Oleh : Ikhwanushoffa
Prasaran
Setiap
peradaban besar pasti mempunyai pilar penyangga. Yakni memiliki nilai unggul
universal baru dan tetap merengkuh nilai tradisional yang bermanfaat. Paling
tidak itu yang diungkap oleh DR Sir Mohammad Iqbal ketika menceritakan kejayaan
Yunani, dan DR Hassan Hanafi ketika memeri kehebatan Mao Tse Thung dalam
mengukuhkan China.
Kesadaran
ini sebenarnya sudah jamak dalam pikiran kader, tetapi dalam praktiknya
tentulah tidak mudah. Gegap gempita polah gerakan mahasiswa ikut menarik-narik
konsentrasi HMI dalam fokusnya mendidik diri. Kalaupun ada yang konsern dengan
pembangunan nilai-nilai, kebanyakan lebih menawarkan nilai-nilai baru yang
memang kelihatan lebih wah.
Ketika
saya menyeleksi calon peserta LK III di Padepokan Syeh Siti Jenar saat itu,
sempat mengemukan tidak saja nilai strategis dari local genus, tetapi juga
kedahsyatannya. Tetapi ternyata itu tidak keluar, bahkan ketika pelaksanaan LK
III. Problemnya ternyata sederhana, nilai
lokal itu ada disekitar kita, maka bila nilai itu tidak dihayati maka
akan sangat mudah untuk menilainya, jadi sangat terukur. Tentu ini jadi problem
bagi yang belum siap melaksanakannya, hatta itu oleh peserta LK III yang
merupakan post LK kita.
Tawaran
Dalam
kesempatan baik ini kembali saya menawarkan nilai tradisional yang sejak saya
aktif di HMI selalu saya kampanyekan, karena akan benar-benar memperjelas
posisi gerak kita, sekaligus menjadi pembeda yang gamblang antara MPO dengan
Dipo, sedemikian sehingga kita menjadi layak merasa penting untuk eksis. Nilai
tradisional tentang: Harta, Tahta dan Wanita, amat khas dalam khasanah mozaik
Indonesia. Nilai-nilai itu coba saya turunkan dalam agenda gerakan.
Harta
Dalam
antologi tulisan-tulisan saya ketika masih aktif di Himpunan, yakni Corat-Coret
Seorang Kader ada bab yang khusus membahas soal ini, judulnya “Bareng-Bareng”.
Dalam pemenuhan sarana teknis untuk aktifitas HMI sungguh paling tepat kita
meminjam konsepnya Mahatma Gandhi: Swadesi. Maka nilai-nilai pengorbanan akan
tetap bertahan secara maksimal. Kita menjaga jarak dari pengajuan proposal
kepada founding. Founding luar negeri begitu mengerikan kalau
sudah menggelondorkan dana. Rata-rata diatas budget yang dibutuhkan,
maka mark up-pun dengan senang hati dilakukan. Character assassination, itulah
yang dilakukan para founding, sengaja atau tidak. Nilai kejujuran dan
pengorbanan dibunuh, perlahan diganti dengan ketergantungan dan kesilauan
terhadap proyek.
Tahta
Sungguh
membosankan melihat kader yang bangga bisa bertemu pejabat atau politikus,
lebih repot lagi bila hal itu dianggap prestasi. Kita bacalah tulisan-tulisan
Kuntowijoyo, yang dengan jernihnya, dari pembacaan secara sejarah yang jeli mampu membuktikan secara
paradigmatik bahwa politik bukan penentu peradaban. Maka sangat pantas bila
Himpunan ini berkonsentrasi mendidik manusia. Membangun karakter kader yang
tidak terbawa arus dalam perubahan sistem politik apapun. Rosululloh sendiri
sudah membuktikan bahwa manusialah penentu, bukan sistem. Usahlah kita berdebat
mana dulu antara ayam dan telur.
Sungguh
memilukan bagi saya bila pengurus HMI begitu enjoy keluar masuk gedung
parlemen atau departemen bukan dalam rangka mengevaluasi, tetapi meminta jatah.
Wanita
Supaya
ini tidak dianggap sebagai bias gender, saya ganti istilah dengan lawan jenis
atau hijab. Ya, HMI kita ini mustinya hijabnya harus lebih ketat dibanding
Dipo, ini bukan apa-apa, ini soal Islam.
Ketiga
hal diatas bagi saya sebenarnya sekedar derivate dari makna Independensi
di Khittah HMI yang entah saat ini masih tercantum atau tidak.
Sungguh
bila local genus itu tidak ada di Himpunan kita, maka pertanyaan saya adalah apa bedanya kita dengan Dipo?! Dipo
dari dulu sudah dekat-dekat dengan kekuasaan, sudah biasa menerima proyek dan
sebegitu bebasnya dalam pergaulan. Lalu bila mulai mirip-mirip dengan Dipo
masih pantaskah kita ada?!
