Oleh:
Sholahuddin
”Kiai Sahal
Mahfudh adalah kiai yang berani menyeberang dari tradisinya sendiri.”
(Azyumardi Azra)
UMAT nahdliyin
dan umat Islam Indonesia berduka terkait wafatnya Rais Aam PBNU KH MA Sahal
Mahfudh, Jumat (24/1) dini hari lalu. Kiai Sahal adalah sosok kiai yang alim
ilmu ushul fiqih dan menjadi pencetus gagasan fikih sosial. Sejumlah karangan
bunga ungkapan belasungkawa datang dari Presiden RI, pejabat, tokoh ormas Islam
dan NU sendiri.
Sebagai seorang
kiai-intelektual, Kiai Sahal memiliki penguasaan khazanah klasik Islam yang
tidak perlu diragukan lagi. Kepakarannya dalam bidang fikih mampu mengantarkan
kiai yang santun ini mendapatkan gelar doktor honoris causa dari Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Salah satu
gagasan penting yang dihasilkan Kiai Sahal adalah gagasan mengenai fikih
sosial. Menurut Kiai Sahal, fikih perlu dihadirkan dalam bentuk yang baru, yang
bukan hanya mengatur halal-haram, hitam-putih hukum-hukum Islam saja. Fikih
juga digunakan sebagai alat untuk melakukan transformasi sosial, budaya, dan
ekonomi masyarakat.
Secara
epistemologis, fikih sosial dibangun di atas lima metodologi transformatif,
yaitu kontekstualisasi doktrin fikih; beralih dari mazhab qauli (tekstual)
menuju manhaji (metodologis); verifikasi doktrin yang ashal
(fundamental-permanen) yang tidak bisa berubah, dan far’u (instrumental)
yang bisa berubah; menghadirkan fikih sebagai etika sosial; dan mengenalkan
pemikiran filosofis, terutama dalam masalah sosial budaya.
Lima metodologi
ini bisa kita kaji dalam produk pemikiran Kiai Sahal itu, antara lain
pendayagunaan zakat, konservasi ekologis, emansipasi perempuan, pendidikan
integralistik, pluralisme, dan pengentasan warga dari kemiskinan. Ia tetap
berpijak pada kekayaan tradisi pesantren melalui pendekatan sosial humaniora
yang transformatif.
Kritisisme sang
kiai
Jelas di sini
kita melihat bagaimana kritisisme Kiai Sahal terhadap fikih konvensional yang
demikian hegemonik. Fikih seolah menjadi disiplin yang kaku, rigid, dan tidak
bisa menjawab perkembangan zaman yang semakin maju.
Fikih sebagai
pengejawantahan ajaran Tuhan dalam realitas individu dan sosial kehilangan
fungsi transformasi, baik secara struktural maupun kultural. Fikih
terjebak oleh tekstualitas, formalitas, dan simbolitas. Di sisi lain, perilaku
masyarakat jauh dari nilai-nilai agama, khususnya doktrin fikih. Sekularitas,
hedonitas, dan imoralitas menjadi fakta sosial yang lepas dari bimbingan agama.
Fikih sosial
Kiai Sahal bergerak untuk mengubah kemiskinan, keterbelakangan, dan kemunduran
masyarakat Kajen Pati, dari secara geografis tandus dan kering menjadi kaya,
maju, dan, berperadaban. Bagi masyarakat tradisional, miskin-kaya adalah sebuah
takdir Tuhan. Manusia tinggal menjalani hidup ini apa adanya, taken for
granted. Namun, kiai santun tersebut terpanggil melakukan perubahan
paradigmatik.
Fikih sosial
dijadikan sebagai basis kritisisme Kiai Sahal atas fikih konvensional yang
sulit menerima dijadikan sebagai alat untuk transformasi sosial, budaya, dan
ekonomi masyarakat. Namun, jangan Anda bayangkan kritisisme Kiai Sahal ini sama
seperti kritisismenya Sadiq Jalal al-Azm, Nashr Hamid Abu Zaid, dan Ulil
Abshar-Abdalla. Kritisisme Kiai Sahal adalah kritisisme moderat. Dia tak mau
melampai tabu-tabu agama (Islam). Ada rambu-rambu ortodoksi yang masih dipegang
dengan teguh oleh kiai karismatik ini. Dia tidak mau larut dalam ingar-bingar
kontroversi. Dia menjauhi kontroversi yang, menurut dia, tidak perlu.
