Oleh: Nurcholis
Madjid
Barangkali
tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa HMI adalah sebuah format kecil
keindonesiaan. Yakni keindonesiaan masa depan. HMI adalah sebuah Indonesia
dalam miniatur. Pernyataan itu mungkin terdengar sebagai klaim yang kelewat
besar, namun ada beberapa kenyataan yang dapat diajukan sebagai argumen untuk
mendukung klaim itu. Tetapi di sini, disebabkan terbatasnya ruangan, kita akan
mengajukan soal bahasa sebagai pendukung utama argumen ini.
Pertama ialah
kenyataan bahwa keindonesiaan itu sendiri sampai sekarang sebenarnya belum ada.
Jiwa yang dimaksudkan dengan keingonesiaan tidak sekedar pengejawantahan
politik atau teritorial semata – meskipun hal-hal itu amat penting dan mutlak-
melainkan sesuatu yang lebih banyak berkaitan dengan sistem nilai,yaitu suatu
pola budaya yang secara nyata membentuk nilai keindonesiaan. Ini pun tidak
boleh dikacaukan dengan hal-hal formal dan konstitusional, seperti Pancasila,
sebab hal-hal formal itu, lepas dari klaim-klaim yang ada, lebih banyak
menunjukkan kepada cita-cita yang hendak dicapai daripada menggambarkan
kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
Pembentukan
keindonesiaan itu masih dalam proses. Terdapat beberapa ‘calon’ dari berbagai
budaya lokal dan sektoral yang bakal memberi bentuk nyata kepada keindonesiaan
itu. Dari yang lokal, salah satu yang sering disebut-sebut ialah budaya Jawa.
Burhan Magenda, dalam wawancaranya denga Harian Kompas (14 Maret 1985)
mengatakan bahwa kultur Jawa bisa jadi basis penguatan paham kebangsaan
Indonesia. Alasan yang diajuan Burhan ialah bahwa untuk kuatnya kebabngsaan,
perlu adanya “landasan domistik yang kokoh untuk mengakomodir berbagai ideologi
atau pengaruh luar yang bersifat universal”. Menurutnya, “berbeda dengan
ideologi lain atau atau agama tertentu”, kultur Jawa secara empiris menunjukkan
daya adaptasi dengan subkultur lainnya secara harmonis, dan kultur Jawa itu
yang sekarang dominan, baik dalam sistem politik, ekonomi, maupun budaya,
khususnya di kalangan elit Indonesia.
Sebenarnya
pernyataan Burhan bukanlah hal baru. Sudah sejak beberapa tahun yang lalu,
sastrawan Ashadi Siregar juga berpegang pada pendapat yang sama. Sastrawan ini
sangat mengagumi wayang kulit – suatu ekspresi kultur Jawa – dan melihat di
dalamnya berbagai nilai yang bisa dikembangkan mnjadi keindonesiaan. (patut
dicatat bahwa baik Burhan maupun Ashadi sendiri tidak berasal dari Jawa).
“Dominasi” Jawa Sementara
Mungkin saja
Burhan dan Ashadi benar. Tapi, ada beberapa hal yang harus diajukan sebagai
bahan pertimbangan. Pertama ialah ‘dominasi’ kultur Jawa pada kalangan elit
Indonesia itu bisa hanya bersifat sementara. Jika sampai saat ini kebanyakan
anggota elit Indonesia itu berasal dari Jawa, khususnya Jawa Tengah, dan lebih khusus
lagi segitiga Semarang-Yogya-Solo, maka hal itu antara lain disebabkan oleh
adanya sisa-sisa sistem pendidikan kolonial yang sangat menguntungkan golongan
priyai, tradisi memerintah pada kaum aristokrat Jawa itu, dan perjuanga fisik
mempertahankan Republik yang mengambil daerah segitiga itu sebagai panggung
utamanya. Dua yang pertama menerangkan mengapa birokrasi banyak dikuasai
mereka, dan yang ketiga menerangkan asal-usul kebanyakan perwira tinggi kita
sampai saat ini.
