Wednesday, 26 October 2016

Dualisme Dalam Kongres HMI: Upaya Rekayasa Masa Depan

Oleh: Suharsono
Konflik-konflik dalam HMI tak kunjung padam, sementara pihak ekstern bersikeras memaksakan nilai padanya; bagaimana langkah ke depan HMI menjawab tantangan umat Islam?

Adanya dua buah kongres kontroversial yang menandai HMI pada usianya yang ke 43, memang sangat mencemaskan, terutama sekali karena para alumni telah secara langsung melibatkan diri dan mengadakan pemihakan di dalam konflik dan kontraversi ini. masalahnya, dengan ketelibatan alumni ke dalam kancah konflik, bukan saja akan menyeret HMI terperosok ke dalam kompleksitas-kompeksitas yang bertambah rumit, akan tetapi juga menjadikan HMI tanpa kedewasaan dalam berfikir, mengambil kebijaksanaan dan berorganisasi. Dan kesemuanya itu berarti soveregenitas HMI terhempas, karenaindependensianya tergadaikan. Lalu, dengan keadaanya yang nyaris tanpa eksistensi itu, aakah yang dapat dikerjakan HMI merekayasa masa depan umat islam. dalam waktu yang sama kita patut bertanya, di manakah pawa alumi menaruh “wajah kembarnya”di hadapan ummat islam, dalam lembar-lembar sejarah dan nanti, ketika manusia tidak lagi dapat berpaling, dihadapan Allah.

Sebagai orang-orang terpelajar, para alumni sudah barang tentu membutuhkan pekerjaan yang layak, sanjungan dan apa yang disebut “status sosial”. Akan tetapi cara-cara untuk memperoleh semuannya itu, dengan melibatkan diri secara langsung dan merampas independensi HMI, adalah sebuah langkah dan sikap yang tidak terpuji. Apalagi situasinya sekarang sedang konflik, dimana HMI pecah menjadi dua kubu- yang apabila diteliti dari sumber perpecahannya- sangat sulit untuk dirujukkan. Memang para alumni  bukanlah sumber konflik, akan tetapi posisi mereka berpijak dapat menyebabakan HMI menjadi ekspolif. Dan bila telah demikian, siapakah yang dapat mencegah “campur tangan” Allah untuk menolong hamba-Nya yang tertindas: wa qul jaa al-haqqu wa zahqal baathil, innal innal bathila kaana zahuuqa.  Oleh karena itu, bila para alumni tidak mampu ber amar ma’ruf  untuk HMI, bersikap diam lebih baik ketimbang ikut campur tangan yang akhirnya justru merusak tatanan HMI. karena bagaimanapun jua HMI dengan properitasnya,  adalah suatu rekayasa umat islam ke arah ridha Allah, bahwa kemudian timbul friksi dan konflik, hal itu hanyalah konsekuensi langsung dari perbedaan orientasi, intelektual serta keluasan wawasan terhadap masalah-masalah yang terjadi.

Sisi-Sisi Konflik.

Jikalau kita renungkan kembali, adanya perpecahan dalam HMI bagi u  at islam, jelas terasa sebagai tampara. Kita prihatin dan sedih. Kenapa forum-forum konsiliasi tak kunjung ada? Apakah kubu-kubu di HMI telah “patah arang”? untuk mengerti semuanaya ini marilah kita melakukan flas back, melihat HMI jah kebelakang dan kemudian memproyeksikanya ke “depan”, serta mengamati isu-isu aktual dalam kongres yang baru berlalu.

