Saturday, 29 October 2016

Dunia Baru

Oleh: SAMUEL MULIA
Jam menunjukkan nyaris pukul tujuh malam. Saya berada di dalam mobil bersama staf saya yang usianya paling muda, baru 21 tahun dan yang tertua 32 tahun. Sepanjang perjalanan, mereka memutar lagu-lagu dari grup band atau penyanyi yang tak saya ketahui namanya. Lagunya pun saya tak mengerti. Sungguh asing buat gendang telinga berusia 53 tahun ini.
Generasi baru
Kami berdiskusi dari soal paras wanita dan pria yang cantik dan tampan sampai dunia perfilman. Harus saya akui, saya seperti ketinggalan kereta. Saya terengah-engah tentang apa yang mereka sebut cantik dan tampan, tentang grup musik bernama ajaib dan bagaimana mereka melihat hidup. Sungguh berbeda dengan zaman muda saya dulu.
Mobil yang saya tumpangi salah masuk jalur sehingga kami harus memutar. Mereka hanya bersuara. "Kita salah, ya? Ha-ha-ha. santai aja, depan bisa muter tuh." Sementara saya sudah deg-degan kalau salah. Apalagi, hari sudah gelap dan hujan tak berhenti dari siang tadi. Pikiran saya sudah ke mana-mana dan memikirkan risiko yang paling buruk.
Saya melihat mereka begitu santai melihat hidup, sementara saya dididik untuk hati-hati alias untuk takut menghadapi hidup. Untuk waspada senantiasa sehingga saya melihat hidup dengan ketegangan. Melihat indahnya gunung, dan birunya laut dengan waswas.
Mereka melihatnya seperti tak peduli dengan mobil salah jalan dan kemungkinan tersesat. Saya sampai mikir, mungkin generasi muda ini melihat hidup dengan perasaan yang senang dan seperti tak peduli.
Mungkin perilaku yang tampaknya tak peduli dari generasi muda yang disebut milenial ini, yang akan melahirkan friksi dengan orangtua, bos, dan atasan. "Mas, teman aku kesel banget sama ibunya. Temen aku itu disuruh keluar dari kerjaannya karena sering pulang malam. Ibunya curiga temenaku itu, padahal dia sangat menikmati pekerjaannya yang memang membuat dia sering pulang malam," kata salah satu dari mereka.
"Dia disuruh pindah kerja yang jam pulangnya jam 5-an gitu, Mas. Kan aneh banget ya, Mas. Kasihan temen aku itu sampai stres. Di satu sisi seneng amakerjaan, di satu sisi stress dengerin ibunya yang khawatir. Masak hari gini jam 5 uda di rumah. Ha-ha-ha-ha," ia melanjutkan lagi.
Mumifikasi
Maka, yang seyogianya harus berubah itu memang saya sebagai generasi yang sudah lewat masanya. Sebab, generasi berikutnya dengan tabiat dan cara pandang yang berbeda yang akan menjadi generasi selanjutnya. Dunia tidak akan dipenuhi dengan generasi yang sudah seperti saya.
Kalau saya yang tak mau berubah, saya yang bakal cepat meninggal. Meninggalnya bukan karena sakit jantung, tapi karena sakit hati. Sakit hati karena tak bisa menerima bahwa yang disebut sopan santun itu berbeda antara saya dan generasi muda sekarang ini.
Kalau dahulu hubungan antara orangtua dengan anak, atau atasan dengan bawahan mirip sipir penjara dengan para penjahat, sekarang mau tak mau saya mengubah untuk menjadi seperti teman.
Saya dididik di dalam penjara kehidupan yang kaku, tak boleh berdebat karena debat dianggap kurang ajar. Dulu saya dididik untuk tak bisa menjadi diri sendiri karena harus memikirkan jabatan bapak, imej keluarga, dan sejuta ini tidak boleh dan itu tidak boleh.
Sekarang saya melihat ada anak bicara soal kejelekan orangtua di media sosial. Ada yang putus cinta sampai menangis tersedu-sedan diabadikan dalam sebuah video yang diambil secara menarik. Sementara dulu saya putus cinta rasanya mau berpikir dipertontonkan saja, malu sekali rasanya.
Mereka mempertontonkan emosi, kepandaian, kekayaan, ketampanan, kecantikan raga, dan kesuksesan tanpa tedeng aling-aling, bahkan tanpa sungkan memberi predikat kelompok mereka sebagai kelompok anak-anak super kaya.
Kalau dahulu saya dididik untuk hidup dalam kesederhanaan, meski kesederhanaan yang munafik, sekarang mereka membanggakan hasil kerja mereka atau harta yang diperoleh tanpa harus bekerja.
Dahulu, saya dibungkam dengan kalimat. "Orang itu gak boleh sombong, jangan sok pamer." Sekarang, mereka para generasi muda itu melihatnya sebagai sebuah aktivitas memamerkan sebuah hak individu.
Kalau saya ini berfriksi dengan mereka, mungkin sejujurnya saya tidak mau siap dan bukan tidak siap melihat zaman berubah. Saya seperti mau memumifikasikan didikan generasi masa lampau itu, dan saya ingin generasi baru menghormati yang saya mumifikasikan itu. Dan, ketika mereka memiliki cara berbeda dalam menghormati, saya naik pitam.
Mengapa saya keder, mengapa ibu anak dalam cerita di atas terjadi? Itu bukan karena saya dan ibu itu tidak percaya kepada generasi muda itu, tetapi mungkin kami keder bahwa kami tak sanggup berpacu dengan mereka.
Dunia baru dengan generasi baru di dalamnya tak bisa saya hindari datangnya. Saya tak bisa mengelak dengan menciptakan friksi. Maka, saya telah memutuskan untuk menjadikan mereka penuntun saya masuk ke dunia baru itu agar saya ini lebih mengenal mereka dan tidak mati karena sakit hati.
Saya ini mau meninggal dunia tanpa penyesalan. Dan, penyesalan yang paling besar buat saya adalah kalau hanya menyalahkan dunia yang baru itu, dan lupa bahwa sejujurnya, karena saya sendiri terlalu berat untuk berubah!
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Oktober 2016, di halaman 20 dengan judul "Dunia Baru".

Categories: ,

0 comments:

Post a Comment