JAKARTA, KOMPAS — Di tengah kekhawatiran lunturnya
nilai nasionalisme pada saat ini, inisiatif anak muda Indonesia dalam
memanfaatkan dunia maya sebagai ruang mengekspresikan nilai-nilai itu justru
bermunculan. Mereka menafsir ulang gagasan besar kebangsaan dalam bentuk
tindakan nyata yang berguna bagi orang-orang di sekitarnya.
ARSIP KOMPAS-REPRO IDAYU FOTO Pada 28 Oktober 1928 di halaman depan
gedung Indonesische Clubhuis yang sekarang bernama Gedung Sumpah Pemuda, Jalan
Kramat 106, Jakarta. Duduk dari kiri ke kanan, antara lain, Prof Mr Sunario, dr
Sumarsono, dr Sapuan Sastrosatomo, dr Zakar, Antapermana, Prof Drs Moh Sigit,
dr Muljotarun, Mardani, Suprodjo, dr Siwy, dr Sudjito, dr Maluhollo. Berdiri
dari kiri ke kanan, antara lain, Prof Mr Moh Yamin, dr Suwondo (Tasikmalaya),
Prof dr Abu Hanafiah, Amilius, dr Mursito, Mr Tamzil, dr Suparto, dr Malzar, dr
M Agus, Mr Zainal Abidin, Sugito, dr H Moh Mahjudin, dr Santoso, Adang
Kadarusman, dr Sulaiman, Siregar, Prof dr Sudiono Pusponegoro, dr Suhardi
Hardjolukito, dan dr Pangaribuan Siregar.
Berdasarkan penelusuran Kompas, Kamis (27/10),
inisiatif kaum muda itu muncul di berbagai sektor sejak beberapa tahun
terakhir. Dari sisi gerakan kerelawanan, muncul Indorelawan.org yang
menggunakan platform digital sebagai wadah mengumpulkan dan menyalurkan relawan
dalam berbagai aktivitas sosial kemasyarakatan. Ada pula anak-anak muda yang
menginisiasi Kitabisa.com, wadah untuk memfasilitasi pertemuan antara penggerak
partisipasi sosial urun dana dan individu-individu yang tergerak untuk
menyumbang.
Kemunculan petisi daring Change.org Indonesia yang
menyediakan ruang bagi orang-orang yang mau menyuarakan aspirasi dalam berbagai
isu juga disambut baik generasi muda. Di bidang penulisan kreatif, muncul
Nulisbuku.com, laman yang mewadahi setiap orang untuk menerbitkan buku dalam
konsep "print on demand" atau penerbitan sesuai permintaan.
Tidak hanya itu,
inisiatif ulang alik dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (offline) juga muncul. Di Kota Bandung, Jawa Barat, muncul aktivitas Toko Buku
Kecil (Tobucil). Selain menjual buku, Tobucil juga mengadakan klub hobi dan
kelas-kelas pembelajaran. Diskusi sastra dan buku juga digelar di situ.
Pesertanya sebagian besar anak muda. Di bidang budaya populer, muncul
Nusantaranger, perkumpulan pembuat cerita bergambar dengan tema keindonesiaan
dan nilai kebangsaan.
Tak hanya jumlah inisiatif penyediaan
wadah berekspresi yang bertambah. Orang yang menggunakan platform itu untuk
berbuat sesuatu juga meningkat. Dalam lima tahun, Nulisbuku.com menerbitkan
10.000 judul buku. Pengguna Change.org yang semula berjumlah 8.000 orang
melejit jadi 1,5 juta dalam waktu tiga tahun. Sejak didirikan tahun 2013,
Kitabisa.com sudah mengumpulkan dana Rp 40 miliar dari 153.688 orang untuk
2.581 kampanye. Indorelawan sudah punya 21.000 relawan. Jumlah relawan
diperkirakan bertambah 1.000-1.500 orang per bulan.
Harapan baru
Fenomena itu menjadi
harapan baru di tengah munculnya persepsi bahwa anak muda semakin apatis dan
jauh dari rasa nasionalisme. Survei Litbang Kompas menunjukkan bahwa pemuda dipersepsikan masyarakat lebih berorientasi
pada diri sendiri ataupun kelompok ketimbang masyarakat. Hanya 28,4 persen dari
612 responden berpendapat pemuda berorientasi kepada masyarakat (Kompas, 24/10).
"Pengguna Kitabisa.com didominasi
orang berumur 25-40 tahun. Ini salah satu bukti anak muda Indonesia tak hanya
nasionalisme di hati, tetapi juga berbuat sesuatu. Kampanye yang digerakkan
banyak bernuansa nasionalisme," kata Alfatih Timur, Chief Executive
Officer Kitabisa.com, di Jakarta, kemarin.
Alfatih mencontohkan, kampanye urun dana
Bangun Kembali #MasjidTolikara Papua yang diinisiasi aktor Pandji Pragiwaksono
bisa mengumpulkan dana sekitar Rp 300 juta hanya dalam hitungan hari. Anak muda
saat ini, kata Alfatih, lebih tertarik memaknai nasionalisme dari sisi nonritual
dan retoris. Mereka ingin nasionalisme yang sederhana dan dikemas
"menarik".
