(Realisme Cinta: Imam Husein dan Pergerakan Sosial)
Oleh:
A.M. Safwan- RausyanFikr Institute
Imam Husein adalah cucu Nabi Muhammad saw, putra Imam Ali dan Sayyidah Fatimah Zahra, lahir pada 3 Syakban tahun 4 Hijriah. Kehidupan Imam Husein digambarkan berpuncak pada kedukaan karena terbunuh oleh kaki tangan penguasa dari dinasti Umayyah. Kisah Imam Husein banyak dikenal dalam tradisi kebudayaan kita di Indonesia, misalnya Tabot di Bengkulu, Tabuik di Pariaman, Hasan Husein dalam senandung syair lagu pada masyarakat Aceh, bubur merah dan bubur putih dalam masyarakat Jawa Islam. Bulan Muharram dalam beberapa tradisi dihindari melakukan beberapa kegiatan yang bersuka cita misalnya pesta perkawinan.
Kisah perjuangan Imam Husein juga menjadi kisah menarik dalam syair yang dikisahkan Annemarie Schimmel. Imam Husein dan kisah serta tragedi terbunuhnya di Karbala adalah realitas sejarah yang digambarkan oleh berbagai kalangan dari beragam pendekatan sebagaimana disebutkan di atas. Setidak-tidaknya sebagai fakta sejarah kisah ini memiliki banyak aspek yang menarik untuk dianalisis misalnya aspek cinta dalam pergerakan Imam Husein.
Berdasarkan landasan ilmiah kisah (fakta sejarah) itu saya mengutip pernyataan Buya Hamka (ulama, mantan ketua MUI dan Ketua PP Muhammadiyah) ketika memberi pengantar buku H.M.H Al Husaini tentang Imam Husein bin Ali ra. (1978), Buya Hamka menyatakan pada akhir kata pengantarnya mengenai tragedi terbunuhnya Imam Husein di Karbala: “ Ketika orang bertanya kepada saya berpihak ke mana saya dalam hal pertentangan yang terjadi di zaman dahulu, sayapun menuruti saja akan pendirian-pendirian ulama terdahulu, sebagaimana Imam Abu Hanifah, Hasan al Bashri, dan Umar bin Abdul Aziz, diantara mereka berkata: “Itulah darah-darah yang telah tertumpah, yang Allah telah membersihkan tanganku dari pada percikannya, maka tidaklah aku suka darah itu melumuri lidahku”
Buya Hamka dalam kata pengantar itupula menegaskan keteguhan rasa cintanya kepada al Husein cucu Rasulullah, masalah kecintaan kata Buya Hamka tentu berbeda dengan pendirian/keyakinan agama. Dari dorongan rasa cinta Buya Hamka kepada al Husein saya mendirikan dasar penjelasan saya tentang pergerakan Imam Husein dan makna sosial dengan dasar cinta (sifat universal manusia/fitrah). Hal ini akan Membangkitkan rasa cinta kita kepada sesama manusia dalam tujuan pergerakan sosial kita agar menjadi kekuatan penggerak sejarah.
Dalam penggambaran lain, Abubakar Aceh (1980) menyatakan dalam sebuah analogi dengan mengajak mengenangkan kisah Imam Husein dengan sebuah perumpamaan bahwa jika kita memiliki lima orang anak yang kita cintai, kemudian mereka wafat satu persatu hingga tinggal seorang saja, akan tak dapat tidak, cinta kepada yang seorang itu berlipat ganda karena kepadanya berkumpul seluruh cinta kepada yang sudah wafat. Imam Husein oleh Prof. Abubakar Aceh dikisahkan sebagai yang tersisa dari lima orang yang disebutnya sebagai empat peninggalan Nabi, satu-satunya kemenangan dan kebanggaan kaum muslimin sepeninggal Nabi, yang lain sudah tidak ada. Wajar saja menurut saya jika Imam Husein adalah sandaran cinta satu-satunya yang tersisa bagi para pencintanya sepeninggal Nabi, Imam Ali, Sayyidah Fatimah, dan Imam Hasan. Bisa kita katakan dari ungkapan Prof. Abubakar Aceh bahwa Imam Husein adalah pusat kecintaan kaum muslimin pada waktu itu, sehingga kaum muslimin berusaha menjaga kehidupan Imam Husein, bisa kita bayangkan kesedihan yang amat luar biasa, saat Imam Husein pergi meninggalkan dunia ini apalagi dengan cara terbunuh oleh kaki tangan penguasa.
Realisme Cinta Pergerakan Imam Husein
Murtadha Muthahhari menulis panjang penjelasan khusus tentang falsafah pergerakan Imam Husein (1988). Muthahhari menilai pergerakan Imam Husein di Karbala bukan karena adanya undangan masyarakat untuk melawan kezaliman penguasa, bukan pula karena ingin memprovokasi masyarakat untuk melawan, tidak juga karena pertimbangan ekonomi politik dengan merebut kekuasaan, Imam Husein kata Muthahhari, datang ke penguasa semata-mata amar ma’ruf nahi mungkar.
Imam Husein tidak membawa klaim atas nama masyarakat yang mendukungnya, tidak datang ke penguasa dengan suara untuk menumbangkan kekuasaan. Imam Husein hanya berkata: “Aku melihat dalam kematian itu hanya ada kebahagiaan, dan dalam hidup bersama para tiran hanya ada petaka”.
