Dalam sebuah diskusi kelompok terfokus pada awal September lalu,
seorang pemimpin pesantren dari Kota Subulussalam menyebutkan berkah otonomi
khusus Aceh. Salah satunya adalah hadirnya lembaga khusus yang mengurus
pesantren, seperti Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah.
Sayangnya,
lembaga itu tak mampu membangun kemandirian dan integritas pengelolaan anggaran
di tingkat pesantren atau dayah. Sejak itu berkembang pula perilaku jahat dalam
mengelola keuangan. ”Bahkan, kini, kalau kita periksa isi tas pemimpin dayah
isinya laptop, bukan kitab; dan di dalam laptop isinya bukan bahtsul masail,
melainkan proposal,” katanya.Segera teringat peribahasa (hadih
maja) Aceh: ”pemimpin menjadi culas ketika membuang adat, ulama
menjadi pandir ketika melempar kitab, rakyat menjadi jahat ketika tak lagi
bermufakat”.
Desentralisasi
asimetris
Pemberlakuan otonomi khusus pasca
reformasi secara logis dimaksudkan sebagai politik desentralisasi tidak
simetris karena kekhasan beberapa daerah dibandingkan dengan daerah lain di
Indonesia. Politik desentralisasi asimetris dipicu dua faktor: pemenang dan
remuk-redam. Faktor pemenang terkait daerah yang punya keandalan dan posisi vital
dalam pembangunan nasional. Faktor remuk-redam terkait kondisi daerah pasca
konflik yang sulit mengatasi ketertinggalan pembangunan jika politik
asimetrisme tidak diberikan.
Aceh dan Papua memiliki beban
sejarah sebagai ”daerah yang tercabik dan terluka” oleh pusat. Di Aceh
ketercabikan malah bertambah oleh gulungan tsunami 2004. Kebijakan asimetrisme
diberikan berupa kewenangan dan keistimewaan, baik pengelolaan anggaran,
politik identitas, pembentukan kelembagaan khusus, pengakuan sosiokultural,
hingga diskresi dalam pemerintahan.
Latar Perdamaian Helsinki 15
Agustus 2005 tak bisa dilepaskan ketika melihat desentralisasi asimetris Aceh.
Perdamaian itu memungkinkan Aceh mendapatkan undang-undang otonomi khusus baru,
yaitu UU No 11/2006. Sejak diberlakukan, UU itu membuka ruang privilese
politik-ekonomi- kultural, seperti calon independen dalam pilkada, hadirnya
Komisi Independen Pemilihan yang kualifikasinya berbeda dengan KPU daerah lain,
politik syariat Islam, rasio jumlah anggota DPRD 25 persen lebih banyak, partai
politik lokal, kelembagaan Wali Nanggroe, dan lain-lain. Paling tidak, ada 26
keistimewaan yang dimiliki Aceh melalui UU No 11/2006 (Taqwaddin, 2016).
UU
otonomi khusus juga diperkuat dengan hadirnya peraturan organik. Sejak 2006
hingga 2015, ada sembilan peraturan, yaitu enam peraturan pemerintah dan tiga
peraturan presiden untuk memperkuat lex
specialis Aceh.Sejak
2008, paket anggaran otonomi khusus pun mulai diluncurkan. Dari ”hanya” Rp 3,5
triliun (2008) membesar menjadi Rp 7,7 triliun (2016). Hingga tahun ini, Aceh
menerima Rp 49,2 triliun dana otonomi khusus.
Namun, dana itu bukanlah salju
abadi. Ia berjangka hingga 20 tahun sejak diberlakukan: 15 tahun pertama
anggarannya setara 2 persen plafon dana alokasi umum nasional. Lima tahun
berikutnya menyusut menjadi 1 persen. Pada 2027 jadi tahun terakhir keran
anggaran itu dikucurkan hingga diperkirakan berjumlah Rp 163 triliun. Bisa
dikatakan dana otonomi khusus ”berkah tersembunyi” dari sejarah konflik dan
damai, hancur dan membangun Aceh.
Yang tidak disadari, bandul waktu
berdentang sedemikian genting. Saat ini dana otonomi khusus Aceh hampir
menjelang satu dekade, tetapibelum teraba wujudnya. Upaya membangun politik
kesejahteraan dan keadilan malah berdialektika negatif jadi mundur, rusak, miskin,
dan tidak adil.
