Oleh:
DAMHURI MUHAMMAD
Zaman boleh maju, sains modern boleh pula tegak sebagai tonggak peradaban mutakhir, tetapi mitos dan takhayul belum musnah dari rahim kultural kita
Dalam ketergesaan berkendara di lalu lintas Jakarta yang padat, sekali waktu seseorang mungkin pernah melindas seekor kucing secara tak sengaja. Saat itu, biasanya ia akan langsung terhubung dengan nasihat orang- orang dahulu bahwa segeralah hentikan kendaraan, bungkuslah jasad kucing yang berlumur darah itu dengan kain putih lalu pusarakanlah secara layak.
Dalil dan sugesti mistik
Perilaku semacam itu diselenggarakan bukan atas dasar pertimbangan etik, melainkan digerakkan seperangkat dalil mistik. Jika prosedur itu diabaikan, katakanlah si pelaku tancap gas belaka, sementara kucing yang naas dibiarkan terkapar tak berdaya, dipercayai akibatnya fatal; si pelaku bisa celaka. Ditabrak truk, atau mengalami kecelakaan tunggal, dan tewas seketika. Setidaknya begitulah pesan-pesan mistik yang kita warisi secara turun-temurun dan rasanya masih jadi "tauladan" hingga kini.
Dalam sebuah perjalanan, jika sekali waktu Anda melintasi tikungan-tikungan tak biasa dengan jurang menganga di kiri-kanan, banyak orang menyarankan agar Anda melemparkan sebuah koin logam ke sisi kiri, sebagai sikap hormat kepada makhluk- makhluk halus penghuni wilayah itu. Saudara bisa tidak selamat jika mengabaikan prosedur ganjil itu. Kendaraan saudara bisa terguling tanpa sebab yang masuk akal lalu terjun bebas masuk jurang. Sekali lagi, etos kesantunan di medan-medan rawan kecelakaan itu tak berlangsung dengan prinsip-prinsip etik, tetapi diamalkan atas dorongan sugesti- sugesti mistik.
Sahabat saya, master filsafat lulusan universitas terkemuka di Paris, pernah dilanda kecemasan tak terkira. Istrinya sedang hamil muda dan mengidamkan sebutir buah manggis mengkal, sementara kios-kios buah di kotanya tidak menyediakan buah pengidaman itu lantaran musim manggis belum tiba. Ia sudah berusaha keras, mendatangi setiap kios buah- buahan di segenap penjuru kota kecil tempat tinggalnya, tetapi hasilnya nihil. Istrinya kecewa dan ia amat khawatir jika nanti bayinya lahir sebagai anak ngences, dengan liur yang meleleh terus-menerus dari bibirnya, lantaran pengidaman yang tak kesampaian.
Saat itu, dalil-dalil rasional dan gagasan kefilsafatan yang penuh sesak di kepalanya bagai lumpuh seketika. Ia dikepung hawa mistik dan klenik hingga nalarnya buta. Ia hanya memikirkan bayi yang sudah lama dinantikannya, yang bisa jadi akan lahir sebagai anak yang kurang sempurna. Ia merasa bersalah, hanya karena tidak mampu mengabulkan keinginan istri tercinta yang sedang mengidam.
Kompleks permukiman yang baru Anda tempati, dulu adalah area rawa-rawa yang dipercayai warga sekitar sebagai daerah tempat jin membuang anak! Kabar ini juga kerap terdengar. Atas dasar itulah biasanya kita menggelar doa selamatan dengan mengundang orang-orang yang dipercayai mampu mengusir energi gaib. Jika prosedur itu tidak dilakukan, kekuatan gaib akan mengusik ketenangan dan tak jarang dapat menyebabkan penyakit ganjil yang berakibat buruk bagi masa depan sebuah keluarga.
