Wednesday, 21 March 2018

LOCAL GENUS HMI, ADAKAH?!


Oleh : Ikhwanushoffa

Prasaran
Setiap peradaban besar pasti mempunyai pilar penyangga. Yakni memiliki nilai unggul universal baru dan tetap merengkuh nilai tradisional yang bermanfaat. Paling tidak itu yang diungkap oleh DR Sir Mohammad Iqbal ketika menceritakan kejayaan Yunani, dan DR Hassan Hanafi ketika memeri kehebatan Mao Tse Thung dalam mengukuhkan China.
Kesadaran ini sebenarnya sudah jamak dalam pikiran kader, tetapi dalam praktiknya tentulah tidak mudah. Gegap gempita polah gerakan mahasiswa ikut menarik-narik konsentrasi HMI dalam fokusnya mendidik diri. Kalaupun ada yang konsern dengan pembangunan nilai-nilai, kebanyakan lebih menawarkan nilai-nilai baru yang memang kelihatan lebih wah.

Ketika saya menyeleksi calon peserta LK III di Padepokan Syeh Siti Jenar saat itu, sempat mengemukan tidak saja nilai strategis dari local genus, tetapi juga kedahsyatannya. Tetapi ternyata itu tidak keluar, bahkan ketika pelaksanaan LK III. Problemnya ternyata sederhana, nilai  lokal itu ada disekitar kita, maka bila nilai itu tidak dihayati maka akan sangat mudah untuk menilainya, jadi sangat terukur. Tentu ini jadi problem bagi yang belum siap melaksanakannya, hatta itu oleh peserta LK III yang merupakan post LK kita.

Tawaran
Dalam kesempatan baik ini kembali saya menawarkan nilai tradisional yang sejak saya aktif di HMI selalu saya kampanyekan, karena akan benar-benar memperjelas posisi gerak kita, sekaligus menjadi pembeda yang gamblang  antara MPO dengan Dipo, sedemikian sehingga kita menjadi layak merasa penting untuk eksis. Nilai tradisional tentang: Harta, Tahta dan Wanita, amat khas dalam khasanah mozaik Indonesia. Nilai-nilai itu coba saya turunkan dalam agenda gerakan.

Harta
Dalam antologi tulisan-tulisan saya ketika masih aktif di Himpunan, yakni Corat-Coret Seorang Kader ada bab yang khusus membahas soal ini, judulnya “Bareng-Bareng”. Dalam pemenuhan sarana teknis untuk aktifitas HMI sungguh paling tepat kita meminjam konsepnya Mahatma Gandhi: Swadesi. Maka nilai-nilai pengorbanan akan tetap bertahan secara maksimal. Kita menjaga jarak dari pengajuan proposal kepada founding. Founding luar negeri begitu mengerikan kalau sudah menggelondorkan dana. Rata-rata diatas budget yang dibutuhkan, maka mark up-pun dengan senang hati dilakukan. Character assassination, itulah yang dilakukan para founding, sengaja atau tidak. Nilai kejujuran dan pengorbanan dibunuh, perlahan diganti dengan ketergantungan dan kesilauan terhadap proyek.


Tahta
Sungguh membosankan melihat kader yang bangga bisa bertemu pejabat atau politikus, lebih repot lagi bila hal itu dianggap prestasi. Kita bacalah tulisan-tulisan Kuntowijoyo, yang dengan jernihnya, dari pembacaan secara sejarah  yang jeli mampu membuktikan secara paradigmatik bahwa politik bukan penentu peradaban. Maka sangat pantas bila Himpunan ini berkonsentrasi mendidik manusia. Membangun karakter kader yang tidak terbawa arus dalam perubahan sistem politik apapun. Rosululloh sendiri sudah membuktikan bahwa manusialah penentu, bukan sistem. Usahlah kita berdebat mana dulu antara ayam dan telur.
Sungguh memilukan bagi saya bila pengurus HMI begitu enjoy keluar masuk gedung parlemen atau departemen bukan dalam rangka mengevaluasi, tetapi meminta jatah.

Wanita
Supaya ini tidak dianggap sebagai bias gender, saya ganti istilah dengan lawan jenis atau hijab. Ya, HMI kita ini mustinya hijabnya harus lebih ketat dibanding Dipo, ini bukan apa-apa, ini soal Islam.
Ketiga hal diatas bagi saya sebenarnya sekedar derivate dari makna Independensi di Khittah HMI yang entah saat ini masih tercantum atau tidak.
Sungguh bila local genus itu tidak ada di Himpunan kita, maka pertanyaan saya  adalah apa bedanya kita dengan Dipo?! Dipo dari dulu sudah dekat-dekat dengan kekuasaan, sudah biasa menerima proyek dan sebegitu bebasnya dalam pergaulan. Lalu bila mulai mirip-mirip dengan Dipo masih pantaskah kita ada?!
Local genus itu semacam raison d’etre (asbab keberadaan) kita, karena kita lahir dari rahim yang sama maka hampir bisa dipastikan kita punya nilai-nilai universal yang sama. Coba kalau sekarang teman-teman mulai membikin link dengan senayan atau istana, yang sudah sejak sononya Dipo melakukan itu sedemikian sehingga kita hanya akan menjadi yunior baginya. Tidak akan pernah besar sesuatu yang sekedar jadi pengekor.

