Tulisan ini tidak lebih dari sekedar rangkuman atau bisa disebut menyalin
dari buku Dr. Jalaluddin Rakhmat “Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik”
yang di dalamnya mengupas berbagai topik. Salah satunya tentang perempuan.
Perbincangan tentang perempuan, (umat) Islam sampai saat ini masih sering
mendapat keritik bahkan dituduh merendahkan martabat kaum perempuan oleh karena
masih banyak terjadi diskriminasi terhadap kaum perempuan di berbagai negara
Muslim, utamanya di negara-negara berlautan pasir alias Timur Tengah. Padahal
sebagaimana kata Roger Garaudy yang dikutip oleh kang Jalal “tidak ada sesuatu
pun dalam al-Quran yang dapat dijadikan justifikasi praktek aphartheid terhadap
kaum perempuan, sebagaiamana yang terjadi dan merajalela di perlabagi negara
Muslim. Diskriminasi ini muncul dari tradisi Timur Dekat tertentu, bukan dari
Islam”.
Yang ada, Al-Quran sebagai kitab suci yang otentisitasnya tidak
diperdebatkan memberikan gambaran yang (kata kang jalal) menakjubkan tentang
perempuan. Dalam al-Quran tidak ada satu ayat pun yang menggambarkan perempuan
secara fisik, atau melukiskan keindahan perempuan secara jasmaniah sebagai
nilai bagi perempuan ideal. Olehnya, kita tidak akan menemukan gambaran tentang
jenis perempuan dalam al-Quran berdasarkan kecantikan fisiknya. Melainkan
secara khusus, al-Quran membicarakan jenis-jenis perempuan berdasarkan amalnya.
Adakalanya al-Quran menunjuk nama jelas jika perempuan yang dilukiskannya
adalah perempuan ideal. Sedangkan untuk melukiskan perempuan yang buruk
al-Quran tidak pernah menyebut nama secara langsung. Seperti misalnya Maryam
yang disebut beberapa kali bahkan menjadi salah satu nama surat. Maryam adalah
tipe perempuan yang saleh, ibu dari tokoh terkemuka di dunia dan akhirat. Kehormatannya
terletak dalam kesuciannya, bukan pada kecantikan fisiknya.
Al-Quran juga melukiskan tipe perempuan pejuang. Ia adalah perempuan yang
memberontak kepada suami yang zalim dan
melawannya demi mempertahankan keyakinan apapun resiko yang diterima. Ia rela
menolak istana dunia yang dapat dinikmatinya bila ia mau bekerja sama dengan
kezaliman suaminya. Ia memilih rumah surga yang diperoleh dengan perjuangan
menegakkan kebenaran. Perempuan itu adalah Istri Firaun yang tidak disebut
namanya oleh al-Quran. Tetapi hadis-hadis menyebutnya bahwa ia adalah Asiyah
binti Muzahim.
“Dan Allah menjadikan perempuan Firaun teladan bagi orang-orang yang
beriman, ketika ia berdoa: :Ya Tuhanku, bangunlah bagiku rumah di sisi-Mu, dan
selamatkan aku dari Firaun dan perbuatannya, dan selamatkan aku dari kaum yang
zalim” (Q.S. al-Tahrim: 11)
Al-Quran memuji perempuan yang membangkang kepada suami yang zalim. Pada
saat bersamaan juga mengecam peerempuan yang menentang suami yang
memperjuangkan kebenaran seperti digambarkan dalam surat al-Tahrim ayat 10:
“Allah membuat perumpamaan bagi orang kafir perempuan Nuh dan perempua
Luth. Kedunya berada dalam dua perlindungan dua orang hamba yang saleh. Mereka
mengkhianati keduan. Maka kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka
sedikitpun di hadapan Allah (dari Siksa Allah). Dikatakan kepada mereka,
“Masuklah ke Neraka bersama orang-orang yang masuk ke situ”.
Al-Quran bahkan mengajarkan
agar perempuan menutupi keindahan fisiknya. Nilai ideal perempuan terletak pada
kesalehan, kesucian, dan ketegarannya dalam mempertahankan keyakinan agamanya.
Ketika generasi kini kita terlempar pada dunia selfie dan imagologi,
karakter perempuan ideal yang digambarkan al-Quran ini sepertinya tidak
mendapat perhatian serius. Perlombaan generasi kini adalah mencari follower,
like dan pujian baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Jelas
perlombaan ini menuntut generasi kini untuk tampil mempesona dan menarik secara
lahiriah, gelombang kuat kekinian membuat generasi kini terombang-ambing tanpa makna dalam arus trend
terkini. Dalam kasus perempuan: emansipasi yang diteriakkan beralih dari tujuan mulia-nya menjadi alat
perbudakan baru bagi kaum perempuan yang tanpa di sadari. Kini banyak perempuan
modern di satu sisi merasa mendapatkan kebebasan dalam beraktifitas. Namun, di
sisi lain subjeknya telah dilucuti dan diperlakukan semata sebagai ‘objek’ yang
tak lagi memiliki pesona atau makna. Ia dipuji dan di sanjung tetapi hanya outlook-nya.
Disukai, tapi hanya (keindahan) tubuhnya. Dibincangkan tapi hanya
lenggak-lenggoknya. Dikejar, tapi hanya (pesona) sensualnya.
Akibatnya, para perempuan (di-dan) ter-dorong untuk terus merias diri dan
menata tampilan lahirnya demi memenangkan tropi pujian dan meraih status
“trending topik”. Apa mau di kata, rezim image dan kosmetik telah membentuk
maindset, paradigma dan gaya hidup seperti itu. Maka siapapun yang
memilih untuk menjadi sebagaimana yang digambarkan al-Quran harus siap untuk
menempuh jalan sepi, sunyi dan gelap.
Bukankah dalam kopi yang pekat ada nikmat yang
Allah anugerahkan bagi orang-orang yang bersyukur??
Hanya Allah
yang maha mengetahui..
0 comments:
Post a Comment