Soal redefinisi makna nasionalisme,
Direktur Indorelawan.org Marsya Anggia berpendapat, anak muda tidak melulu
melihat nasionalisme sebagai hal yang besar dan abstrak. Namun, bisa pula
dimaknai sebagai perbuatan untuk membantu orang lain. "Anak muda sekarang
itu ingin melalukan sesuatu. Mereka juga ingin dilihat bermanfaat bagi orang
lain," kata Marsya.
Generasi yang kini berusia di bawah 30
tahun sudah akrab dengan dunia digital. Pada medio 2016, diperkirakan ada 88
juta pengguna internet. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
tahun 2014 menunjukkan, 49 persen pengguna internet di Indonesia berusia 18-25
tahun, sedangkan di kelompok usia 26-35 tahun 33,8 persen.
Gawai (gadget) jadi benda yang sulit dilepaskan dari keseharian anak muda. Kondisi ini
berbeda dengan generasi sebelumnya yang hidup pada era analog. Revolusi
teknologi informasi itu menimbulkan perbedaan cara pandang terhadap segala
sesuatu, termasuk tentang nasionalisme.
"Tak bisa dipaksakan cara pandang
tentang nasionalisme di era pendiri bangsa terdahulu kepada anak-anak muda masa
kini. Masa sudah berubah. Agar nasionalisme tetap relevan, ia harus dikemas
dalam bahasa yang dipahami anak muda," kata Tarlen Handayani, inisiator
Tobucil.
Sejumlah komikus muda juga punya
pendekatan berbeda memaknai nilai nasionalisme di kehidupan sehari-hari. Swetta
Kartika (28), komikus Nusantaranger, memilih berkarya lewat komik untuk
membumikan nilai kebangsaan di anak muda.
Berawal dari kegelisahan atas fenomena
perpecahan dan konflik antarsuku, agama, ras, dan antargolongan komik
Nusantaranger mereka kemas dengan gagasan utama persatuan bangsa.
"Kami mengajak anak muda untuk tidak
lupa pada nilai persatuan tanpa pandang suku, agama, dan golongan. Berkarya di
bidang masing-masing, bagi saya, sudah bentuk nasionalisme yang bisa ditawarkan
anak muda," kata Swetta.
Tantangan nasionalisme
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada,
Sunyoto Usman, mengatakan, untuk membuat nasionalisme di tataran konseptual
mengenai kebangsaan terus relevan bagi anak muda, harus ada jembatan agar
terjadi diskusi dan titik temu antargenerasi. Berkembangnya industri kreatif di
kalangan anak muda bisa menyemai nasionalisme karena di situlah tempat
pertukaran dan pertemuan pikiran inovatif, kreatif, dan cerdas anak bangsa.
"Segala sesuatu tentang nasionalisme
tidak perlu selalu dalam tataran konsep yang mengawang-awang. Ia harus disampaikan
dalam konteks kekinian," ujar Sunyoto.
Direktur Reform Institute Yudi Latif
menilai, gerakan kelompok muda yang sporadis dan bergerak sendiri-sendiri tak
akan membawa dampak besar jika tidak dikoordinasi menjadi gerakan kolektif.
Padahal, perubahan besar harus dimulai dari kesadaran kolektif yang melahirkan
respons bersama yang terorganisasi.
"Saat ini banyak pribadi kreatif dari
kalangan muda. Sayangnya, tak ada yang mengoordinasikan kreativitas dan
kepedulian sosial itu menjadi suatu agenda bersama," kata Yudi.
Elite negara dan pasar, menurut Yudi,
belum memberikan ruang bagi anak muda mengembangkan diri dan memublikasikan
semangat nasionalisme versi mereka. Elite terjebak pada kepentingan pragmatis
dan jargon kebangsaan yang tak relevan diterjemahkan di masa kini.
"Media sosial mungkin efektif untuk
jangka pendek. Namun, untuk cita-cita kebangsaan jangka panjang, butuh usaha
lebih. Di sini seharusnya kekuatan utama negara, elite, dan pasar memainkan
peran," kata Yudi.
Co Executive Director Public Virtue
Institute Resa Temaputra juga menilai, penggunaan internet dalam implementasi
nilai nasionalisme seperti pisau bermata dua. Untuk memaksimalkan potensi
positif internet, perlu literasi media sosial di kalangan masyarakat.
Hal ini penting untuk membangun kesadaran
masyarakat agar mengambil konten positif dan menyebarkannya guna melawan konten
negatif seperti paham radikal. Mendorong literasi lebih efektif ketimbang
sensor konten. (AGE/REK/GAL)
Versi cetak artikel ini terbit di harian
Kompas edisi 28 Oktober 2016, di halaman 1 dengan judul "Wajah Baru
Nasionalisme".
0 comments:
Post a Comment