Dengan kata
lain, ‘dominasi’ para pendukung kultur Jawa seperti yang diisyaratkan oleh
Burhan itu, adalah disebaban oleh menumpuknya informasi, keahlian, pengalaman
dan partisipasi historis pada mereka dan bukan karena kekuatan kultur Jawa itu
sendiri. Sementara pola-pola dominasi itu sendiri tidak bisa bersifat permanen
– sebab, salah satu akibat kemerdekaan adalah terbaginya informasi, keahlian,
pengalaman dan partisipasi itu kepada seluruh warga negara, khususnya melalu
pendidikan yang terbuka – banyak hal-hal yang menjadi kelemahan kultur Jawa dan
akan menghalanginya untuk menjadi bahan utama keindonesiaan. Salah satu
kelemahan itu adalah tidak terpilihnya bahasa Jawa – meskipun secara kandunga
kultural kaya – sebagai bahasa nasional. Pilihan itu justru jatuh, melalu
proses yang amat wajar dan alami, pada bahasa melayu. Ini adalah karena
kesadaran kebangsaan pada waktu itu yang melihat bahwa bahasa Jawa tidak akan
mampu mendukung cita-cita keindonesiaan, suatu cita-cita yang harus diwujudkan
di zaman modern. Ambillah sebagai contoh watak bahasa Jawa yang hierarkis,
seperti halnya bahasa Sunda, Madura dan Bali, yang mencerminkan hakikat
kultur-kultur itu. Selalu, tutuntan kulutural untuk bisa sejalan dengan
kemodernan ialah egalitarianisme. Maka dibanding dengan bahasa Jawa, bahasa Indonesia
(melayu) adalah lebih egaliter, karena itu lebih modern.
Disebabkan
oleh watak yang lebih egaliter bahasa Melayu, maka ia mampu mengekspresikan
nilai-nilai keislaman yang juga sangat egaliter. Islam menggarisbahwai
egalitarinisme bahasa Melayu itu dan mengembangkannya. Bahasa melayu yang sudah
“diislamkan” adalah lebih egaliter dari pada yang semula. Jadi dari sudut bahwa
bahasa Melayu telah ‘menang’ terhadap bahasa Jawa, maka dapat dikatakan bahwa
yang secara ‘dominan’ mengisi keindonesiaan adalah konsep egalitarianisme,
bukan hirarkisme sosial, dan itu sejalan dengan keislaman. Maka kelanjutan
logis dari argumen itu ialah bahwa keislaman, dan bukan kejawaan, yang kini
sedang menumbuhkan diri sebagai pengisi pokok keindonesiaan.
Sebagai
dukungan argumen itu lebih lanjut, kejawaan yang disebut Burhan ‘dominan’ ialah
yang telah mengalami pengingonesiaan yang cukup jauh. Apalagi yang kita
maksudkan kejawaan itu adalah yang ada di ibukota. Orang-orang “Jawa” (dalam
arti kultural, bukan semata-mata etnis) di Jakarta adalah jauh lebih egaliter
daripada mereka yang ada di komplek Semarang-Yogya-Solo. Jika penggunaan bahasa
itu sendiri merupakan indikasi, rumah tangga keluarga Jawa di Jakarta,
khususnya generasi muda anggota keluarga itu, sudah tidak lagi mengerti,
apalagi mempelajar bahasa Jawa. Malahan, di komplek Semarang-Yogya-Solo pun
bahasa Jawa itu sudah terasa mulai terdesak oleh bahasa Indonesia. Ini bisa
dilihat dari bahasa yang digunakan oleh para anggota genarasi muda, khususnya
kalangan terpelajar, bahkan di rumah tangga mereka. Juga dibuktikan denga
kegagalan setiap usaha mengeluarkan penerbitan berkala bahasa Jawa, biarpun di
Jawa Tengah sendiri.
