Isu-isu tentang kepemudaan terus
mewarnai perbincangan media massa. Misalnya soal kontribusi pemuda dalam
menggerakkan sektor ekonomi nasional, munculnya pemimpin-pemimpin muda di ajang
pemilihan kepala daerah,serta peran pemuda Indonesia di forum-forum perubahan
iklim ataupun dialog kebudayaan internasional.
Menguatnya diskursus kepemudaan
itu juga didorong isu bonus demografi yang sedang dinikmati Indonesia sejak
2015, yang akan berpuncak pada 2020- 2035. Melalui bonus demografi ini,
Indonesia akan menerima anugerah berupa tingginya angka usia produktif selama
lebih kurang 15 tahun, yang komponen utama di dalamnya tentu saja adalah para
pemuda.
Dengan jumlah 61,8 juta pemuda
atau sekitar 25 persen dari total penduduk Indonesia (BPS; 2014), sejatinya
eksistensi pemuda Indonesia dalam kehidupan berbangsa-bernegara sangat
signifikan. Merekalah yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa ini di
semua sektor kehidupan. Merawat 61,8 juta pemuda ini sama saja dengan merawat
keberlangsungan Indonesia.
Kontribusi
besar pemuda
Secara kuantitas, jumlah pemuda
Indonesia cukup besar. Namun, dalam kenyataannya, kita belum secara
sungguh-sungguh menempatkan pemuda sebagai ujung tombak dari pembangunan
nasional kita. Jargon bahwa pemuda adalah harapan bangsa, pemuda adalah agen
perubahan, lebih sering berhenti di retorika tetapi minim dalam implementasi
pergerakannya.
Angka partisipasi pemuda dalam
pengambilan kebijakan pemerintah, baik pusat dan daerah, masih rendah. Di
desa-desa, musyawarah rencana pembangunan desa mayoritas dihadiri orang- orang
tua. Musyawarah rencana pembangunan di kabupaten/kota dan provinsi jarang
sekali terlihat ada pimpinan organisasi kepemudaan daerah yang diajak bicara
saat membahas APBD. Pun di pusat, setali tiga uang. Program prioritas
kepemudaan didiskusikan dan diputuskan orang-orang tua dengan perspektif orang
tua.
Keterlibatan pemuda dalam
perencanaan pembangunan murni mengandalkan representasi politik mereka di
parlemen melalui partai politik. Sementara Badan Parlemen Dunia Inter-
Parliamentary Union (IPU) mencatat bahwa parlemen Indonesia—dalam hal ini
DPR—berada di urutan ke-33 dalam hal proporsi anggota parlemen usia di bawah 30
tahun dengan persentase 2,9 persen atau tidak lebih dari 17 orang dari 560
anggota DPR (dpr.go.id). Artinya, sangat tidak proporsional jika dibandingkan
dengan persentase jumlah pemuda yang mencapai 25 persen dari total penduduk
Indonesia.
Padahal,
hari ini potensi anak muda Indonesia sangat luar biasa. Hampir setiap saat kita
mendapatkan kabar baik tentang bagaimana pemuda-pemuda kita memenangi kompetisi
di ajang internasional, mulai dari ajang olimpiade sains, olahraga, kompetisi
musik, film, lingkungan hidup, dan socialprenuerlainnya.
Mereka mengharumkan nama bangsa dan negaranya secara mandiri tanpa harus
”merepotkan” negara.
Tahun
2015, Kementerian Perdaganganmerilis bahwa terdapat 62 start upIndonesia yang kebanjiran
dana investasi hingga puluhan triliun rupiah. Omzet belanja daring (e-commerce)
Indonesia pada 2015 dilaporkan mencapai Rp 200 triliun lebih. Angka ini sungguh
fenomenal. Semua orang tahu, di balik itu semua mayoritas pelakunya adalah
anak-anak muda, entah ia sebagai produsen, distributor, atau bahkan pangsa
pasarnya.
Hari ini banyak muncul CEO muda
yang usianya di bawah 30 tahun. Pada usia muda, mereka sudah dipercaya memimpin
perusahaan-perusahaan nasional dan multinasional yang beromzet puluhan miliar
bahkan ratusan miliar rupiah per tahun.
Tahun
2016, majalah Forbes merilis ada 17 putra-putri Indonesia yang
masuk daftar ”30 Under 30 Asia” yang dianggap menjanjikan. Mereka datang dari
berbagai latar belakang dan sebagian besar merupakan pengusaha, serta pendiri
perusahaan. Salah satunya adalah Ferry Unardi, berusia 28tahun, Cofounder and
CEO Traveloka.
Berdasarkan data itu, sungguh
ironi jika kita tidak berbicara tentang pengarusutamaan pemuda. Ironi, jika
kita menganggap remeh potensi anak muda Indonesia. Sama ironinya dengan
mengabaikan fakta bahwa seluruh perubahan besar di negeri ini selalu tidak
lepas dari kontribusi besar para pemuda.
Pihak United Nations Children’s
Fund (Unicef) bahkan melakukan studi tentang partisipasi pemuda dalam strategi
pengentasan rakyat dari kemiskinan dan perencanaan pembangunan nasional di
tujuh region di dunia. Berdasarkan hasil studi itu, banyak perencanaan
pembangunan nasional negara-negara anggota PBB tersebut yang kurang
memperhatikan prioritas kebutuhan kaum muda.
Dewan
Ekonomi dan Sosial PBB (United Nation Economic and Social Council/Ecosoc) tahun
1997 bahkan mendefinisikan secara khusus tentang pengarusutamaan pemuda (youth
mainstreaming), yaitu proses penilaian besarnya pengaruh (terhadap pemuda) dari
tindakan yang telah direncanakan, termasuk pembuatan undang-undang, kebijakan
atau program, dalam semua bidang dan pada semua tingkatan.
Tiga
kerangka kebijakan
Memperkuat hal itu, Kementerian
Pemuda dan Olahraga telah menyiapkan tiga kerangka kebijakan untuk mendukung
upaya pengarusutamaan pemuda dalam pembangunan nasional. Pertama, draf
Peraturan Presiden tentang Pembangunan Kepemudaan Lintas Sektor, yang nantinya
akan menjadi pedoman bagi kementerian/lembaga dalam memberikan titik tekan
kepemudaan di setiap program dan kegiatan kementerian/lembaga.
Kedua, menyiapkan Indeks
Pembangunan Kepemudaan, yang nantinya akan menjadi tolok ukur nasional ataupun
daerah terkait capaian program-program kepemudaan.
Ketiga, menyiapkan
penghargaanyang disebut Kota Pemuda. Lewat gagasan ini diharapkan memacu
pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan isu kepemudaan dan juga melibatkan
pemuda dalam proses pengambilan kebijakan di daerah.
IMAM NAHRAWI
Menteri Pemuda dan Olahraga
0 comments:
Post a Comment