Semangat
kritisisme Kiai Sahal ini berasal dari semangat ”ijtihad” yang menggelora pada
dirinya. Menurut Kiai Sahal, ijtihad merupakan kebutuhan mendasar. Karena
kebutuhan mendasar, dia berusaha untuk membekali dirinya sendiri dengan
prasyarat-prasyarat keilmuwanan dan standar moral yang dijadikan modal memenuhi
kebutuhan ijtihad tersebut.
Kiai Sahal
berpendapat bahwa fikih sebetulnya adalah wilayah ijtihad, maka suatu ijtihad
yang tidak mendatangkan kemaslahatan umum (maslahat al-ammah) haruslah
direvisi. Di sini kita lihat bagaimana konsep kemaslahatan umum yang digunakan
oleh Kiai Sahal mengadopsi konsep maslahat Imam Abu Ishaq As-Syatibi (W. 1388)
yang terdapat dalam kitab Al-muwafaqaat.
Kiai Sahal
menulis: ”Pada prinsipnya tujuan syariat Islam yang dijabarkan oleh para ulama
dalam ajaran fikih (fikih sosial) ialah penataan hal ihwal manusia dalam
kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat, dan
bernegara. Unsur-unsur kesejahteraan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi saling
memengaruhi. Apabila hal itu dikaitkan dengan syariat Islam yang dijabarkan
oleh fikih sosial dengan bertitik tolak dari lima prinsip maqasid syari’ah (MA
Sahal Mahfudh: Nuansa Fiqih Sosial, 4-5).
Kiai Sahal
tidak heroik memproklamasikan ijtihad sebagaimana banyak agamawan lantang
menggalakkan ijtihad. Kiai Sahal lebih tawadhuk dan jauh dari sikap takabbur.
Kiai Sahal melakukan ijtihad dan mempromosikan hasilnya kepada masyarakat lewat
karya-karyanya. Tulisannya pada 1985 tentang ijtihad sebagai kebutuhan, dan
juga gagasan-gagasannya tentang kontekstualisasi fikih, dan lain-lain, cukup
menjadi bukti bahwa dia juga mempromosikan keniscayaan ijtihad itu.
Kritisisme moderat
Dalam hal ini
yang menarik adalah bahwa dia menyarankan agar seorang mujtahid haruslah
mempunyai ”kepekaan sosial” dan mampu melakukan ”analisis sosial” yang bagus.
Ini maknanya bahwa seorang mujtahid haruslah mempunyai pengetahuan yang memadai
mengenai ilmu-ilmu sosial. Ini yang missing dalam kriteria ijtihad dalam
fikih klasik, setidaknya tidak terungkapkan secara eksplisit. Ini adalah salah
satu kritik mendasar dia terhadap praktik ijtihad konvensional yang sering kali
hanya bersifat tekstual, dan mengabaikan realitas sosial.
Dia tidak
memungkiri bahwa secara implisit prasyarat pengetahuan sosial itu memang ada,
sebagaimana terjadi pada Imam Syafi’i dengan qaul qadim (pendapat lama)
dan qaul jadid (pendapat baru)-nya. Namun, yang implisit ini perlu
dieksplisitkan dan menjadi prasyarat tambahan bagi para mujtahid.
Maka, benar apa
yang ditulis Azyumardi Azra bahwa Kiai Sahal adalah kiai yang menyeberang dari
tradisinya sendiri, dengan mengambil jalan kritisisme moderat. Selamat jalan,
Kiai. Kita semua akan meneruskan gagasan fikih sosialmu.
Sholahuddin, Pemerhati
Fikih Sosial dan Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah (STAIMAFA),
Pati
opini kompas / 29-1/2014
0 comments:
Post a Comment