Kegentingan
menghadang
Saat ini, kajian-kajian tentang
pelaksanaan otonomi khusus Aceh mulai marak membeberkan fakta. Sembilan tahun
pelaksanaan, pertumbuhan ekonomi tak berjalan wajar.
Tata kelola pemerintahan
sedemikian tak efektif, konservatif, dan miskin inovasi. Aceh malah menjadi
daerah termiskin kedua di Sumatera (16,73 persen) dan angka pengangguran
terburuk keempat nasional (8,13 persen).
Pemubaziran
anggaran untuk kegiatan yang tak perlu, nepotisme di lingkaran pemerintah, dan
pembagian kue anggaran, dana aspirasi menggiurkan untuk anggota DPR Aceh (Rp
885 miliar), dan program cet
langet atau
narasi mimpi tanpa perencanaan pembangunan yang jelas menjadi penyebab
katastrofi itu. Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Aceh sedikitnya menemukan
Rp 5,1 triliun anggaran otonomi khusus Aceh salah kelola, tidak fokus, dan
melenceng dari perencanaan awal (Kompas, 2/10/2013).
Sayangnya,
indikasi korupsi anggaran tak kunjung ditindaklanjuti. Publik Aceh frustrasi.
Setelah prestasi menangkap Abdullah Puteh pada 2004, praktis Komisi
Pemberantasan Korupsi tak memiliki jejak apa pun untuk menghadang laju
kejahatan birokrasi dan keuangan di Aceh. Bahkan, kepercayaan publik Aceh
terhadap KPK termasuk rendah. Atas dasar kritik itu, kini KPK mulai proaktif
menetapkan Aceh sebagai salah satu ”provinsi binaan”, terutama terkait
pengelolaandana otonomi khusus (Kompas, 2/8/2016).
Di sisi lain, kerusakan ekologis,
sumber daya alam, moral, dan kultural menghebat. Sketsa pada awal tulisan
menunjukkan ”jahatnya” anggaran otonomi khusus ikut menggerogoti kelembagaan
kultural, seperti pesantren dan lembaga pemerintah keagamaan. Pembangunan
fisik, seperti kantor, sekolah, jalan, dan meunasah, memang membaik. Namun,
pembangunan mental, seperti kualitas pendidikan dan kebudayaanserta perbaikan
manajemen, tak terjadi. Banyak proyek infrastruktur mewah dari otonomi khusus
terbengkalai jadi ”rumah hantu”, ”kandang ternak”, atau semak belukar.
Upaya Pemerintah Aceh memperbaiki
tanggul pembangunan otonomi khusus belum berdampak. Pola pengelolaan anggaran
telah berubah tiga kali. Dari 100 persen dikelola provinsi, lalu pembagian 60
persen provinsi dan 40 persen kabupaten/ kota, tetapi ”ekor” tetap dipegang
provinsi. Terakhir,pembagian 40 persen kabupaten/kota dan 60 persen provinsi
dengan pola transfer langsung belum menyejahterakan dan memacu pertumbuhan
ekonomi, termasuk penyehatan fiskal.
Satu hal yang paling sering
diulas, ”kaum pemberontak” tak menunjukkan bakatnya dalam pemerintahan. Mereka
masih kaum pinggiran yang gagap berada di sentral kekuasaan. Lebih nyaring
sebagai oposisi yang nyinyir dibandingkan dengan pelaku pembangunan yang bekerja
nyata. Sebabnya: rendah visi pembangunan, tiada kaum intelektual yang mengawal
proyek otonomi khusus, hingga turunan birokrasi yang majal dan bobrok.
Tentu
Aceh tak harus menunggu 2028 seperti novel George Orwell, 1984. Tahun 2028 adalah tahun ketika
Aceh tanpa dana otonomi khusus dan disambut bak impian futuristik buram
sekaligus mendebarkan karena ”kiamat” berkelebat datang. Berkah otonomi khusus
gagal diemban. Pelan-pelan menjadi kutukan, frustrasi, dan konflik baru: kian
horor dan menggidik bulu kuduk.
TEUKU
KEMAL FASYA
Dosen Antropologi FISIP
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Oktober 2016, di halaman 7
dengan judul "”Kiamat” Aceh 2028".
0 comments:
Post a Comment