Friday, 28 October 2016

Wajah Baru Nasionalisme

JAKARTA, KOMPAS —  Di tengah kekhawatiran lunturnya nilai nasionalisme pada saat ini, inisiatif anak muda Indonesia dalam memanfaatkan dunia maya sebagai ruang mengekspresikan nilai-nilai itu justru bermunculan. Mereka menafsir ulang gagasan besar kebangsaan dalam bentuk tindakan nyata yang berguna bagi orang-orang di sekitarnya.

ARSIP KOMPAS-REPRO IDAYU FOTO Pada 28 Oktober 1928 di halaman depan gedung Indonesische Clubhuis yang sekarang bernama Gedung Sumpah Pemuda, Jalan Kramat 106, Jakarta. Duduk dari kiri ke kanan, antara lain, Prof Mr Sunario, dr Sumarsono, dr Sapuan Sastrosatomo, dr Zakar, Antapermana, Prof Drs Moh Sigit, dr Muljotarun, Mardani, Suprodjo, dr Siwy, dr Sudjito, dr Maluhollo. Berdiri dari kiri ke kanan, antara lain, Prof Mr Moh Yamin, dr Suwondo (Tasikmalaya), Prof dr Abu Hanafiah, Amilius, dr Mursito, Mr Tamzil, dr Suparto, dr Malzar, dr M Agus, Mr Zainal Abidin, Sugito, dr H Moh Mahjudin, dr Santoso, Adang Kadarusman, dr Sulaiman, Siregar, Prof dr Sudiono Pusponegoro, dr Suhardi Hardjolukito, dan dr Pangaribuan Siregar.
Berdasarkan penelusuran Kompas, Kamis (27/10), inisiatif kaum muda itu muncul di berbagai sektor sejak beberapa tahun terakhir. Dari sisi gerakan kerelawanan, muncul Indorelawan.org yang menggunakan platform digital sebagai wadah mengumpulkan dan menyalurkan relawan dalam berbagai aktivitas sosial kemasyarakatan. Ada pula anak-anak muda yang menginisiasi Kitabisa.com, wadah untuk memfasilitasi pertemuan antara penggerak partisipasi sosial urun dana dan individu-individu yang tergerak untuk menyumbang.
Kemunculan petisi daring Change.org Indonesia yang menyediakan ruang bagi orang-orang yang mau menyuarakan aspirasi dalam berbagai isu juga disambut baik generasi muda. Di bidang penulisan kreatif, muncul Nulisbuku.com, laman yang mewadahi setiap orang untuk menerbitkan buku dalam konsep "print on demand" atau penerbitan sesuai permintaan.
Tidak hanya itu, inisiatif ulang alik dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (offline) juga muncul. Di Kota Bandung, Jawa Barat, muncul aktivitas Toko Buku Kecil (Tobucil). Selain menjual buku, Tobucil juga mengadakan klub hobi dan kelas-kelas pembelajaran. Diskusi sastra dan buku juga digelar di situ. Pesertanya sebagian besar anak muda. Di bidang budaya populer, muncul Nusantaranger, perkumpulan pembuat cerita bergambar dengan tema keindonesiaan dan nilai kebangsaan.
Tak hanya jumlah inisiatif penyediaan wadah berekspresi yang bertambah. Orang yang menggunakan platform itu untuk berbuat sesuatu juga meningkat. Dalam lima tahun, Nulisbuku.com menerbitkan 10.000 judul buku. Pengguna Change.org yang semula berjumlah 8.000 orang melejit jadi 1,5 juta dalam waktu tiga tahun. Sejak didirikan tahun 2013, Kitabisa.com sudah mengumpulkan dana Rp 40 miliar dari 153.688 orang untuk 2.581 kampanye. Indorelawan sudah punya 21.000 relawan. Jumlah relawan diperkirakan bertambah 1.000-1.500 orang per bulan.
Harapan baru
Fenomena itu menjadi harapan baru di tengah munculnya persepsi bahwa anak muda semakin apatis dan jauh dari rasa nasionalisme. Survei Litbang Kompas menunjukkan bahwa pemuda dipersepsikan masyarakat lebih berorientasi pada diri sendiri ataupun kelompok ketimbang masyarakat. Hanya 28,4 persen dari 612 responden berpendapat pemuda berorientasi kepada masyarakat (Kompas, 24/10).
"Pengguna Kitabisa.com didominasi orang berumur 25-40 tahun. Ini salah satu bukti anak muda Indonesia tak hanya nasionalisme di hati, tetapi juga berbuat sesuatu. Kampanye yang digerakkan banyak bernuansa nasionalisme," kata Alfatih Timur, Chief Executive Officer Kitabisa.com, di Jakarta, kemarin.
Alfatih mencontohkan, kampanye urun dana Bangun Kembali #MasjidTolikara Papua yang diinisiasi aktor Pandji Pragiwaksono bisa mengumpulkan dana sekitar Rp 300 juta hanya dalam hitungan hari. Anak muda saat ini, kata Alfatih, lebih tertarik memaknai nasionalisme dari sisi nonritual dan retoris. Mereka ingin nasionalisme yang sederhana dan dikemas "menarik".
