendorong kerajaan itu bersifat terbuka dengan mengakomodasi semua bangsa dengan budaya dan agamanya masing-masing. Di Museum Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, hal itu terlihat dari berbagai arca terakota wajah berbagai suku bangsa. Tampak arca bermata sipit, rambut disisir rapi ke belakang, dengan badan gemuk dan jubbah. Sementara itu, ada juga orang Persia dengan kopiah.
Keberagaman agama dan budaya yang bisa hidup berdampingan dengan damai ini, memicu kekaguman biarawan Fransiskan, Odoric of Portenau, yang mengunjungi kerajaan itu sekitar tahun 1318. Dalam catatannya, sang biarawan antara lain menulis tentang kuat dan kayanya raja Majapahit yang punya istana disepuh emas.
Kapan kekaguman itu terucap kembali di perjalanan Indonesia saat ini?
(EDNA C PATTISINA/A PONCO ANGGORO)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Oktober 2016, di halaman 5 dengan judul "Keberagaman yang Membangun".




Categories: ,

0 comments:

Post a Comment