Oleh: Suharsono
Konflik-konflik dalam HMI tak
kunjung padam, sementara pihak ekstern bersikeras memaksakan nilai padanya;
bagaimana langkah ke depan HMI menjawab tantangan umat Islam?
Adanya dua buah kongres
kontroversial yang menandai HMI pada usianya yang ke 43, memang sangat
mencemaskan, terutama sekali karena para alumni telah secara langsung
melibatkan diri dan mengadakan pemihakan di dalam konflik dan kontraversi ini.
masalahnya, dengan ketelibatan alumni ke dalam kancah konflik, bukan saja akan
menyeret HMI terperosok ke dalam kompleksitas-kompeksitas yang bertambah rumit,
akan tetapi juga menjadikan HMI tanpa kedewasaan dalam berfikir, mengambil
kebijaksanaan dan berorganisasi. Dan kesemuanya itu berarti soveregenitas HMI
terhempas, karenaindependensianya tergadaikan. Lalu, dengan keadaanya yang
nyaris tanpa eksistensi itu, aakah yang dapat dikerjakan HMI merekayasa masa
depan umat islam. dalam waktu yang sama kita patut bertanya, di manakah pawa
alumi menaruh “wajah kembarnya”di hadapan ummat islam, dalam lembar-lembar
sejarah dan nanti, ketika manusia tidak lagi dapat berpaling, dihadapan Allah.
Sebagai orang-orang terpelajar,
para alumni sudah barang tentu membutuhkan pekerjaan yang layak, sanjungan dan
apa yang disebut “status sosial”. Akan tetapi cara-cara untuk memperoleh
semuannya itu, dengan melibatkan diri secara langsung dan merampas independensi
HMI, adalah sebuah langkah dan sikap yang tidak terpuji. Apalagi situasinya
sekarang sedang konflik, dimana HMI pecah menjadi dua kubu- yang apabila
diteliti dari sumber perpecahannya- sangat sulit untuk dirujukkan. Memang para
alumni bukanlah sumber konflik, akan
tetapi posisi mereka berpijak dapat menyebabakan HMI menjadi ekspolif. Dan
bila telah demikian, siapakah yang dapat mencegah “campur tangan” Allah untuk
menolong hamba-Nya yang tertindas: wa qul jaa al-haqqu wa zahqal baathil,
innal innal bathila kaana zahuuqa. Oleh karena itu, bila para alumni tidak mampu
ber amar ma’ruf untuk HMI, bersikap diam
lebih baik ketimbang ikut campur tangan yang akhirnya justru merusak tatanan
HMI. karena bagaimanapun jua HMI dengan properitasnya, adalah suatu rekayasa umat islam ke arah ridha
Allah, bahwa kemudian timbul friksi dan konflik, hal itu hanyalah konsekuensi
langsung dari perbedaan orientasi, intelektual serta keluasan wawasan terhadap
masalah-masalah yang terjadi.
Sisi-Sisi Konflik.
Jikalau kita
renungkan kembali, adanya perpecahan dalam HMI bagi u at islam, jelas terasa sebagai tampara. Kita
prihatin dan sedih. Kenapa forum-forum konsiliasi tak kunjung ada?
Apakah kubu-kubu di HMI telah “patah arang”? untuk mengerti semuanaya ini
marilah kita melakukan flas back, melihat HMI jah kebelakang dan
kemudian memproyeksikanya ke “depan”, serta mengamati isu-isu aktual dalam
kongres yang baru berlalu.