Kongres XVI di padang, sebenarnya hanyalah muara perpecahan yang bersumber dari diskontunuitas sejarah yang dilaluinya. Sebelumnya, dalam kongres XV di medan benih-benih perpecahan mulai tumbuh, ketika HMI mencoba menghadang “bola salju” yang sengaja dilempar pihak ekstern. Perpecahan itu terjadi lebih merupakan ekspresi sebagian oknum PB yang tidak sabar dan tak tahan uji untuk mendaki “jalan naik”, masalahnya kemudian, ketika Harry Azhar Aziz menjadi ketua PB, posisi HMI tidak lagi menghadang “bola salju”, tetapi justru mendorongnya. Sebuah dramaturqi yang membawa tragedi dalam rapat pleno III PB dan sidang MPK II di Ciloto Jabar. Beberapa utusan melakukan walk out, karena PB telah dianggap tidak independen lagi, bersifat memaksakan kehendak dan lebih dari itu, membawa “pesan sponsor”. Post Ciloto tindakan PB semain bringas, inkonstitusional dan tidak mau melantik cabang yang tidak sepaham. Situasi yang krusial ini menjadi semakin panas, ketika para alumni dengan menggunakan kartu trufnya, menambah bara perpecahan dalam HMI. suasana konflik semakin tidak terkendali, dalam simposium mataram yang diprakarsai PB, ketika PB gagal mempresentasikan tuntutan cabang-cabang dan kemudian forum dead lock. Mulai saat itu perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam HMI, tidak lagi dipandang PB sebagai hikmah, tetapi sebagai rintangan yang harus disingkirkan.

Bermula dari preseden yang tidak menguntungkan tersebut, PB dalam ikut serta menggelindingkan “bola salju” tidak lagi menggunakan logika organisasi yang demokratis dan intelektual, tetapi dengan paksaan dan macheavilist, even-even berikutnya, HMI diubah sebagai ajang saling pecat dan PB mendirikan cabang-cabang “transitif”, yang dipool dari dari orang-orang yang sebenarnya meduduki kepenguruasan tersebut. Tindakan yang menegasikan nilai-nilai islam inilah yang akhirnya mendorong adanya cabang-cabang besar, sperti Jakarta, Yogyakarta, Purwokerta dan sebagainya untuk membangun MPO yang berfungsi sebagai “katup penyelamat organisasi”, walaupun kemudian ternyata MPO itu sendiri menjadi ”payung” untuk cabang-cabang yang tidak sependirian dengan PB.

Masalahnya sekarang, HMI telah menjadi dua kubu dan keduanya telah mengadakan kongres, HMI dipo di Lhokseumawe dan HMI MPO di Yogyakarta. untuk konsiliasi nasiona, dalam waktu dekat hampir boleh dikatakn tidakn mungkin. Oleh karena itu yang diperlukan sekarang adalah, agar kedua kubu tersebut saling menggunakan empaty, saling memahami keadaan serta menahan tindakan-tindakan konfrontatif. Dengan demikian yang dibutuhkan HMI, terutama bagi kedua belah kubu tersebut adalah “agreement of under standing” dan perlu adanya pembiaran persaingan ide-ide secara sehat dalam nuansa intelektual yang tinggi. kondisi yang demikian sesungguhnya memudahkan penilaian, HMI mana yang sebenarnya yang menjaga konsistensinya dan mana pula HMI yang menjadi sarang penipu. Untuk melihat kecendrungannya, maka perlu kita amati isu-isu utama yang menandai dua kongres yang saling kontroversi tersebut.

Dualimse Kongres dan Rakayasa Masa Depan

Isu-isu yang berkembang di Lhoksumawe, berkisar pada masalah keanggotaan dan figur PB yang akan datang. Dari Saleh Khalid sendiri, sebagaimana dikutip beberapa media massa, “keanggotaan bukan lagi monopoli mahasiswa Islam, tetapi juga bagi mereka yang non-muslim.” Pernyataan ini meskipun bukan barang baru dalam sejarah HMI, namun tetap mengundang gelak tawa. HMI sejak awal adalah organisasi yang mempertahankan azas intelektual dan akademis, akan tetapi periode Saleh Khalid ini berubah menjadi kelompok komidi murahan. Hal ini boleh dikatakan karena pernyataan-pernyataan PB selain dangkal juga tanpa dasar pemikiran yang matang. Sementara tentang figur, tetap sebagaimana konvensi yang biasa berlalu. Yang perlu disimak justru adanya sinyalemen dari ketua Badko, Atwal Arifin, tentang degradasi keislaman dalam nuansa organisasi. Hal ini misalnya ditandai dengan digantinya NDP dengan NIK. Dalam kongres Lhoksumawe ini kita tidak mendengar bagaimana rekayasa HMI terhadap umat Islam.

