Dalam khazanah tradisi, topik erotisisme dan religiositas merupakan topik yang tidak asing. Dua topik ini muncul dalam hampir setiap pelbagai bentuk ekspresi di semua etnik tertentu. Bisa dikatakan, semua tradisi di Nusantara memiliki pengungkapan baik dalam bentuk tradisi tulis maupun lisan. Dalam tradisi tulis, topik religiositas dan erotisisme muncul dalam serat, babad hikayat, dan sureq. Dalam tradisi lisan, dua topik ini muncul dalam tuturan lisan ataupun wujud pertunjukan yang diturunkan secara lisan dan turun-temurun.
Dengan kata lain, topik erotisisme dan religiositas adalah bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan tradisional di Nusantara. Erotisisme dan religiositas berkelindan satu sama lain dalam pelbagai karya. Tak bisa dimungkiri, dua hal ini adalah bagian hakiki dari kemanusiaan itu sendiri.
Erotisisme sebelum menjadi sebuah istilah yang beku pada zaman ini, sebelumnya pernah mendapat makna yang berasosiasi dengan religiositas. Erotisisme pada masa sekarang, misalkan, tidak jauh dengan telanjang bugil atau nakedness. Dua istilah ini tidak lain berarti penonjolan erotika dan perangsangan pemirsa yang ditampilkan secara vulgar. Karya seni dengan estetikanakedness dinilai rendah dengan alasan belum diendapkan oleh senimannya untuk ditampilkan: dengan hening reflektif (religiously dalam "religiositas).
Sementara itu, "erotisisme" dalam konteks spiritual adalah erotisme sebagai metafor-metafor Ketuhanan yang penuh pengendapan. Pengheningan nuansa tampil polos serupa bayi-bayi lahir telanjang polos. Kita semua pernah memiliki foto-foto semasa polos telanjang: saat lahir dan nanti dipanggil Tuhan "polos" menghadap-Nya.
Contoh yang bisa diambil dari kesubliman di alam tradisional adalah alam pemikiran Jawa. Misalnya, mengolah ungkap sastrawi metafora erotika daya hidup dengan "pancuran" dan "sendhang". Anak laki-laki yang lahir diapit dua saudarinya di Jawa diungkap dengan metafora "pancuran (lingga)", lelaki diapit oleh "sendhang" (mata air hidup, rahim/yoni perempuan). Erotika hening (religiositas) menyatu-tubuh dihayati dalam konteks kehidupan. Tubuh itu kehidupan dengan "pancuran" (lingga) lelaki. Dan, "sendhang" mata air hidup (rahim-yoni) perempuan. Begitu pula anak perempuan yang lahir diapit dua saudara laki-laki dinamai: "sendhang" diapit pancuran (air mancurphallus).
Pemahaman erotika dan religiositas tersebut ada dalam Serat Centhini. Kitab yang lahir di tanah Jawa ini memberi ajaran bagaimana yang erotik dan yang religius menyatu dalam kehidupan manusia. Erotika dan religiositas menjadi daya hidup bagi manusia itu sendiri.Serat Centhini meramu erotika dan religiositas ini sebagai kearifan leluhur dari pergulatan manusia.
Pandangan dalam Serat Centhini juga muncul di Kitab Cempaka Putih dari Panyengat, Riau, muncul di Sureq La Galigo, Muncul dalam kisah lisan di Batak, Dayak, dalam serat di Bali. Artinya, erotisisme dan religiositas secara kultural adalah diterima sebagai bagian yang "alamiah".
Perjumpaan
Momen merayakan kitab-kitab klasik Nusantara ini dibahas bersama di Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2016 yang berlangsung 5-8 Oktober 2016 di Magelang. Dengan mengambil tema "Setelah 200 Tahun Serat Centhini, Erotisisme dan Religiositas. Musyawarah Akbar Kitab-Kitab Klasik Nusantara" perhelatan ini memapar pelbagai kekayaan dan wawasan masa silam Nusantara melalui telisik kitab-kitabnya. Tahun ini BWCF memasuki tahun kelima.
Gagasan erotisisme dan kaitannya dengan religiositas telah melekat dalam kelompok suku bangsa di Nusantara. Gagasan ini tumbuh dalam masa yang sungguh panjang yang bisa ditelusuri dari kepercayaan pada masa pra-literasi. Praktik-praktik erotisisme dan religiositas merupakan bagian dari kearifan lokal mereka dalam bentuk mitologi. Menjadi lumrah di Bugis ada bissu dengan ritualnya dan di Jawa ada tayuban yang berawal dari penghormatan pada Dewi Sri sebagai lambang kesuburan.
Pertemuan gagasan demikian menjadi tujuan dari BWCF. Forum ini menjadi forum bertemunya gagasan dari pelbagai penjuru dan adanya paralelitas di dalam suku bangsa di Nusantara. Di sinilah secara tradisi Nusantara memiliki wajah yang mirip. Sekalipun secara permukaan tampak berbeda dalam wujud bahasa, pengetahuan, seni, mata pencarian, sesungguhnya ada kesamaan Nusantara tersebut. Ikatan yang mendasari inilah yang dieksplorasi dalam forum BWCF.
Dari sisi kegiatannya, forum ini ruang bertemunya penulis, pekerja kreatif budaya, yang belajar mendalami lagi Nusantara menjadi Indonesia yang berperadaban tanah dan air. Karena itu, BWCF telah menjadi "arus balik" yang mendorong para penulis untuk kembali melakukan studi teks-teks kultural pembentuk Nusantara. Untuk memaknai terus perjalanannya menjadi Indonesia yang semakin berperadaban. Nusantara yang memiliki gunung-gunung vulkanik dengan "asam gunungnya". Nusantara yang memiliki laut samudra dengan "garamnya". Ketika arkeolog, sejarawan, filsuf, ahli-ahli teks kuno, pegiat kebudayaan, penulis-penulis muda kreatif, wartawan-wartawan, mahasiswa-mahasiswi, hadir membahas teks-teks Nusantara dalam tema: kelupaan kita akan Nusantara bahari karena terlalu fokus pulau. Di situ forum mencintai Nusantara menjadi Indonesia menjadi jalan penelitian, penyadaran memori, dan pengembangan imajinasi lisan dan tulis serta pertunjukan seni perayaan kehidupan.
Dalam konteks kekinian, permasalahan saat ini berasal dari kuasa politik berhadapan dengan peradaban berharkat "selalu" ? "berhadap-hadapan" sebagai antitesis dan bukan sintesis? Mengapa keragaman dan adanya hakikat kesamaan serat-serat rajutan warna-warni Nusantara yang justru memesona hidup karena keindahannya dan saling menghormati pelangi-pelangi warna sebagai kekuatannya kerap tercabik kekerasan yang anti budaya hidup? Mengapa karakter kuat eksistensi berkah penyuburan tanah-tanah dari gunung-gunung berapi di Nusantara lebih sering ditunjukkan sebagai bencana?
BWCF adalah perjumpaan atau "belanga" itu. BWCF "memasak" terus sebagai belanga agar buah masakannya yang harus lezat untuk Indonesia tercinta. BWCF bagi saya mau mengingatkan bahwa RI tak hanya bergunung dengan "asam", tetapi pula bahari laut dengan "garamnya". Anda diundang ikut "memasak" di forum ini tidak hanya ber-tanah, tetapi juga ber-air.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Oktober 2016, di halaman 26 dengan judul "Religiositas dan Erotisisme di Borobudur".
0 comments:
Post a Comment