Soal redefinisi makna nasionalisme, Direktur Indorelawan.org Marsya Anggia berpendapat, anak muda tidak melulu melihat nasionalisme sebagai hal yang besar dan abstrak. Namun, bisa pula dimaknai sebagai perbuatan untuk membantu orang lain. "Anak muda sekarang itu ingin melalukan sesuatu. Mereka juga ingin dilihat bermanfaat bagi orang lain," kata Marsya.
Generasi yang kini berusia di bawah 30 tahun sudah akrab dengan dunia digital. Pada medio 2016, diperkirakan ada 88 juta pengguna internet. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia tahun 2014 menunjukkan, 49 persen pengguna internet di Indonesia berusia 18-25 tahun, sedangkan di kelompok usia 26-35 tahun 33,8 persen.
Gawai (gadget) jadi benda yang sulit dilepaskan dari keseharian anak muda. Kondisi ini berbeda dengan generasi sebelumnya yang hidup pada era analog. Revolusi teknologi informasi itu menimbulkan perbedaan cara pandang terhadap segala sesuatu, termasuk tentang nasionalisme.
"Tak bisa dipaksakan cara pandang tentang nasionalisme di era pendiri bangsa terdahulu kepada anak-anak muda masa kini. Masa sudah berubah. Agar nasionalisme tetap relevan, ia harus dikemas dalam bahasa yang dipahami anak muda," kata Tarlen Handayani, inisiator Tobucil.
Sejumlah komikus muda juga punya pendekatan berbeda memaknai nilai nasionalisme di kehidupan sehari-hari. Swetta Kartika (28), komikus Nusantaranger, memilih berkarya lewat komik untuk membumikan nilai kebangsaan di anak muda.
Berawal dari kegelisahan atas fenomena perpecahan dan konflik antarsuku, agama, ras, dan antargolongan komik Nusantaranger mereka kemas dengan gagasan utama persatuan bangsa.
"Kami mengajak anak muda untuk tidak lupa pada nilai persatuan tanpa pandang suku, agama, dan golongan. Berkarya di bidang masing-masing, bagi saya, sudah bentuk nasionalisme yang bisa ditawarkan anak muda," kata Swetta.
Tantangan nasionalisme
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Sunyoto Usman, mengatakan, untuk membuat nasionalisme di tataran konseptual mengenai kebangsaan terus relevan bagi anak muda, harus ada jembatan agar terjadi diskusi dan titik temu antargenerasi. Berkembangnya industri kreatif di kalangan anak muda bisa menyemai nasionalisme karena di situlah tempat pertukaran dan pertemuan pikiran inovatif, kreatif, dan cerdas anak bangsa.
"Segala sesuatu tentang nasionalisme tidak perlu selalu dalam tataran konsep yang mengawang-awang. Ia harus disampaikan dalam konteks kekinian," ujar Sunyoto.
Direktur Reform Institute Yudi Latif menilai, gerakan kelompok muda yang sporadis dan bergerak sendiri-sendiri tak akan membawa dampak besar jika tidak dikoordinasi menjadi gerakan kolektif. Padahal, perubahan besar harus dimulai dari kesadaran kolektif yang melahirkan respons bersama yang terorganisasi.
"Saat ini banyak pribadi kreatif dari kalangan muda. Sayangnya, tak ada yang mengoordinasikan kreativitas dan kepedulian sosial itu menjadi suatu agenda bersama," kata Yudi.
Elite negara dan pasar, menurut Yudi, belum memberikan ruang bagi anak muda mengembangkan diri dan memublikasikan semangat nasionalisme versi mereka. Elite terjebak pada kepentingan pragmatis dan jargon kebangsaan yang tak relevan diterjemahkan di masa kini.
"Media sosial mungkin efektif untuk jangka pendek. Namun, untuk cita-cita kebangsaan jangka panjang, butuh usaha lebih. Di sini seharusnya kekuatan utama negara, elite, dan pasar memainkan peran," kata Yudi.
Co Executive Director Public Virtue Institute Resa Temaputra juga menilai, penggunaan internet dalam implementasi nilai nasionalisme seperti pisau bermata dua. Untuk memaksimalkan potensi positif internet, perlu literasi media sosial di kalangan masyarakat.
Hal ini penting untuk membangun kesadaran masyarakat agar mengambil konten positif dan menyebarkannya guna melawan konten negatif seperti paham radikal. Mendorong literasi lebih efektif ketimbang sensor konten. (AGE/REK/GAL)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Oktober 2016, di halaman 1 dengan judul "Wajah Baru Nasionalisme". 
Categories: ,

0 comments:

Post a Comment