Local
genus itu semacam raison d’etre (asbab keberadaan) kita, karena kita
lahir dari rahim yang sama maka hampir bisa dipastikan kita punya nilai-nilai
universal yang sama. Coba kalau sekarang teman-teman mulai membikin link
dengan senayan atau istana, yang sudah sejak sononya Dipo melakukan itu
sedemikian sehingga kita hanya akan menjadi yunior baginya. Tidak akan pernah
besar sesuatu yang sekedar jadi pengekor.
Saran
Namun bila
local genus itu dirasa tidak mungkin dilakukan oleh HMI kita, bila dianggap
tidak realistis, maka dengan keikhlasan, dengan sejernih-jernihnya pemikiran,
saya menyarankan untuk ada reunifikasi antara MPO dan Dipo.
Teman-teman
tidak perlu emosional dalam hal ini, kalau memang kader-kader mulai konsern menjalin hubungan dengan
birokrat dan politikus, mulai menikmati adanya proyek, dan berijtihad
bahwa itu juga untuk perjuangan, itu sah-sah saja. Bagi saya ijtihad
itu perlu ditingkatkan, demi kebaikan yang lebih besar, demi Indonesia.
Dulu
sebelum ada MPO-Dipo suara HMI benar-benar menentukan kebijakan Negara, ini
mungkin yang belum banyak diketahui kader MPO saat ini. Maka bila memang
ijtihad kader sekarang, HMI harus konsern ikut menentukan kebijakan Negara,
maka betapa amat efektifnya bila itu dari HMI yang satu.
Saya
paham, bahwa sebenarnya LK kita memang mendidik kader untuk jadi pemimpin.
Sejak Hasan Metarium dan Aisyah Amini ikut TOT ke India dan kemudian ditelurkan
menjadi pelatihan formal di HMI ujudnya LK-nya adalah Latihan Kepemimpinan, dan
ketika dimetamorfosis menjadi Latihan Kader secara subtansial tidak ada
perubahan, tetap tuntutannya menjadi pemimpin. Tidak ada kok dalam LK kita
diajarkan bagaimana menjadi bawahan yang tawadlu, lha wong ada peserta
pendiam saja dibuat bagaimana caranya bisa bicara. Semua dituntut untuk jadi
penggerak, dan itu adalah pemimpin. Maka wajar bila akhirnya banyak kader yang
tertarik dengan politik, dan banyak kader yang bertanya ke alumni sudah memimpin
apa di daerah masing-masing!
Jangan
sampai sekedar sejarah yang berbeda, kita terus merasa berbeda. Tidak ada dosa
turunan. Yang penting kini. Bila kita mengkaji secara heurmenetik sejarah
Himpunan ini, diawali dengan dialog intens dengan pelaku sejarah dan membaca
secara cermat manuskrip-manuskrip saat itu, Insya Alloh bila apa adanya, akan
ada kesimpulan bahwa pada medio
1985-1986 kenapa kanda-kanda kita begitu heroic memegang azas Islam
tidak lain dan tidak bukan karena memang pemahaman islamisasi sedang massif
di HMI. Jangan lihat kanda-kanda itu
saat ini. Kita harus tahu bagaimana saat itu beliau-beliau begitu teguh dengan
ibadah mahdloh (rajin puasa sunnah, rajin tahajud, dsb), begitu basah lisannya
dengan nash-nash, begitu getolnya dengan kampanye hijab (jilbab saat
itu). Pun juga dalam berpolitik, begitu beraninya mereka menentang Soeharto
yang dianggap representasi kaum kufar. Tentu juga dalam islamisasi keilmuan
yang sudah kita ketahui bersama. Alam
pikirannya sungguh-sungguh ajaran islam itu syumul dan sungguh mereka
jalankan dalam keseharian. Dalam kondisi seperti itu, mereka ditekan adanya
azas tunggal, tentu mereka berontak. Tetapi bila kejadian itu terjadi pada
kader yang wujudnya seperti saya ke bawah, yang
pahamnya sipilis kata orang salafi, sekularisme-pluralisme-liberalisme, di
tahun saat itu, rasanya kok kita tidak akan sebegitunya menentang azas tunggal.
Khotimah
Sebenarnya
pengendalian diri akan kedudukan, fasilitas hidup dan lawan jenis hanya sekian
buah dari Tanaman Akbar yang dipelihara oleh mu’min yang Ihsan, yaitu: syajaratu az-zuhud (Pohon Kezuhudan). Wallaahu
a’lam. (sh, sragen 11 Shafar 1434 H)
Ikhwanushoffa
Kader komfak Ushuluddin UIN Sunan kalijaga. Sekum HMI Badko Inbagteng periode 2001-2003
0 comments:
Post a Comment