Bukan Islam Ritual
Jika benar
jalan pikiran itu, maka masa depan Indonesia ini, dalam muatan kulturalnya akan
banyak ditentukan oleh pengembangan budaya keislaman. Namun masih tersisa
sebuah pertanyaan “Islam yang mana?”, dalam keadaan tidak mungkin menginkari
aneka ragamnya kelompok keislaman di Indonesia, maka pertanyaan itu tidaklah
mengada-ada. Jawaban atas pertanyaan itu adalah “Islam yang dipahami dengan
titik berat kepada persoalan pandangan hidup dan pandangan dunia (liebenanschauung
dan weltanschauung), yang lebih menyeluruh.” Ini mengisyaratkan, “tidak
mungkin dengan Islam yang dipahami dengan titik berat soal ritual”, meskipun
tidak berarti mengecilkan arti penting ritual dan ubudiyah. Pemahaman yang
lebih menekankan pada aspek-aspek total itu, menghendaki ketenggangan yang
besar berkenaan dengan aspek-aspek ritual. Segi-segi ritual itu tidak menjadi
titik pusat rasa pengenalan diri sebagai kelompok, meskipun masing-masing
anggota kelompok dibenarkan untuk memilik bentuk variasi ritual tertentu. (Contoh
pemaham serupa itu ialah yang dilakukan H.A. Salim, yang kemudian diteruskan
kepada para anggota J.I.B. Salim diketahui sangat tidak suka kepada pembahasan
masalah ubudiyah, apalagi melibatkan diri dalam pertikaian khilafiyah).
Maka kita
dapat dengan mantap sampai kepada ‘klaim’ kita di atas, yaitu bahwa HMI
mencerminkan keindonesiaan masa depan, dan karenanya ia merupakan ‘miniatur
Indonesia’. Sebab, dari sekian banyak organisasi di Indonesia, HMI adalah yang Islam dan sekaligus lebih menekankan
identitas keislamannya dalam hal-hal yang lebih menyeluruh, yaitu iebenanschauung
dan weltanschauung. Dan dari sekian banyak organisasi Islam, HMI adalah
yang paling terlatih untuk menghadapi keanekaragaman pendapat dan pandangan
dalam dirinya, dan yang paling dewasa pula untuk mencari cara pemecahan
persoalan yang dihadapi. Jika demokrasi mensyaratkan adanya pluralisme yang
sehat, maka HMI adalah tempat persemaian yang subur bagi usaha-usaha
menumbuhkan pluralisme yang sehat itu. Hasil persemaian (baca: perkaderan) itu
tidak saja dapat ditanam dengan subur di ladang kalangan Islam sendiri, tetapi
juga sudah menunjukkan kemampuannya untuk tumbuh subur di ladang Indonesia
secara keseluruhan. Hal yang terakhir ini semakin dikuatkan oleh kenyatan bahwa
di antara berbagai organisasi sosial yang ada, khususnya kemahasiswaan, HMI
adalah paling bersifat nasional, dalam arti kekuatan organisasinya relatif
paling merata di seluruh tanah air. Juga dalam arti bahwa HMI adalah organisasi
yang benar-benar bebas dari komplek-komplek pengelompokan etnis atau
kedaerahan, yang biasanya hal-hal serupa itu terdapat dan muncul sebagai
ancaman berbagai organisasi yang lain.
Sejalan dengan
argumen itu pula, jika Indonesia harus menemukan landasan kokoh bagi banguan
etika politik, sosial, dan ekonominya, maka diantara semua kekuatan kultural
yang ada di Indonesia, yang paling mampu menawarkan etika itu secara nasional
ialah Islam dalam pengertian di atas. Ini adalah suatu pernyataan yang tidak
perlu dikaitkan dengan jargon lama politik Islam Indonesia. Ini adalah
pengemukaan hal yang secara sosiologis sedang terjadi dan tumbuh, minimal semata-mata
dikarenakan bahwa Islam suatu sistem paham yang paling merata di Indonesia. dan
Islam yang mengindonesia itu ialah Islam yang kosmopolit, egaliter, terbuka,
dan berwatak aktif, yaitu yang terdapat pada umumnya di daerah pantai pulau
Jawa dan hampir semua daerah di luar Jawa. Tanpa mengingkari peranan sistem
paham (dan agama) yang lain yang tentunya secara tak terhindari juga ikut
mengisi keindonesiaan melalu suatu proses interaksi kultural yang alamiah, disebakan
oleh dinamika ajarannya sendiri dan keudukan sosiologisnya di Indonesia, Islam
tetap memegang peranan dominan.
Jika apa yang
sudah terjadi selam sejarah perumbuhannya dapat dijadikan petunjuk, maka HMI
adalah bentuk embryonik keislaman – sekaligus keindonesiaan – masa depa. Wallahu
a’lam
·
Tulisan ini disalin dari
Panji Masyarakat No 499 tahun 1986.
0 comments:
Post a Comment