Kongres XVI di
padang, sebenarnya hanyalah muara perpecahan yang bersumber dari diskontunuitas
sejarah yang dilaluinya. Sebelumnya, dalam kongres XV di medan benih-benih
perpecahan mulai tumbuh, ketika HMI mencoba menghadang “bola salju” yang
sengaja dilempar pihak ekstern. Perpecahan itu terjadi lebih merupakan ekspresi
sebagian oknum PB yang tidak sabar dan tak tahan uji untuk mendaki “jalan
naik”, masalahnya kemudian, ketika Harry Azhar Aziz menjadi ketua PB, posisi
HMI tidak lagi menghadang “bola salju”, tetapi justru mendorongnya. Sebuah dramaturqi
yang membawa tragedi dalam rapat pleno III PB dan sidang MPK II di Ciloto
Jabar. Beberapa utusan melakukan walk out, karena PB telah dianggap
tidak independen lagi, bersifat memaksakan kehendak dan lebih dari itu, membawa
“pesan sponsor”. Post Ciloto tindakan PB semain bringas, inkonstitusional dan
tidak mau melantik cabang yang tidak sepaham. Situasi yang krusial ini menjadi
semakin panas, ketika para alumni dengan menggunakan kartu trufnya, menambah
bara perpecahan dalam HMI. suasana konflik semakin tidak terkendali, dalam
simposium mataram yang diprakarsai PB, ketika PB gagal mempresentasikan
tuntutan cabang-cabang dan kemudian forum dead lock. Mulai saat itu
perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam HMI, tidak lagi dipandang PB sebagai
hikmah, tetapi sebagai rintangan yang harus disingkirkan.
Bermula dari preseden yang tidak
menguntungkan tersebut, PB dalam ikut serta menggelindingkan “bola salju” tidak
lagi menggunakan logika organisasi yang demokratis dan intelektual, tetapi
dengan paksaan dan macheavilist, even-even berikutnya, HMI diubah
sebagai ajang saling pecat dan PB mendirikan cabang-cabang “transitif”,
yang dipool dari dari orang-orang yang sebenarnya meduduki kepenguruasan
tersebut. Tindakan yang menegasikan nilai-nilai islam inilah yang akhirnya
mendorong adanya cabang-cabang besar, sperti Jakarta, Yogyakarta, Purwokerta
dan sebagainya untuk membangun MPO yang berfungsi sebagai “katup penyelamat
organisasi”, walaupun kemudian ternyata MPO itu sendiri menjadi ”payung” untuk cabang-cabang yang tidak sependirian dengan PB.
Masalahnya sekarang, HMI telah menjadi dua kubu dan keduanya telah
mengadakan kongres, HMI dipo di Lhokseumawe dan HMI MPO di Yogyakarta. untuk
konsiliasi nasiona, dalam waktu dekat hampir boleh dikatakn tidakn mungkin.
Oleh karena itu yang diperlukan sekarang adalah, agar kedua kubu tersebut
saling menggunakan empaty,
saling memahami keadaan serta menahan tindakan-tindakan konfrontatif. Dengan
demikian yang dibutuhkan HMI, terutama bagi kedua belah kubu tersebut adalah “agreement
of under standing” dan perlu adanya pembiaran persaingan ide-ide secara
sehat dalam nuansa intelektual yang tinggi. kondisi yang demikian sesungguhnya
memudahkan penilaian, HMI mana yang sebenarnya yang menjaga konsistensinya dan
mana pula HMI yang menjadi sarang penipu. Untuk melihat kecendrungannya, maka
perlu kita amati isu-isu utama yang menandai dua kongres yang saling
kontroversi tersebut.
Dualimse Kongres dan Rakayasa
Masa Depan
Isu-isu yang
berkembang di Lhoksumawe, berkisar pada masalah keanggotaan dan figur PB yang
akan datang. Dari Saleh Khalid sendiri, sebagaimana dikutip beberapa media
massa, “keanggotaan bukan lagi monopoli mahasiswa Islam, tetapi juga bagi
mereka yang non-muslim.” Pernyataan ini meskipun bukan barang baru dalam
sejarah HMI, namun tetap mengundang gelak tawa. HMI sejak awal adalah
organisasi yang mempertahankan azas intelektual dan akademis, akan tetapi
periode Saleh Khalid ini berubah menjadi kelompok komidi murahan. Hal ini boleh
dikatakan karena pernyataan-pernyataan PB selain dangkal juga tanpa dasar
pemikiran yang matang. Sementara tentang figur, tetap sebagaimana konvensi yang
biasa berlalu. Yang perlu disimak justru adanya sinyalemen dari ketua Badko,
Atwal Arifin, tentang degradasi keislaman dalam nuansa organisasi. Hal ini
misalnya ditandai dengan digantinya NDP dengan NIK. Dalam kongres Lhoksumawe
ini kita tidak mendengar bagaimana rekayasa HMI terhadap umat Islam.
