Delapan puluh delapan tahun sudah
usia Sumpah Pemuda 1928 dan bahasa Indonesia telah menjadi bahasa kita. Ini
”anugerah bahasa” luar biasa bagi bangsa ini. Sebab, pemilihan satu bahasa
nasional di antara ratusan bahasa daerah tersebut tanpa konflik dan disepakati jauh
sebelum kita menjadi bangsa merdeka.
Pilihan ini bukan sekadar peristiwa
linguistik, suatu peristiwa di mana sekelompok orang bersepakat menggunakan
satu bahasa bersama. Pemuda hebat-cerdas saat itu sesungguhnya sedang
menyiapkan titik berangkat yang memandu penghormatan atas kebinekaan, dengan
meletakkan ”bahasa kami”, bahasa daerah, yang ratusan jumlahnya itu ke dalam
kerangka ”bahasa kita”, bahasa Indonesia, sebagai titik-jumpanya.
Pilihan ini adalah ikhtiar profetik
yang tidak saja mengkhidmati kitaran historis saat itu, tetapi juga terbukti di
kemudian hari merupakan upaya perenial yang melampaui zamannya. Bukti nyata
dari upaya profetik-penerial itu adalah, kini, Indonesia yang berjumpa,
bercakap, memajukan diri, dan terus mengelola kebinekaan dengan menggunakan
satu bahasa kita: bahasa Indonesia.
Kuasa semantik
Dalam rentang masa 88 tahun, bahasa Indonesia telah mengalami
pencanggihan gramatika yang luar biasa melalui kuasa semantik (semantic power) pemakainya.
Ilmuwan dan kaum cendekia telah
membikin bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmu melalui reka-cipta kosakata dan
pencanggihan wacana ilmiah. Di tangan pakar dan cendekia, bahasa Indonesia
menjadi penghela ilmu.
Teknokrat, negarawan, dan politisi
telah membawa bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi dalam menumbuhkan
demokrasi. Sastrawan telah dengan hebatnya mengkreasi, mengeksplorasi,
menawarkan cara ”pengucapan” baru yang tidak saja semakin memperkaya kosakata,
tetapi juga tak hentinya menyodorkan keluhungan gaya dan laras estetiknya.
Wartawan dengan daya pewartaannya,
tidak saja memberi kabar pada khalayak, tidak saja menggunakan kata dan
kalimat, tetapi lebih dari itu telah menemukan kata-kata baru, menemukan laras
baru dan semakin baru dalam kecanggihan pewartaannya. Wartawan telah menghidupkan
kata-kata yang nyaris ”mati” dalam lembaran kamus, mengeksplorasi kata-kata
baru, bahkan membikin idioma-idioma baru yang sebelumnya tak terbayangkan dalam
kesederhanaan bahasa Indonesia.
Bahasa kebencian
Tetapi dengan kuasa semantik itu pula, dalam tahun-tahun terakhir
ini, di saat sebagian dari kita semakin memilih berjumpa di dunia maya, kita
menyaksikan bahasa Indonesia telah dibawa ke tindak tutur (speech act) yang ”buruk rupa”.
Bahasa Indonesia telah disekap ke dalam ruang personal, kelompok, bahkan dalam
perseteruan warga daring (netizen)
menjadi bahasa yang defisit budi-bahasanya, kehilangan adab tuturnya.
Sekelompok manusia urban Indonesia,
terdidik, kawula muda, selapis generasi yang mungkin akan mengisi slot bonus
demografi pada tahun 2025 nanti, yang menyebut dirinya warga daring, telah
dengan sadar merayakan tuturan bernada ketus, cibir, hujat, dan saling
menegasikan. Para peraya—yang merayakan—kecibiran ini sedang menyekap bahasa
Indonesia ke ranah tutur personal-lokal dan mengabaikan prinsip-prinsip etik
dan kesantunan.
Sudah begitu, bahasa mereka mendaku: ”aku paling baik” dan ”kau
yang buruk”, ”gua yang paling benar” dan ”lu yang salah” dengan segala vokabulari
performatifnya. Bahkan, dalam kedakuan itu, para warga daring dengan begitu
pongah dan tak malu-malunya mengklaim diri sebagai pembenci (haters) saat vis-á-vis dengan penyuka (lovers)
sebagai ”manusia seberang” yang dipersepsikan sebagai biang keburukan. Aku
adalah kebenaran dan kebaikan, kamu adalah kesalahan dan keburukan.
Bahkan, karena sebegitu dahsyatnya daya sebar-tebar bahaya
(tuturan) cibir, ketus, hujat, dan negasi, yang bisa memberi efek kekacauan
sosial dan instabilitas negara, Kepala Kepolisian Negara RI pada akhir tahun
2015 pun sampai turun tangan mengeluarkan edaran yang memastikan dan memaksa
ujaran kebencian (hate
speech) harus dihentikan.
Diduakan
Tak cukup dalam ujaran kebencian.
Di ranah lain pun dengan ”kekuasaan semantik” yang dimainkan pemilik
modal—dengan dalih bisnis dan klaim komunikasi global—bahasa Indonesia
diduakan. Lihat saja ruang-ruang publik kita di sejumlah kota besar di
Indonesia. Penamaan gedung, pusat belanja, pusat jajan, pusat kuliner, kluster,
kondominium, perhotelan, dan perkantoran penuh-sumpek dengan nama dalam bahasa
asing.
Bahasa Indonesia yang telah
dimarwahkan 88 tahun lalu dan menjadi perekat keindonesiaan kita telah disekap
ke dalam tempat yang tidak utama dalam ruang publik, dinomorduakan dengan
ukuran ortografi yang kecil dan tidak menarik pandang, bahkan diabaikan. Ruang
publik di kota-kota besar (mungkin juga kota kecil) kita sekarang seakan
kehilangan bahasa sendiri di negeri sendiri. Padahal, bukankah pengabaian atas
apa yang menjadi kekayaan bangsa adalah—meminjam terma Radhar Panca Dahana—menghina
bangsa sendiri?
Delapan puluh delapan tahun sudah
bahasa Indonesia merekat-kuatkan bangunan keindonesiaan, tetapi kini warga
daring—yang terdidik itu—justru menggunakannya untuk kemarahan, kejengkelan,
dan permusuhan. Delapan puluh delapan tahun sudah bahasa Indonesia menjangkau
jagat kesadaran kebangsaan kita, tetapi kini pemilik modal malah
mengabaikannya. Kita mungkin tak pernah membayangkan, bila bukan karena
deklarasi pemuda hebat-cerdas itu, bisa jadi keindonesiaan kita berwujud lain.
Dan, coba hentikan barang sejenak edar bahasa Indonesia dari jagat percakapan
dan perjumpaan keindonesiaan kita, lalu lihatlah apa yang terjadi pada
kebinekaan kita; dan saksikanlah apa masih tersisa dari ketunggalikaan kita!
GUFRAN A IBRAHIM
Profesor Antropolinguistik
Universitas Khairun, Ternate
versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Menduakan Bahasa Sendiri"
0 comments:
Post a Comment