Oleh: SAMUEL MULIA
Jam menunjukkan nyaris pukul tujuh malam. Saya berada di dalam mobil bersama
staf saya yang usianya paling muda, baru 21 tahun dan yang tertua 32 tahun.
Sepanjang perjalanan, mereka memutar lagu-lagu dari grup band atau penyanyi
yang tak saya ketahui namanya. Lagunya pun saya tak mengerti. Sungguh asing buat
gendang telinga berusia 53 tahun ini.
Generasi baru
Kami berdiskusi dari soal paras wanita dan pria yang cantik dan tampan
sampai dunia perfilman. Harus saya akui, saya seperti ketinggalan kereta. Saya
terengah-engah tentang apa yang mereka sebut cantik dan tampan, tentang grup
musik bernama ajaib dan bagaimana mereka melihat hidup. Sungguh berbeda dengan
zaman muda saya dulu.
Mobil yang saya tumpangi salah masuk jalur
sehingga kami harus memutar. Mereka hanya bersuara. "Kita salah, ya?
Ha-ha-ha. santai aja, depan bisa muter tuh." Sementara saya sudah deg-degan kalau salah. Apalagi, hari sudah
gelap dan hujan tak berhenti dari siang tadi. Pikiran saya sudah ke mana-mana
dan memikirkan risiko yang paling buruk.
Saya melihat mereka begitu santai melihat hidup, sementara saya dididik
untuk hati-hati alias untuk takut menghadapi hidup. Untuk waspada senantiasa
sehingga saya melihat hidup dengan ketegangan. Melihat indahnya gunung, dan
birunya laut dengan waswas.
Mereka melihatnya seperti tak peduli
dengan mobil salah jalan dan kemungkinan tersesat. Saya sampai mikir, mungkin generasi muda
ini melihat hidup dengan perasaan yang senang dan seperti tak peduli.
Mungkin perilaku yang tampaknya tak peduli
dari generasi muda yang disebut milenial ini, yang akan melahirkan friksi
dengan orangtua, bos, dan atasan. "Mas, teman aku kesel banget sama ibunya. Temen aku itu disuruh keluar dari kerjaannya
karena sering pulang malam. Ibunya curiga temenaku itu, padahal dia sangat menikmati
pekerjaannya yang memang membuat dia sering pulang malam," kata salah satu
dari mereka.
"Dia disuruh pindah kerja yang jam pulangnya jam 5-an gitu, Mas.
Kan aneh banget ya, Mas. Kasihan temen aku itu sampai
stres. Di satu sisi seneng amakerjaan, di satu sisi stress dengerin ibunya
yang khawatir. Masak hari gini jam 5 uda di rumah.
Ha-ha-ha-ha," ia melanjutkan lagi.
Mumifikasi
Maka, yang seyogianya harus berubah itu memang saya sebagai generasi yang
sudah lewat masanya. Sebab, generasi berikutnya dengan tabiat dan cara pandang
yang berbeda yang akan menjadi generasi selanjutnya. Dunia tidak akan dipenuhi
dengan generasi yang sudah seperti saya.
Kalau saya yang tak mau berubah, saya yang bakal cepat meninggal.
Meninggalnya bukan karena sakit jantung, tapi karena sakit hati. Sakit hati
karena tak bisa menerima bahwa yang disebut sopan santun itu berbeda antara
saya dan generasi muda sekarang ini.
Kalau dahulu hubungan antara orangtua dengan anak, atau atasan dengan
bawahan mirip sipir penjara dengan para penjahat, sekarang mau tak mau saya
mengubah untuk menjadi seperti teman.
Saya dididik di dalam penjara kehidupan yang kaku, tak boleh berdebat karena
debat dianggap kurang ajar. Dulu saya dididik untuk tak bisa menjadi diri
sendiri karena harus memikirkan jabatan bapak, imej keluarga, dan
sejuta ini tidak boleh dan itu tidak boleh.
Sekarang saya melihat ada anak bicara soal kejelekan orangtua di media
sosial. Ada yang putus cinta sampai menangis tersedu-sedan diabadikan dalam
sebuah video yang diambil secara menarik. Sementara dulu saya putus cinta
rasanya mau berpikir dipertontonkan saja, malu sekali rasanya.
Mereka mempertontonkan emosi, kepandaian, kekayaan, ketampanan, kecantikan
raga, dan kesuksesan tanpa tedeng aling-aling, bahkan tanpa sungkan
memberi predikat kelompok mereka sebagai kelompok anak-anak super kaya.
Kalau dahulu saya dididik untuk hidup dalam kesederhanaan, meski
kesederhanaan yang munafik, sekarang mereka membanggakan hasil kerja mereka
atau harta yang diperoleh tanpa harus bekerja.
Dahulu, saya dibungkam dengan kalimat. "Orang itu gak boleh
sombong, jangan sok pamer." Sekarang, mereka para generasi muda itu
melihatnya sebagai sebuah aktivitas memamerkan sebuah hak individu.
Kalau saya ini berfriksi dengan mereka, mungkin sejujurnya saya tidak mau
siap dan bukan tidak siap melihat zaman berubah. Saya seperti mau
memumifikasikan didikan generasi masa lampau itu, dan saya ingin generasi baru
menghormati yang saya mumifikasikan itu. Dan, ketika mereka memiliki cara
berbeda dalam menghormati, saya naik pitam.
Mengapa saya keder, mengapa ibu anak dalam cerita di atas terjadi? Itu
bukan karena saya dan ibu itu tidak percaya kepada generasi muda itu, tetapi
mungkin kami keder bahwa kami tak sanggup berpacu dengan mereka.
Dunia baru dengan generasi baru di dalamnya tak bisa saya hindari
datangnya. Saya tak bisa mengelak dengan menciptakan friksi. Maka, saya telah
memutuskan untuk menjadikan mereka penuntun saya masuk ke dunia baru itu agar
saya ini lebih mengenal mereka dan tidak mati karena sakit hati.
Saya ini mau meninggal dunia tanpa penyesalan. Dan, penyesalan yang paling
besar buat saya adalah kalau hanya menyalahkan dunia yang baru itu, dan lupa
bahwa sejujurnya, karena saya sendiri terlalu berat untuk berubah!
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Oktober 2016, di
halaman 20 dengan judul "Dunia Baru".
0 comments:
Post a Comment