Friday, 20 January 2017

Perempuan (kata) al-Quran

Tulisan ini tidak lebih dari sekedar rangkuman atau bisa disebut menyalin dari buku Dr. Jalaluddin Rakhmat “Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik” yang di dalamnya mengupas berbagai topik. Salah satunya tentang perempuan.

Perbincangan tentang perempuan, (umat) Islam sampai saat ini masih sering mendapat keritik bahkan dituduh merendahkan martabat kaum perempuan oleh karena masih banyak terjadi diskriminasi terhadap kaum perempuan di berbagai negara Muslim, utamanya di negara-negara berlautan pasir alias Timur Tengah. Padahal sebagaimana kata Roger Garaudy yang dikutip oleh kang Jalal “tidak ada sesuatu pun dalam al-Quran yang dapat dijadikan justifikasi praktek aphartheid terhadap kaum perempuan, sebagaiamana yang terjadi dan merajalela di perlabagi negara Muslim. Diskriminasi ini muncul dari tradisi Timur Dekat tertentu, bukan dari Islam”.
Yang ada, Al-Quran sebagai kitab suci yang otentisitasnya tidak diperdebatkan memberikan gambaran yang (kata kang jalal) menakjubkan tentang perempuan. Dalam al-Quran tidak ada satu ayat pun yang menggambarkan perempuan secara fisik, atau melukiskan keindahan perempuan secara jasmaniah sebagai nilai bagi perempuan ideal. Olehnya, kita tidak akan menemukan gambaran tentang jenis perempuan dalam al-Quran berdasarkan kecantikan fisiknya. Melainkan secara khusus, al-Quran membicarakan jenis-jenis perempuan berdasarkan amalnya. Adakalanya al-Quran menunjuk nama jelas jika perempuan yang dilukiskannya adalah perempuan ideal. Sedangkan untuk melukiskan perempuan yang buruk al-Quran tidak pernah menyebut nama secara langsung. Seperti misalnya Maryam yang disebut beberapa kali bahkan menjadi salah satu nama surat. Maryam adalah tipe perempuan yang saleh, ibu dari tokoh terkemuka di dunia dan akhirat. Kehormatannya terletak dalam kesuciannya, bukan pada kecantikan fisiknya.
Al-Quran juga melukiskan tipe perempuan pejuang. Ia adalah perempuan yang memberontak kepada suami yang  zalim dan melawannya demi mempertahankan keyakinan apapun resiko yang diterima. Ia rela menolak istana dunia yang dapat dinikmatinya bila ia mau bekerja sama dengan kezaliman suaminya. Ia memilih rumah surga yang diperoleh dengan perjuangan menegakkan kebenaran. Perempuan itu adalah Istri Firaun yang tidak disebut namanya oleh al-Quran. Tetapi hadis-hadis menyebutnya bahwa ia adalah Asiyah binti Muzahim.
Dan Allah menjadikan perempuan Firaun teladan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berdoa: :Ya Tuhanku, bangunlah bagiku rumah di sisi-Mu, dan selamatkan aku dari Firaun dan perbuatannya, dan selamatkan aku dari kaum yang zalim” (Q.S. al-Tahrim: 11)
Al-Quran memuji perempuan yang membangkang kepada suami yang zalim. Pada saat bersamaan juga mengecam peerempuan yang menentang suami yang memperjuangkan kebenaran seperti digambarkan dalam surat al-Tahrim ayat 10:
“Allah membuat perumpamaan bagi orang kafir perempuan Nuh dan perempua Luth. Kedunya berada dalam dua perlindungan dua orang hamba yang saleh. Mereka mengkhianati keduan. Maka kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikitpun di hadapan Allah (dari Siksa Allah). Dikatakan kepada mereka, “Masuklah ke Neraka bersama orang-orang yang masuk ke situ”.
 Al-Quran bahkan mengajarkan agar perempuan menutupi keindahan fisiknya. Nilai ideal perempuan terletak pada kesalehan, kesucian, dan ketegarannya dalam mempertahankan keyakinan agamanya.
Ketika generasi kini kita terlempar pada dunia selfie dan imagologi, karakter perempuan ideal yang digambarkan al-Quran ini sepertinya tidak mendapat perhatian serius. Perlombaan generasi kini adalah mencari follower, like dan pujian baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Jelas perlombaan ini menuntut generasi kini untuk tampil mempesona dan menarik secara lahiriah, gelombang kuat kekinian membuat generasi kini  terombang-ambing tanpa makna dalam arus trend terkini. Dalam kasus perempuan: emansipasi yang diteriakkan  beralih dari tujuan mulia-nya menjadi alat perbudakan baru bagi kaum perempuan yang tanpa di sadari. Kini banyak perempuan modern di satu sisi merasa mendapatkan kebebasan dalam beraktifitas. Namun, di sisi lain subjeknya telah dilucuti dan diperlakukan semata sebagai ‘objek’ yang tak lagi memiliki pesona atau makna. Ia dipuji dan di sanjung tetapi hanya outlook-nya. Disukai, tapi hanya (keindahan) tubuhnya. Dibincangkan tapi hanya lenggak-lenggoknya. Dikejar, tapi hanya (pesona) sensualnya.
Akibatnya, para perempuan (di-dan) ter-dorong untuk terus merias diri dan menata tampilan lahirnya demi memenangkan tropi pujian dan meraih status “trending topik”. Apa mau di kata, rezim image dan kosmetik telah membentuk maindset, paradigma dan gaya hidup seperti itu. Maka siapapun yang memilih untuk menjadi sebagaimana yang digambarkan al-Quran harus siap untuk menempuh jalan sepi, sunyi dan gelap.
Bukankah dalam kopi yang pekat ada nikmat yang Allah anugerahkan bagi orang-orang yang bersyukur??
Hanya Allah yang maha mengetahui..
Categories:

0 comments:

Post a Comment