oleh: Abd A’la
HINGGA
saat ini kekerasan (meminjam istilah Galtung dalam Violence, Peace, and Peace
Research, 1969) dalam tiga bentuknya—struktural, kultural, dan kekerasan
langsung—masih terus menimpa sebagian kelompok dan masyarakat Indonesia.
Bahkan, pada sebagian kasus ada nuansa kuat untuk melestarikan kekerasan
tersebut.
Fenomena pelestarian kekerasan, minimal
pelambanan penyelesaiannya, terlihat kuat dari upaya oknum atau pihak tertentu
untuk menutup rapat-rapat pintu solusi. Selain itu, hal tersebut dapat
ditelusuri pula dari pelibatan diri oknum atau kelompok yang senyatanya justru
kian memanaskan situasi dan kondisi yang ada.
Kekerasan dengan tiga bentuknya yang
biasanya dilakukan oleh atau dan terhadap kelompok akan berimplikasi jauh.
Implikasi tersebut bukan hanya pada korban kekerasan semata, melainkan juga
pada masyarakat keseluruhan. Demikian pula, bukan tidak mungkin dampaknya akan
menjadi bumerang bagi sang pelaku. Bahkan, hal itu nyaris dipastikan akan
menjadi pemicu bagi retaknya kebangsaan kita.
Matinya
nurani
Semua pelaku kekerasan di Indonesia
pasti mengaku beragama. Namun, jangan ditanya peran agama dalam membimbing
nurani para pelaku kekerasan. Bagi sebagian pelaku, agama tidak lebih dari
sekadar nama yang memang nyaris tidak berpengaruh sama sekali dalam kehidupan
mereka. Simbol agama disebut hanya di saat-saat tertentu dan ajarannya
dilakukan sebatas sebagai tradisi tanpa substansi.
Kekerasan model ini tentu saja sama
sekali tidak terkait dan tidak dikait-kaitkan dengan agama. Sementara bagi
sebagian yang lain, agama dan segala turunannya, termasuk
aliran-alirannya—sampai derajat tertentu—lebih dikedepankan sebagai simbol
untuk lebih mengentalkan identitas diri dan kelompok yang dilawankanvis-a-vis kelompok
lain. Pada kekerasan yang dilakukan orang dan kelompok semacam itu, nuansa
agama demikian kental dikedepankan. Alih-alih untuk menajamkan nurani dan
melabuhkan moralitas ke dalam kehidupan, agama direduksi untuk justifikasi
tindak-
an mereka.
an mereka.
Sejatinya dua kekerasan itu mengacu pada
akar yang nyaris tunggal. Sikap dan tindakan bahkan pikiran para pelaku
kekerasaan—meminjam ungkapan Christopher Lanch dalam The Culture of
Narcissism (1979)—lebih ”dibimbing” budaya narsisisme.
Memodifikasi penjelasan Lanch,
budaya itu muncul dari kepribadian yang kemudian berkembang menjadi fenomena
sosial kelompok yang mengalami kecemasan dan ketidakberdayaan terhadap
kehidupan modern. Mereka memiliki perhatian utama lebih pada kebutuhan diri
mereka sendiri dan cenderung mengabaikan kepentingan orang dan kelompok lain.
Mereka menganggap kehidupan di luar
mereka, lingkungan, dan sebagainya sebagai ancaman terhadap diri, pandangan,
dan kehidupan mereka. Pada saat yang sama, mereka juga mengalami perasaan
kehilangan otentisitas diri dan kekosongan jiwa, yang membuat mereka sulit
berhubungan dengan dunia di luar mereka.
Dalam kondisi semacam itu, kelompok
narsistik menjadikan apa yang ada di balik realitas, seperti agama bahkan
imajinasi, sebagai pembentuk citra diri yang membuat diri mereka nyaris
satu-satunya kelompok yang kuat dan benar. Sejalan dengan itu, mereka
meletakkan segala sesuatu di luar dirinya sebagai hal yang salah, kotor yang
harus dimusnahkan.
Biasanya kekerasan dan sejenisnya
menjadi satu-satunya cara untuk membasmi segala yang dianggap tidak benar
tersebut. Narsisisme menjadikan pelaku kekerasan mati suri sehingga tidak mampu
membimbing lagi sikap dan perilaku mereka masing-masing.
Memotong
akar
Persoalan menjadi bertambah runyam
ketika muncul oknum atau kelompok lain yang diduga menjadikan kekerasan sebagai
barang komoditas atau bahkan sumber penghidupan mereka. Dalam kasus-kasus
tertentu, nuansa komodifikasi tampak membayang-bayangi beberapa tragedi kekerasan.
Kendati wujudnya tidak transparan, aroma dan kelebatan jual-beli itu demikian
terasa.
Berlarut-larutnya penyelesaian kekerasan
merupakan salah satu fenomena yang bisa diangkat. Karena itu, bukan mustahil
kekerasan diupayakan dilestarikan selama mungkin.
Menguatnya narsisisme dan kekerasan pada
kelompok-kelompok tertentu berpulang pada persoalan yang beragam, dari
pendidikan yang (kata Lanch) sudah menjadi barang komoditas hingga modernitas
yang melecehkan martabat kemanusiaan kita. Oleh karena itu, rekonstruksi
pendidikan niscaya merupakan agenda yang harus digarap serius, terutama untuk
penyelesaian jangka panjang.
Pendidikan harus benar-benar enlightening;
mencerahkan, dapat mengantarkan manusia menjadi dewasa yang memiliki kesadaran
dan tanggung jawab bukan hanya kepada diri sendiri, melainkan juga keluarga,
lingkungan, masyarakat, bahkan negara. Pendidikan agama seutuhnya harus berada
pula dalam tataran ini.
Peran keluarga juga niscaya dikembalikan
ke fungsi yang sebenarnya sebagai tempat pemanusiaan dalam arti senyatanya.
Fungsi keluarga dihadirkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses
pendidikan, di dalamnya seseorang dikembangkan dan dimatangkan kepribadiannya,
sebagaimana pula aspek lainnya yang mencakup kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Perlu
rujukan bersama
Pada saat yang sama, modernitas harus
selalu dalam kawalan moral sehingga tidak mengasingkan manusia dari kehidupan
dan manusia yang lain. Yang lebih penting lagi, modernitas harus tetap
diarahkan untuk meletakkan manusia sebagai makhluk yang selalu memerlukan
bimbingan moral dari Sang Pencipta.
Di atas semua itu, agenda mendesak yang
perlu dilakukan adalah pemangkasan peluang dan kesempatan untuk terjadinya
komodifikasi kekerasan. Satu pintu penyelesaian harus jadi satu-satunya rujukan
bersama.
Siapa pun asal berkompeten dan satu
koordinasi bisa saja melalui pintu itu. Namun, pintu itu harus benar-benar
transparan sehingga mampu mengeliminasi peluang sekecil apa pun yang akan
membiaskan penyelesaian kekerasan.
Abd A’la, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Ampel Surabaya
print.kompas.com edisi 8 Februari 2014
0 comments:
Post a Comment