Saran
Namun bila local genus itu dirasa tidak mungkin dilakukan oleh HMI kita, bila dianggap tidak realistis, maka dengan keikhlasan, dengan sejernih-jernihnya pemikiran, saya menyarankan untuk ada reunifikasi antara MPO dan Dipo.
Teman-teman tidak perlu emosional dalam hal ini, kalau memang kader-kader  mulai konsern menjalin hubungan dengan birokrat dan politikus, mulai menikmati adanya proyek, dan berijtihad bahwa itu juga untuk perjuangan, itu sah-sah saja.  Bagi saya ijtihad itu perlu ditingkatkan, demi kebaikan yang lebih besar, demi Indonesia.
Dulu sebelum ada MPO-Dipo suara HMI benar-benar menentukan kebijakan Negara, ini mungkin yang belum banyak diketahui kader MPO saat ini. Maka bila memang ijtihad kader sekarang, HMI harus konsern ikut menentukan kebijakan Negara, maka betapa amat efektifnya bila itu dari HMI yang satu.
Saya paham, bahwa sebenarnya LK kita memang mendidik kader untuk jadi pemimpin. Sejak Hasan Metarium dan Aisyah Amini ikut TOT ke India dan kemudian ditelurkan menjadi pelatihan formal di HMI ujudnya LK-nya adalah Latihan Kepemimpinan, dan ketika dimetamorfosis menjadi Latihan Kader secara subtansial tidak ada perubahan, tetap tuntutannya menjadi pemimpin. Tidak ada kok dalam LK kita diajarkan bagaimana menjadi bawahan yang tawadlu, lha wong ada peserta pendiam saja dibuat bagaimana caranya bisa bicara. Semua dituntut untuk jadi penggerak, dan itu adalah pemimpin. Maka wajar bila akhirnya banyak kader yang tertarik dengan politik, dan banyak kader yang bertanya ke alumni sudah memimpin apa di daerah masing-masing!
Jangan sampai sekedar sejarah yang berbeda, kita terus merasa berbeda. Tidak ada dosa turunan. Yang penting kini. Bila kita mengkaji secara heurmenetik sejarah Himpunan ini, diawali dengan dialog intens dengan pelaku sejarah dan membaca secara cermat manuskrip-manuskrip saat itu, Insya Alloh bila apa adanya, akan ada  kesimpulan bahwa pada medio 1985-1986 kenapa kanda-kanda kita begitu heroic memegang azas Islam tidak lain dan tidak bukan karena memang pemahaman islamisasi sedang massif di HMI.  Jangan lihat kanda-kanda itu saat ini. Kita harus tahu bagaimana saat itu beliau-beliau begitu teguh dengan ibadah mahdloh (rajin puasa sunnah, rajin tahajud, dsb), begitu basah lisannya dengan nash-nash, begitu getolnya dengan kampanye hijab (jilbab saat itu). Pun juga dalam berpolitik, begitu beraninya mereka menentang Soeharto yang dianggap representasi kaum kufar. Tentu juga dalam islamisasi keilmuan yang sudah kita ketahui bersama.  Alam pikirannya sungguh-sungguh ajaran islam itu syumul dan sungguh mereka jalankan dalam keseharian. Dalam kondisi seperti itu, mereka ditekan adanya azas tunggal, tentu mereka berontak. Tetapi bila kejadian itu terjadi pada kader yang wujudnya seperti saya ke bawah, yang pahamnya sipilis kata orang salafi, sekularisme-pluralisme-liberalisme, di tahun saat itu, rasanya kok kita tidak akan sebegitunya menentang azas tunggal.

Khotimah
Sebenarnya pengendalian diri akan kedudukan, fasilitas hidup dan lawan jenis hanya sekian buah dari Tanaman Akbar yang dipelihara oleh mu’min yang Ihsan, yaitu: syajaratu az-zuhud (Pohon Kezuhudan). Wallaahu a’lam. (sh, sragen 11 Shafar 1434 H)

Ikhwanushoffa
Kader komfak Ushuluddin UIN Sunan kalijaga. Sekum HMI Badko Inbagteng periode 2001-2003



Categories:

0 comments:

Post a Comment