Takhayul tetap hadir di ruang tamu dan kamar tidur kita setinggi apa pun tingkat pendidikan dan canggihnya kemampuan nalar. Di tengah malam, bila samar- samar terdengar lolongan anjing, biasanya kita percayai sebagai pertanda kerumunan hantu yang sedang bergentayangan. "Jangan menjahit baju pada malam hari, jangan duduk di depan pintu, jangan mandi di sungai di tengah hari, jangan masuk hutan jika cuaca gerimis", begitu rupa-rupa nasihat orangtua pada masa kecil, yang hampir semuanya bukanlah pesan etis, melainkan mengandung muatan mistik dan metafisis.
Manusia Indonesia
Barangkali "habitus" inilah yang menjadi basis argumentasi sastrawan Mochtar Lubis (1978) untuk mencatat "percaya takhayul" sebagai salah satu ciri manusia Indonesia. Bagi Mochtar, kepercayaan purba manusia Indonesia yang identik dengan animisme dan dinamisme mengakibatkan kita-betapa pun majunya cara kita bernalar-masih mempertahankan kesetiaan pada dunia supranatural. Mungkin itu pula sebabnya beberapa waktu lalu ketika pimpinan Padepokan Syekh Sangga Buana Putra bernama Abdul Muhjib menjual tiket ke surga seharga dua juta rupiah, sejumlah orang di Karawang, Jawa Barat, dengan senang hati membelinya.
Demikian pula dengan sekelompok anak muda yang terobsesi hendak menjadi artis. Mereka merasa perlu digembleng mentalnya oleh seorang penasihat spiritual. Sekali waktu, sang penasihat spritual mengaku sebagai kolektor jin dengan segenap kemampuan gaib yang akan mengantarkan anak-anak muda polos dan lugu itu menggapai cita-cita. Di kesempatan lain, ia bisa pula menobatkan dirinya sebagai titisan nabi yang bekerja dengan bantuan malaikat. Kemampuan istimewa itu ditegaskan dapat melapangkan jalan, baik bagi anak-anak muda yang hendak menjadi bintang terkenal maupun orang-orang yang sedang dilanda nestapa akibat prahara rumah tangga.
Di titik ini, kekuatan nalar mengalami kelumpuhan sementara, sama halnya dengan prinsip-prinsip rasionalisme, empirisme, dan positivisme sains- yang dianut sahabat saya di atas- yang tak bisa bekerja, hanya karena gagal dalam ikhtiar memperoleh manggis mengkal bagi istri tercinta.
Revolusi keilmuan yang berlangsung di Eropa sejak zaman Renaisance dan Aufklarung telah mengantarkan manusia modern ke puncak kemampuan kognitif tertinggi, yang dalam istilah filsuf August Comte (1798-1857) disebut fase "positivistik". Bahwa fase "teologis" dan "metafisis" telah terlampaui dan manusia sudah bebas dari kuasa dogma, mitos, dan klenik. Namun, di republik yang pada musim pilkada para kandidatnya datang meminta restu dan dukungan kepada dukun-dukun kontemporer, atau dalam tradisi keilmuan ketika seorang akademisi telah menyandang predikat guru besar, tetapi masih rajin mengoleksi keris pusaka, rasanya teori Comte tidak terlalu berguna.
Maka, tidaklah mengherankan jika seorang cerdik-cendekia lantang membela Dimas Kanjeng Taat Pribadi, pemimpin sebuah padepokan di Probolinggo, Jawa Timur. Dimas disebut-sebut mampu menggandakan atau mengadakan uang dengan kekuatan gaib, tetapi kemudian berstatus tersangka atas dugaan sebuah tindak pidana. Jika dalam sejarah filsafat Barat mitos binasa setelah akal berkuasa, di negeri kita, takhayul justru sanggup melucuti nalar seorang doktor lulusan mancanegara sekalipun.
DAMHURI MUHAMMAD
SASTRAWAN; ALUMNUS PASCASARJANA FILSAFAT UGM DAN PENGAJAR DI UNIVERSITAS DARMA PERSADA, JAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Takhayul dan Nalar yang Lumpuh".
0 comments:
Post a Comment