Sementara itu, Kongres HMI MPO di Yogyakarta, selain kontroversi dalam ide juga pada fasilitas, serta nuansa forum yang penuh dengan senyuman. Isu-isu sentral yang berkembang dalam kongres Yogyakara, tanpak menunjukkan kecendrungan untuk meinggalkan konvensi-konvensi HMI sebelumnya, begitu juga dengan rule of game-nya.

Ada tiga hal pokok yang menandai transformasi kongres yang berlangsung di Yogyakarta. Pertama, sejarah yang dilaluinya terutama dalam waktu dua tahun terakhir yang penuh dengan keprihatinan. Kedua, kemampuannya untuk mengembangkan abstraksi pemikirannya yang cukup progresfi, dan ketiga, ia melihat umat Islam sebagai hal yang dinomersatukan. Dalam ketika yang sama, HMI MPO mampu mewawas tantangan apa yang harus segera dipecahkan serta tantangan apa yang dapat pula ditunda. Dengan sikon demikian HMI MPO dibawah ketua Eggy Sudjana, lebih banyak melakukan penataan ke dalam, konsolidasi, restropeksi bahkan reorientasi. Tindakan dan kebijaksanaan yang demikian inilah yang membawa HMI ke arah transformasi dengan lahirnya ide-ide baru di luar batas-batas konvensional Organisai.

Betapa kuatnya ide-ide baru tersebut dapat dilihat dari trens forum yang nyata, kurang berminat membicarakan figur ketua PB mendatang secara luas. Beberapa ide-ide yang dibahas dalam kongres tesebut antara lain mengajukan penataan kembali struktur organisasi yang dipandang kurang representatif, modifikasi sistem perkaderan, rekayasa masa depan dan suatu isu yang menarik adalah pembahasan tentang “epestemologi”.

Ide tentang rekayasa masa depan ini, oleh wakil-wakil peserta yang represntatif, dimaksudkan sebagai suatu upaya agar diperoleh kejelasan aktifitas organisasi di masa depan meliputi rentang waktu 30 tahun. hal yang utama dalam perekayasaan in, adalah upaya mencari jalan keluar dalam menyelesaikan problem-problem umat islam. HMI MPO memandang bahwa masalah pendidikan umat adalah demikian pentinnya, dan sebagian problem umat bersumber dari presepsinya yang terhadap islam. oleh karena itu solusi-solusi yang cenderung dipilih pada masa mendatang tidak jauh berkisar pada tema-tema pendidikan.

Sementara itu is tentang epistemologi diangkat, adalah diupayakan sebagai perisai untuk membentengi islam dari pengaruh pemikiran sekuler. HMI berpendapat bahwa solusi-solusi sosial yang terjadi, yang jarang mengorbankan nilai-nilai kemausiaan, berakar dari epistemologi yang kurang reoresentatif. Hanya saja dalampersoalan ini, HMI belum berhasil membut rumusan yang representatif, bagaimana sesungguhnya epistemologi islam. tetapi adanya ketidakpercaytetapi anggota HMI terhadap sovereignitas epistemologi sekuler, yang selama ini melai menggejala, adalah modal utama dalam pencarian epistemologi alternatif tersebut.

Dua isu sentral ini kemudian menghasilkan isu-isu particuler, dan yang penting adalah ide tentang rekayasa perkaderan pasca sarjana. Sudah saatnya HMI memiliki kader-kader ulil albab, yang repsentatif sebagai pengembala-penggembala umat Islam.


Apakah kemudian ide-ide tersebut dapat berjalan sesuai rencana, pertanyaan ini perlu ditangguhkan untuk waktu puluhan tahun, dan biarkan sejarah yang menjawabnya. Namun semikian kita sebagai umat islam tetap berharap bahwa dari HMI haruslah ada kader-kader yang berkaliber dunia dan mampu menyuarakan gagasan-gagasannya dalam forum internasional.
Categories: ,

0 comments:

Post a Comment