”Muhammadiyah menyadari
bahwa politik sarat dengan kontroversi dan kepentingan perebutan kekuasaan.
Oleh sebab itu, kita berharap kontestasi itu berlangsung demokratis, elegan,
bermartabat, dan berkeadaban.”
(Haedar Nashir, 13
Oktober 2016)
Amanat Ketua Umum PP Muhammadiyah kepada warga Muhammadiyah khususnya dan
bangsa Indonesia menyambut pilkada yang mulai panas perlu mendapatkan perhatian
agar bangsa ini tetap bermartabat.
Sebab, kita merasakan detik- detik menjelang pilkada serentak, Februari
2017, suhu politik semakin memanas. Tensi antarkelompok kepentingan demikian
keras, baik di media sosial ataupun di lapangan nyata.
Ancaman politik kebencian
Beberapa daerah yang hendak menyelenggarakan pemilihan kepala daerah
(pilkada), seperti Jakarta dan Yogyakarta, tentu berharap tak menumbuhkan
politik kebencian yang didasarkan pada kandidat karena faktor agama dan etnis.
Hal ini perlu diantisipasi karena demokrasi kita tidak didasarkan pada
kebencian etnis atau agama, apalagi partai. Demokrasi kita adalah inklusif atas
agama, etnis, dan partai apa pun namanya, kecuali Partai Komunis Indonesia.
Survei Wahid Foundation menemukan sejumlah data yang dinilai cukup
mengkhawatirkan. Dari 1.520 responden, 59,9 persen memiliki kelompok yang
dibenci. Kelompok yang dibenci meliputi mereka yang berlatar belakang agama
non-Muslim, kelompok Tionghoa, komunis, dan lainnya. Dari 59,9 persen itu, 92,2
persen tidak setuju jika anggota kelompok yang mereka benci menjadi pejabat
pemerintah di Indonesia. Sebanyak 82,4 persennya bahkan tidak rela anggota
kelompok yang dibenci itu menjadi tetangga mereka.
Ini sungguh sebuah temuan yang mengkhawatirkan mengingat Indonesia
merupakan negara yang beragam. Kebencian tentu tidak sesuai dengan ajaran
teologi agama-agama.
Kebencian atas kelompok lain yang tertera dalam survei Wahid Foundation di
atas bisa dikatakan sebagai bagian dari ancaman teologi kebencian. Politik
kebencian merupakan salah satu turunan dari pemahaman teologi yang tak bersedia
menerima adanya perbedaan. Teologi yang dihadirkan adalah kehendak keharusan
adanya keseragaman dari semua penganut agama. Jika ada perbedaan, yang berbeda
harus mengikuti yang mayoritas atau yang memaksa kaum minoritas mengikutinya.
Politik yang dilandaskan pada teologi semacam ini akan melahirkan kebencian
kepada pihak lainnya sehingga tidak bersedia dengan lapang dada, hati yang
jernih, serta pikiran sehat menerima bahwa perbedaan merupakan karunia ilahi
yang harus disyukuri dan menjadi ciri khas keagamaan. Keharusan adanya kesamaan
teologi yang berlebihan akhirnya menciptakan kebencian pada pihak lain yang
berbeda. Siapa saja yang berbeda dianggap musuh, lawan, dan harus ditaklukkan.
Teologi politik kebencian pun pada akhirnya menghadirkan semangat penaklukan
atas orang yang berbeda.
Teologi politik kebencian, karena itu, merupakan teologi yang dikemas dalam
perspektif teologi jangka pendek, pendek akal, dan kepicikan. Teologi semacam
ini jika terus berkembang akan mengarah pada munculnya teologi kematian, bukan
teologi kehidupan dan kemuliaan. Hal ini akhirnya akan sangat berdampak pada
munculnya kekerasan berbasiskan teologi (keagamaan) karena menganggap yang
berbeda adalah musuh yang harus dimusnahkan dari muka bumi.
Mendialogkan perbedaan
Kasus yang beberapa kali terjadi di Indonesia, yang melibatkan antaragama,
sebenarnya menunjukkan adanya teologi politik kebencian. Apalagi situasi
politik jelang pilkada di DKI Jakarta, yang berkembang di media sosial, sungguh
jadi bagian dari teologi politik kebencian yang senantiasa ditabuh ketika
pergolakan politik hendak digelar di Indonesia. Dengan demikian, sebenarnya
politik kita belum bisa dilepaskan dari teologi politik yang agak kurang
santun.
Berbeda pandangan harusnya bisa dijelaskan dengan santun. Kesalahan
seseorang juga bisa dimaafkan jika menyangkut pemahaman.
