Tuesday, 11 October 2016

Dimas Kanjeng, Takhayul atau Logika

FENOMENA SOSIAL

Dimas Kanjeng Taat Pribadi sangat terkenal belakangan ini. Bukan kasus pembunuhan yang dituduhkan kepadanya yang menonjol, tapi kemampuan menggandakan uang yang diklaim dimiliki lelaki itu. Beberapa pengikutnya, termasuk politikus dan doktor lulusan American University, Amerika Serikat, Marwah Daud, membelanya.
  Pemimpin Padepokan Dimas Kanjeng, Taat Pribadi, dijaga petugas seusai menjalani olah TKP di Padepokan Dimas Kanjeng di Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Senin (3/10).
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Pemimpin Padepokan Dimas Kanjeng, Taat Pribadi, dijaga petugas seusai menjalani olah TKP di Padepokan Dimas Kanjeng di Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Senin (3/10).
Banyaknya pengikut dan warga yang mendatangi Padepokan Dimas Kanjeng untuk menggandakan uang menjadi pertanyaan tersendiri. Sementara itu, masih banyak dukun yang mengklaim mampu melakukan hal serupa. Tahun ini saja, setidaknya polisi menangkap empat dukun pengganda uang, seperti Ki Purbo Lalang Jati alias AP di Riau dan Satrio Aji yang disebut bisa menggandakan emas. Pada tahun sebelumnya, kasus serupa ditemukan di Temanggung, Bojonegoro, dan Wonosobo. Harian Kompas juga mencatat kasus serupa pada 1969 dan tahun-tahun berikutnya.
Program Satu Meja di Kompas TV, Senin (10/10) malam, mengupas fenomena ini dalam tema "Jalan Pintas Pundi-pundi". Acara yang dipandu Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo ini menghadirkan psikolog klinis dan forensik Kassandra Putranto, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat, pengamat spiritual Permadi, dan Direktur Perlindungan Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat.
Membeludaknya warga yang menjadi pengikut dan menyetorkan uang ke Taat Pribadi ataupun dukun-dukun serupa, menurut Komaruddin, disebabkan kecenderungan masyarakat yang memuja segala yang serbacepat. Untuk masyarakat modern, pemujaan pada kecepatan umumnya berkaitan dengan teknologi. Namun, di Indonesia, cukup banyak yang memaknainya sebagai jalan pintas dengan bersandar pada takhayul.
Keberhasilan dalam suatu kompetisi seperti kontestasi pilkada kerap dianggap anugerah Tuhan atau karena berguru pada "orang pintar" tertentu. Mereka malah tak memercayai usaha dan proses yang dilalui.
"Meski kita sudah reformasi, berdemokrasi, revolusi mental, tetapi perilakunya masih demikian, pemikirannya masih tidak rasional. Elitenya pun sama saja," kata Komaruddin.
Hal ini diamini Permadi. Menurut dia, sejumlah pemimpin di Indonesia mengikuti dukun tertentu.
Kecenderungan masyarakat Indonesia untuk memercayai takhayul, menurut Kassandra, ada hubungannya dengan penurunan kualitas masyarakat Indonesia, baik dari sisi intelektual, emosional, maupun sosial. Indeks pembangunan masyarakat Indonesia pun turun. Masyarakat yang tidak berdaya tetapi ingin cepat kaya ini menjadi mudah dimanipulasi.
Struktural dan kultural
Secara terpisah, sosiolog Universitas Brawijaya, Anton Novenanto, melihat fenomena penggandaan uang secara mistis ini dari kacamata struktural dan kultural. Ketika secara struktural negara tak mampu memberi kepastian pada hidup dan nasib warganya, uanglah alat untuk mempermudah dan membeli segala hal.
"Jalan tol" untuk menjadi anggota TNI/Polri atau PNS bahkan menikmati berbagai kemudahan hidup memerlukan uang tak sedikit. Para penipu dan dukun pengganda uang memanfaatkan celah ini.
Di satu sisi, secara kultural, masyarakat Indonesia tumbuh sekaligus dalam tiga sistem, yakni keyakinan agama, kepercayaan tradisional, dan sistem ilmiah. Ketiga hal ini bertabrakan dan ada dalam setiap orang Indonesia.
Akibatnya, seorang akademisi sekalipun bisa dengan mudah memercayai hal-hal yang bersifat mistis. Berbeda di Eropa, masyarakatnya tumbuh dalam sistem dengan tahapan-tahapan terpisah, dari sistem religius, kemudian ke sistem metafisik, dan kini sistem ilmiah. Oleh karena itu, tidak ada kerancuan atau kebingungan ketika harus memilah antara hal-hal mistis, religius, dan ilmiah.
Hal ini, kata Anton, mirip dengan dikotomi masyarakat Jawa yang dibuat Clifford Geertz. Kendati ada masyarakat santri, abangan, dan priyayi, pembagian ini tidak selalu berjalan linear atau saling menggantikan. Bisa saja seorang santri juga sekaligus abangan dan priyayi. Namun, ketiga sistem yang tumpang-tindih ini bisa menghasilkan kebingungan. Akibatnya, ketika muncul masalah seperti tiadanya jaminan nasib dari negara, langkah yang tak rasional malah menjadi pilihan.
Lingkungan, cara orangtua mendidik, dan pembiasaan atas keberadaan hal mistis, menurut Kassandra, memang berpengaruh pada kemungkinan seseorang dimanipulasi oleh kepercayaan takhayul ini.
Sebelum memiliki kepercayaan tertentu, menurut Komaruddin, semestinya pergulatan logika tumbuh terlebih dahulu. Masalahnya, di Indonesia, rasionalitas ini dilompati. Nalar tak digunakan, kepercayaan dimajukan. Akibatnya, orang tertipu kepercayaannya ini. Hal ini biasa dialami orang-orang yang berambisi ingin kaya, mengalami kesulitan ekonomi, bermasalah secara psikologis. Karena banyak orang cepat kaya, para dukun palsu ini pun memenuhi permintaan (demand).
Bencana sosial
Pemerintah kini mulai mengidentifikasi korban penipuan penggandaan uang Taat Pribadi. Menurut Harry, masih ada korban yang bertahan di padepokan karena menunggu pencairan dana yang dijanjikan.
Selain penegakan hukum oleh aparat, Kementerian Sosial melihat fenomena ini sebagai bencana sosial. Untuk itu, pemerintah menangani korban-korban penipuan Taat Pribadi dari aspek psikososialnya. Harapannya, tak lagi lahir generasi yang hanya mencari hasil instan, melainkan menjawab tantangan dengan kerja keras.
Tak hanya itu, pemerintah juga berupaya mengantisipasi pengaruh hal-hal tak rasional ini pada kehidupan masyarakat.
Pendidikan dan perbaikan kondisi ekonomi diharapkan bisa melawan kepercayaan masyarakat pada hal-hal irasional.
(NINA SUSILO)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Oktober 2016, di halaman 5 dengan judul "Dimas Kanjeng, Takhayul atau Logika".
Categories: ,

0 comments:

Post a Comment