“Kalau ngopi
kayae enak” kata seorong teman yang main ke kos. “bikinlah..! itu tinggal
panasin air. Kopi dan gulanya ada” jawab saya yang kemudian dijawab oleh teman
tadi “Saya kan sudah punya ide. Masak saya saya juga yang harus bikin. Ide itu
mahal coy...”, “mahal Ndasmu” sergah saya yang selanjutnya disambut
gelak tawa bersama dan keinginan menikmati kopi direalisasikan dengan tindakan.
Setelah saya buatkan teman saya berkomentar “kok kurang joss ya”, saya pun
bilang “ya sudah gga usah diminum, atau buat sendiri saja kalau begitu...”
Menyeru dan
menyarankan orang melakukan sesuatu memang gampang. Modalnya cukup punya keberanian untuk bicara dan
menyampaikan – dan dalam konteks kekinian berani menyetatuskan dalam media
sosial maya. Yang tidak gampang adalah bagaimana agar orang yang menyimak itu
tergerak hati dan raganya untuk melakukan apa yang disarankan. Karena ternyata,
merealitaskan ide itu tidak mudah, meskipun – meminjam istilah Pak Zawawi Imron
– tak sesusulit mencampur air dengan oli.
Dalam sebuah kelompok
‘bincang tulisan’ yang aktivitasnya membincangkan tentang tulis-menulis setiap
disuguhkan satu tulisan oleh anggota kelompok selalu saja muncul beragam
komentar berupa pertanyaan, apresiasi dan masukan yang jumlahnya melampaui dari
jumlah anggota itu. “Tulisan ini menarik..” kata salah satu anggota, “ini apa
maksudnya?”, “kalau saja ini ditambahkan tentang ini dan itu,,”, “saya suka
dengan cara anda memulai tulisan ini”, “sebenarnya apa yang ingin kau tulis
dalam tulisan ini”, sebagian ragam komentar dari yang lain yang setiap komentar
dilayangkan selalu diselepi pernyataan “tapi, saran saya akan lebih baik
kalau...”, “ini mestinya dikurangi”, “ini sebaiknya begini dan begitu’.
Begitulah
pengalaman yang terjadi dalam kelompok bincang tulisan itu. Ini baru pengalaman
bagaimana sulitnya mewujudkan ide dalam tulisan, bukan dalam realiatas
kehidupan. Kepala makhluk Tuhan bernama manusia ini, meski tak sebesar bola
basket ternyata punya daya tampung luar biasa, bahkan bumi dan se-isi-nya pun
mampu ditampung di dalamnya, tentu saja tidak secara fisik. Barangkali karena
itulah dalam realitas hidup ini siapapun dan dimanapun tidak akan pernah bisa
bebas dari orang lain, setiap tindak-tanduk yang dilakukan selalu saja
dihadapkan pada penilaian orang lain. Hal ini berlaku dalam berbagai dimensi
kehidupan baik sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, agama, dan lain
semacamnya.
Setiap orang
punya kemandirian ide yang untuk meralisasikan tidak cukup hanya disampaikan
dan disarakan agar dilakukan oleh orang lain. Pun setiap orang punya
kemandirian bertindak yang tidak selalu harus didasarkan pada saran dan
pertimbangan orang lain. Realisasi ide, sangat bergatung pada kemandirian
bertindak. Artinya ide yang dimiliki, harus direalisasikan dengan tindakan
nyata si pemilik ide itu. Tentu saja, dalam proses sampai setelah ide itu
direalisasikan akan dihadapkan pada penilian orang lain yang beragam, itu
adalah resiko yang mesti dilewatkan. Bukankah adanya saran, kritik, puji dan
cacian itu adalah alasan mengapa hidup dan kehidupan ini masih harus dilanjutkan. Kalau semua itu sudah berakhir, maka “Kerja,,Kerja,, dan
Kerja...” yang jadi slogan Pak Jokowi
tak lagi dibutuhkan..
Wallahu
A’lam..
0 comments:
Post a Comment