Kita tentu harus adil dengan hukum. Jika menyangkut persoalan pidana dan
kriminal, jika terbukti, pelakunya harus diberi sanksi atau hukuman. Namun,
bukan dengan cara mengancam, apalagi hendak membunuh yang salah. Hal seperti
itu perlu dijelaskan sehingga peristiwa tak jadi kapitalisasi kebencian yang
akan terus berulang di kemudian hari.
Apa yang terjadi di DKI Jakarta, buat saya, adalah salah satu bentuk dari
kebencian yang muncul ke permukaan dari sekelompok orang beragama yang ada di
Indonesia, kemudian dikapitalisasi dengan mempergunakan teologi politik
kebencian atas nama seluruh umat. Sekalipun sebenarnya lebih banyak karena
faktor perbedaan pilihan politik saat pilkada.
Bagaimana jika hal serupa terus terjadi di belahan bumi Indonesia? Bukankah
negeri ini akan jadi negeri penuh ”kebencian atas adanya praktik keagamaan”
yang beragam? Sungguh mengherankan dan mengerikan sebab negeri ini merupakan
negeri dengan beragam perbedaan kultur ataupun agama.
Oleh sebab itu, kita harus memperbanyak dialog agar menghindari adanya
pemaksaan- pemaksaan dalam hal keagamaan (teologi). Kita tidak bisa memaksakan
perspektif teologi kita kepada pihak lain yang berbeda. Biarlah perbedaan
teologi itu jadi kekayaan spiritual yang harus kita hadapi. Biarkan perbedaan
teologi itu jadi warna dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. Kita tak perlu
risau, apalagi takut dengan perbedaan teologi sebab kita berbeda bukan untuk
dipersamakan semuanya.
Hal yang harus dikembangkan adalah memahami bahwa perbedaan teologi itu
dapat membawa rahmat bagi seluruh umat manusia. Perbedaan teologi itu khazanah
yang telah termaktub dalam kitab suci agama-agama. Kita tak perlu memaksakan
pandangan teologi kita kepada pihak lain agar sama dengan kita. Kita tak pula
harus mengancam pihak lain yang berbeda teologinya.
Biarkan perbedaan teologi terus berlangsung dalam khazanah saling memahami,
menghormati, dan saling menjaga perasaan. Bukankah Tuhan juga menegaskan: tidak
ada pemaksaan dalam hal agama (teologi)? Lantas, mengapa kita seakan lebih
berkuasa daripada Tuhan? Dialog teologis, karena itu, perlu dilakukan untuk
menjaga keberlangsungan perbedaan teologi agar saling memahami, menghargai,
menghormati serta membiarkan perbedaan itu tetap terjaga; bukan memusuhi dan
menebarkan teologi politik kebencian.
Menghentikan kebencian
Kebencian yang menghadirkan kekerasan bukanlah ajaran agama-agama.
Kebencian dan kekerasan dikutuk oleh semua agama yang mencintai kemanusiaan.
Kebencian dan kekerasan hanya akan menciptakan kehancuran.
Agar kita terhindarkan dari kehancuran peradaban dunia di Indonesia,
agaknya sinergi antarkelompok agama mayoritas (Islam dan Kristen) di Indonesia
perlu dikuatkan kembali untuk menumbuhkan pemahaman yang menghadirkan
penghargaan, penghormatan, dan menebarkan kasih sayang kepada sesama umat
Tuhan.
Dengan menghadirkan pemahaman seperti itu, pada akhirnya teologi politik
kebencian yang menjadi kekhawatiran bersama akan tereduksi dari Bumi Pertiwi.
Kita tak ingin kekerasan yang terjadi di negara-negara lain kemudian menjadi
bagian nyata dari kehidupan negara kita dengan penduduk mayoritas Muslim ini.
Syaratnya hanyalah kita mampu menghindarkan lahirnya teologi politik kebencian
tersebut secara bersama.
Amanat Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, (13/10), ketika menyikapi
perkembangan politik di Indonesia, Jakarta khususnya, memberikan penjelasan
bahwa agar umat Islam tidak saling melakukan penghakiman dan tidak melakukan
provokasi atas yang lain. Namun, haruslah tetap berjalan pada koridor hukum,
menjaga keamanan, dan tetap berkhidmat dalam pembangunan bangsa serta
menciptakan peradaban yang mulia untuk Indonesia yang lebih baik.
ZULY QODIR
Sosiolog, Direktur Sekolah Politik Ahmad
Syafii Maarif, Pascasarjana UMY
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Oktober 2016, di
halaman 7 dengan judul "Teologi Politik Jelang Pilkada".
0 comments:
Post a Comment