Muthahhari menulis, ketika Imam Husein meninggalkan Madinah, ia menulis surat kepada saudaranya Muhammad Hanafiah: “ Kuingin umat dunia tahu bahwa aku bukanlah seorang pemberontak, penghasut, agresor, yang mengupayakan peperangan atau kedudukan. Aku tak memiliki maksud-maksud seperti itu. Aku tampil untuk memperbaiki masyarakat (bangsa) Kakekku, Aku ingin beramar ma’ruf nahi mungkar”.
Imam Husein sadar sepenuhnya konsekuensi dari pergerakannya, hal ini kita dapatkan dari jawaban Imam Husein kepada Farazdaq, seorang penyair terkenal waktu itu yang bertemu dengan Imam Husein dalam perjalanan ke Karbala. Farazdaq menerangkan situasi yang berbahaya di Kufah Irak. Imam Husein menjawab dengan menyatakan bahwa jika terjadi sesuatu yang tidak kami inginkan, kami tidak rugi apa-apa, karena niat kami baik dan kesadaran kami jernih (maksud tindakannya). Apapun yang terjadi adalah baik, aku bersyukur kepadaNya dalam segala keadaan, baik menyenangkan ataupun tidak.
Logika pergerakan Imam Husein kata Muthahhari bukanlah dengan tujuan meraih kemenangan dan menumbangkan kekuasaan, logikanya adalah menciptakan semangat, untuk mencerahkan masyarakat, untuk menghidupkan dan menyuntikkan darah segar ke dalam tubuh masyarakatnya. Inilah makna sosial pergerakan Imam Husein.
Mungkin kita bisa memahami bagaimana seorang manusia yang tumbuh dalam rumah cinta kenabian, bagaimana Imam Husein dapat menjadi pusat perhatian masyarakat dengan pergerakannya di Karbala yang penuh dengan logika menghidupkan jiwa. Al Husein memberi semangat kepada masyarakat akan pentingnya kehidupan dengan menjauhkan diri dari kehinaan dengan hidup bersama penguasa yang zalim. Imam Husein melakukan bukan dengan agresi, bukan dengan pemberontakan dan apalagi dengan orasi pelaknatan dan caci maki, hal itu tidak satu katapun keluar dari lisan Imam Husein selain bahasa perlawanan dengan cinta dan ajakan damai untuk kembali kepada keadilan dan kemanusiaan.
Pergerakan Imam Husein hanya datang dengan satu sikap bahwa beliau menolak terhina dengan kekuasaan yang zalim karenanya Imam Husein tidak akan mengakui kepemimpinan yang zalim itu, dengan bahasa cinta dan damai dan tetap dengan seruan moral untuk mengajak kepada nilai-nilai penghormatan atas kemanusiaan.
Imam Husein tidak mengajak pengikutnya memberontak dengan penguasa, al Husein datang dengan puluhan pengikutnya ke ribuan pasukan penguasa, apakah itu logika perang? Bukan, Imam Husein membawa pesan damai bersama dengan puluhan pengikutnya yang sebagian besar adalah keluarganya bahkan perempuan dan anak-anak. Sekali lagi, ini bukan logika perang. Ini adalah logika cinta untuk menegaskan sikapnya dalam pergerakan bahwa sikap yang tegas dan konsisten jauh lebih penting dari sekedar melawan dengan kekuatan fisik. Logikanya bukan kekuatan, kekuatannya adalah logika, dan logikanya adalah cinta.
Kita punya optimisme, dengan belajar dari pengalaman pergerakan Imam Husein, bahwa makna sosial sebuah pergerakan di dasari pada kesadaran dan cinta, tujuannya agar pergerakan tidak menjadi terbatas pada tujuan politik kekuasaan, gerakan Islam adalah gerakan umat dengan semua aspeknya yaitu intelektual, spiritual dan sosial sebagai jalan untuk menegaskan sikap masyarakat menolak ketidakadilan dan kemanusiaan yang diinjak-injak dengan cara damai dan anti kekerasan.
Akhirnya spirit pergerakan itu berakhir dengan terbunuhnya Imam Husein. Darah yang tertumpah telah menjadi pesan yang menuliskan dan mengabadikan spirit pergerakan Imam Husein. Darah Imam Husein telah menjadi pesan sosial dan sejarah yang penting bagi seluruh umat manusia bahwa kekuasaan yang korup sebesar apapun tidak mampu menindas orang-orang yang telah memilih jalan hidup bersama keadilan dan kemanusiaan.
Itulah pesan kuat mengapa Imam Husein akhirnya begitu dicintai oleh banyak kaum muslimin Sunni maupun Syiah, Islam ataupun bukan Islam.
Sebagai penutup kita kutip lagi pernyataan Buya Hamka (H.M.H. al Husaini, 1978) untuk menegaskan mengapa kita perlu mencintai Imam Husein dalam ungkapan Nabi Muhammad Saw. Buya Hamka mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh at Tirmidzi dari Usman bin Said bahwa Nabi Saw. pernah bersabda bahwa Nabi mencintai keduanya (al Hasan dan al Husein), akupun kata Nabi akan cinta kepada siapa yang mencintai keduanya.
Wallahu’alam bi al Shawab
Salam atas Rasul al Mustafa Muhammad Saw.
Salam atas Imam Husain,keluarga dan para pengikutnya.
0 comments:
Post a Comment