Pusat kekuasaan Majapahit ada di tangan
raja, dengan keluarga raja menjadi lingkaran kekuasaan berikutnya. Sisa-sisa
dari pola kekuasaan itu masih sering dijumpai dalam perilaku sebagian elite
politik saat ini.
Sejarawan Hermann Kulke dalam bukunya Epigraphical
Reference to The "City" and the "State" in Early Indonesia, menulis,
salah satu perbedaan pola kekuasaan di Majapahit dengan kerajaan-kerajaan
sebelumnya adalah terkait penggantian penguasa lokal di lingkaran Jawabhumi
yang kini terbentang dari Yogyakarta sampai Madura dan Bali.
Jawabhumi merupakan salah satu istilah
dalam strategi pembagian pengaruh Majapahit yang disebut dengan mandala.
Istilah lain dalam mandala, antara lain Nusantara (meliputi wilayah Maluku dan
Sumatera) dan Mitreka Satata (lingkaran negara sahabat seperti Siam, Campa,
Tiongkok, dan India).
Majapahit mengganti penguasa lokal di
lingkaran Jawabhumi dengan anggota keluarga kerajaan hasil perkawinan politik
atau orang yang dinilai loyalitasnya bisa diandalkan.
Kebijakan yang akhirnya membuat hampir
semua anggota keluarga mendapat wilayah untuk dikuasai ini, dimulai tahun 1295.
Persisnya, saat pendiri Majapahit Raden Wijaya memahkotai putra tertuanya,
yaitu Jayanegara sebagai Pangeran Kediri/Daha.
Sepeninggal Jayanegara, Daha diserahkan
pada adiknya yang juga bibi Hayam Wuruk, yaitu Dyah Wiyat. Sementara Hayam
Wuruk yang ketika itu masih jadi pangeran, dianugerahi wilayah Kahuripan.
Kondisi ini
terus berkembang hingga ketika Hayam Wuruk menjadi raja Majapahit pada
1350-1389, menurut Nagarakretagama karya Mpu Prapanca, ada 12
wilayah yang seluruhnya dikuasai keluarga. Sebagai contoh, Tumapel dikuasai
oleh Kertawardhana, suami Dyah Gitarja, putri Raden Wijaya dan Gayatri.
Sementara Mataram dikuasai oleh Wikramawardhana, keponakan Hayam Wuruk, yang
belakangan jadi menantunya.
Dalam hubungan yang kemudian berbentuk
patron-klien ini, para penguasa daerah sebagai klien mempersembahkan
loyalitasnya serta penarikan hasil bumi, terutama beras ke Trowulan, di ibu
kota Majapahit.
Penguasa daerah mendapatkan beras dari
rakyat yang menyerahkannya kepada mereka sebagai upeti. Upeti adalah balasan
rakyat atas rasa aman yang disediakan penguasa.
Selain dengan memberikan rasa aman,
loyalitas rakyat kepada penguasa/raja, juga dibangun dengan mengonstruksikan
bahwa raja adalah wakil dewata.
Sementara
penguasa di Trowulan, sebagai patron utama, tak hanya memberikan perlindungan
keamanan kepada rakyat dan penguasa di daerahnya, tetapi juga status sosial,
terutama akses pada keuntungan bisnis kerajaan. Kenneth R Hall dalam buku History
of Early Southeast Asiamenyebutkan, hubungan ini bersifat semiotonom.
Praktik kekuasaan yang patron-klien ini
juga tecermin dalam susunan rumah di Trowulan, di mana para penguasa wilayah
tinggal melingkari kediaman raja.
Namun, belakangan, politik elite ini juga
yang menjadi sebab runtuhnya Majapahit. Ketidakpuasan dalam proses suksesi di
lingkungan elite membuat Bhre Wirabhumi, anak Hayam Wuruk dari selir, merasa
lebih berhak atas takhta Majapahit yang ditinggalkan Hayam Wuruk dibandingkan
dengan Wikramawardhana, suami Kusumawardhani yang adalah putri Hayam Wuruk dari
permaisuri.
Puncak dari peristiwa itu adalah perang
saudara Paregreg pada 1404-1406. Perang yang terjadi setelah Hayam Wuruk
mangkat ini, meremukkan kewibawaan Majapahit di daerah jajahan dan di pusat.
Populis
Hayam Wuruk
yang berkuasa pada 1350-1389, adalah raja Majapahit paling termasyhur dan
membawa kerajaan itu ke puncak kejayaannya. Saat berkuasam ia sering mengadakan
perjalanan ke desa-desa. Kisah perjalanan ini menjadi tema utama di Nagarakretagama.
Arkeolog Universitas Negeri Malang Dwi
Cahyono menyatakan, Hayam Wuruk juga mengemas dirinya dengan bentuk-bentuk yang
populis. Hampir setiap tahun, ia bertemu dengan rakyat di sepanjang
perjalanannya yang mengambil rute Trowulan-Pasuruan-Lumayang-Jember-
Situbondo-Probolinggo-Pasuruan-Malang-Trowulan.
Pupuh 17-39 Nagarakretagama bercerita
tentang blusukan Hayam Wuruk ke Pajang (1353), Lasem (1354), Lodaya (1357) dan
Lumajang (1359). Di Nagarakretagama tercatat, ada 400 pedati yang ikut masuk
keluar hutan, turun naik bukit dan sungai selama 2-3 bulan dalam perjalanan
yang juga diikuti para bangsawan tersebut.
Kepada penguasa setempat dan masyarakat
yang ditemui dalam perjalanannya, Hayam Wuruk kerap membagi-bagikan hadiah,
biasanya berupa kain. Ia merepresentasikan dirinya sebagai singa, yang
membutuhkan hutan (rakyat untuk bisa hidup). Perjalanannya juga selalu diisi
dengan ritual keagamaan baik Hindu maupun Buddha.
Selama
berkuasa, Hayam Wuruk juga memugar 27 tempat pendarmaan leluhur yang bisa
digunakan umat Hindu maupun Buddha. Ia juga membuat upacara sraddha,
pemujaan untuk Rajapatni-nenek Hayam Wuruk yang juga istri Raden Wijaya.
Upacara sraddha ini, ditengarai juga menjadi alat legitimasi
garis keturunan karena Rajapatni adalah anak Kertanegara raja terakhir
Singasari.
Hayam Wuruk juga menjaga keceriaan rakyat.
Pada bulan peringatan Palguna-Chaitra, bertepatan dengan setelah panen padi,
Trowulan mengadakan pesta rakyat selama tujuh hari.
Selama acara tersebut, wilayah Bubat yang
ada di luar Trowulan disulap menjadi tempat pesta lengkap dengan hidangan dan
panggung. Raja kerap menjadi dalang, bahkan menari dan menyanyi dalam aksi
teatrikal yang sifatnya komikal sekaligus erotis, dengan diiringi alat musik
tiup dan tabuh. Dari tiga lakon utama, Shari, Gitada, dan Tekes, saat muda
Hayam Wuruk kerap memilih menjadi Tekes, tokoh perempuan, yang biasanya
dimainkan oleh pria paling ganteng.
"Hayam Wuruk itu menghitung semua
aspek politik. Ia membangun kesetiaan dari elite, juga loyalitas rakyat,"
kata Dwi Cahyono.
Kisah seperti di atas, sepertinya masih
sering terdengar dalam praktik politik Indonesia saat ini.
(EDNA C PATTISINA/A PONCO ANGGORO)
0 comments:
Post a Comment