Sementara itu, Kongres HMI MPO di
Yogyakarta, selain kontroversi dalam ide juga pada fasilitas, serta nuansa
forum yang penuh dengan senyuman. Isu-isu sentral yang berkembang dalam kongres
Yogyakara, tanpak menunjukkan kecendrungan untuk meinggalkan konvensi-konvensi
HMI sebelumnya, begitu juga dengan rule of game-nya.
Ada tiga hal pokok yang menandai
transformasi kongres yang berlangsung di Yogyakarta. Pertama, sejarah yang
dilaluinya terutama dalam waktu dua tahun terakhir yang penuh dengan
keprihatinan. Kedua, kemampuannya untuk mengembangkan abstraksi pemikirannya
yang cukup progresfi, dan ketiga, ia melihat umat Islam sebagai hal yang
dinomersatukan. Dalam ketika yang sama, HMI MPO mampu mewawas tantangan apa
yang harus segera dipecahkan serta tantangan apa yang dapat pula ditunda.
Dengan sikon demikian HMI MPO dibawah ketua Eggy Sudjana, lebih banyak
melakukan penataan ke dalam, konsolidasi, restropeksi bahkan reorientasi.
Tindakan dan kebijaksanaan yang demikian inilah yang membawa HMI ke arah transformasi
dengan lahirnya ide-ide baru di luar batas-batas konvensional Organisai.
Betapa kuatnya ide-ide baru
tersebut dapat dilihat dari trens forum yang nyata, kurang berminat
membicarakan figur ketua PB mendatang secara luas. Beberapa ide-ide yang
dibahas dalam kongres tesebut antara lain mengajukan penataan kembali struktur
organisasi yang dipandang kurang representatif, modifikasi sistem perkaderan,
rekayasa masa depan dan suatu isu yang menarik adalah pembahasan tentang
“epestemologi”.
Ide tentang rekayasa masa depan
ini, oleh wakil-wakil peserta yang represntatif, dimaksudkan sebagai suatu
upaya agar diperoleh kejelasan aktifitas organisasi di masa depan meliputi
rentang waktu 30 tahun. hal yang utama dalam perekayasaan in, adalah upaya
mencari jalan keluar dalam menyelesaikan problem-problem umat islam. HMI MPO
memandang bahwa masalah pendidikan umat adalah demikian pentinnya, dan sebagian
problem umat bersumber dari presepsinya yang terhadap islam. oleh karena itu
solusi-solusi yang cenderung dipilih pada masa mendatang tidak jauh berkisar
pada tema-tema pendidikan.
Sementara itu is tentang
epistemologi diangkat, adalah diupayakan sebagai perisai untuk membentengi
islam dari pengaruh pemikiran sekuler. HMI berpendapat bahwa solusi-solusi
sosial yang terjadi, yang jarang mengorbankan nilai-nilai kemausiaan, berakar
dari epistemologi yang kurang reoresentatif. Hanya saja dalampersoalan ini, HMI
belum berhasil membut rumusan yang representatif, bagaimana sesungguhnya
epistemologi islam. tetapi adanya ketidakpercaytetapi anggota HMI terhadap sovereignitas
epistemologi sekuler, yang selama ini melai menggejala, adalah modal utama
dalam pencarian epistemologi alternatif tersebut.
Dua isu sentral ini kemudian
menghasilkan isu-isu particuler, dan yang penting adalah ide tentang rekayasa
perkaderan pasca sarjana. Sudah saatnya HMI memiliki kader-kader ulil albab,
yang repsentatif sebagai pengembala-penggembala umat Islam.
Apakah kemudian ide-ide tersebut
dapat berjalan sesuai rencana, pertanyaan ini perlu ditangguhkan untuk waktu
puluhan tahun, dan biarkan sejarah yang menjawabnya. Namun semikian kita
sebagai umat islam tetap berharap bahwa dari HMI haruslah ada kader-kader yang
berkaliber dunia dan mampu menyuarakan gagasan-gagasannya dalam forum
internasional.
0 comments:
Post a Comment