Saturday, 17 September 2016


CATATAN BUDAYA

Sawerigading: "La Galigo" di Tanah Asing

Berkat salinan tangannya La Galigo bisa bertakhta dan bersemayam dalam lelapnya selama hampir 200 tahun di Leiden, Belanda. Kelelapan itu, seolah tanpa tersentuh, karena sulitnya membaca huruf tua dan bahasa Bugis kuno yang terdapat di dalamnya. Bersamaan dengan itu generasi muda Bugis yang telah meninggalkan tradisi menulis dan membaca lontaraq transmisiLa Galigo.
Etnik Sulawesi mempunyai daya imajinasi yang kuat. Fantasi mereka, menggabungkan unsur yang ada di alam, manusia, dan Tuhan. Sesekali mereka menyelipkan kisah cinta yang agung dengan Tuhan. Tak jarang etnik itu juga mempunyai kisah cinta yang mendalam. Kisah cinta antarsuku, jarak yang jauh untuk berjumpa hingga kesetiaan yang ditampilkan melalui kisah perjalanan menjemput perempuan pujaan hati. Perihal kepahlawanan selalu terselip di antara kisah epos. Wajar, etnik Sulawesi adalah suku pemberani, disegani dan mengilhami jiwa ksatria. Maka, mereka berperan besar dalam penyatuan Nusantara.
La Galigo memiliki kekuatan yang mengejutkan dunia, merupakan hasil penulisan berisi tangkapan makna perjalanan hidup Sureq Galigo yang imajiner. Untuk membaca manuskrip itu, Pemerintah Belanda menyiapkan beberapa petugas. Naskah dikeluarkan satu per satu dengan perlahan untuk dipersilakan membaca. Mereka menyiapkan bantal putih, lalu meletakkan perlahan. Untuk membuka halamannya, petugas itu yang mengerjakan, sehingga mempermudah kita agar tidak terjadi kerusakan. Perpustakaan itu terletak di bawah sungai, suhu pada kamarnya juga telah diatur sehingga dapat memastikan bakteri tidak menyerang manuskrip yang disimpan. Sepasang mata menyorot di tiap gerakan apa pun yang dilakukan.
Bagian kehidupan
Jennifer W Nourse, Parreanom, dan Barru menjelaskan pada abad ke-15, dunia telah mengenal La Galigo. Bahkan 300.000 larik epik itu sudah lahir ketika abad Masehi baru mencium bumi. Usia yang tua dan pernah menjadi bagian dalam kehidupan suku Bugis ini merupakan epos terpanjang di seluruh dunia. Jumlah ini jauh lebih gemuk ketimbang epos agung Mahabharata,yang terdiri dari 150.000-200.000 baris, atau Iliad dan Odyssey yang hanya terdiri dari 16.000 baris. Penyebarannya melalui tradisi lisan dan tulis. Tradisi pertama dikenal oleh hampir semua etnik di Sulawesi, bahkan sebagian Kalimantan dan Semenanjung Melayu. Adapun yang kedua praktis hanya dilakukan oleh masyarakat Bugis. Sebagai satu karya, La Galigo punya konvensi bahasa (yaitu bahasa Galigo yang untuk mudahnya bisa disebut juga bahasa Bugis Kuno), sastra, metrum (guru lagu dan guru wilangan), dan alur.
Galigo diperkirakan lahir pada abad awal Masehi dan hingga abad ke-15, penyebarannya masih lisan, dengan rumpun bahasa Austronesia. Bukti yang mendukung adalah kemiripan sistem hierarki sosial yang digunakan etnik Pasifik yang masuk rumpun ini. Tradisi tulis diduga baru dimulai pada abad ke-15. Sejak naskah ini didokumentasi, La Galigo sudah mengembara ke negara jauh, terutama Belanda. Lalu, masuk ke perpustakaan Washington DC, pada abad ke-19 karya Husin bin Ismail, seorang munsyi Bugis kelahiran Wajo yang tinggal di Singapura.
Struktur La Galigo bisa dibagi dalam dua bagian besar, kisah awal yang bersifat kosmologi yang menceritakan asal-usul kehadiran manusia di bumi. Bagian kedua yang menceritakan sistem status yang sangat penting sebagai pegangan dalam kehidupan sosial Bugis.
Sejarah epos La Galigo atau biasa juga dikenal dengan I La Galigo merupakan karya sastra (epos) yang terpanjang di dunia. La Galigo adalah hasil karya sastra dari Kerajaan Luwu, Sulawesi Selatan, Indonesia. Isinya sebagian berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epos ini menceritakan tentang penciptaan alam semesta oleh raja dunia atas atau raja langit bernama La Patiganna. Sawerigading, seorang perantau juga pahlawan yang gagah berani. La Galigo sebenarnya tidak tepat disebut sebagai teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos. Namun, La Galigo tetap dapat memberikan gambaran mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14. La Galigo juga telah dipentaskan di beberapa negara Eropa, seperti Belanda, Perancis, dan Amerika tahun 2004. Pementasan tersebut mendapatkan respons yang positif The New York Times dan masyarakat.
Isi epos ini merujuk pada masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan permukiman yang berpusat di muara sungai, tempat kapal berlabuh. Pusat pemerintahan pun yang terdiri dari istana dan rumah bangsawan terletak berdekatan dengan muara sungai. Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang asing. Intinya laut menjadi media yang sangat penting untuk berhubungan antarkerajaan.
La Galigo merambah Gorontalo, diungkapkan pada motif ornamen. Ornamen itu diyakini mengandung makna oleh etnik Gorontalo, yang berujud payung, bintang, matahari dan bulan. W Schmidt menceritakan mitos di Indonesia terutama wilayah Sulawesi, sebagai motif kosmos (benda alam raya). Motif yang mengambil ide bentuk benda alam itu, dijumpai pada beberapa ornamen rumah tradisional. HEE Hayes menjelaskan, bulan sabit untuk kaum Muslim merupakan pembakar semangat. Pejuang Aceh menggunakan bulan sabit untuk berperang. Namun, bulan sabit dan bintang sesungguhnya bukan bagian daripada Islam dan bukan lambang Islam. Keduanya berasal dari kepercayaan paganisme. Simbol itu digunakan sebagai lambang pasukan Islam yang dipimpin Shalahuddin Al Ayyubi dalam perang salib pada abad ke-12 dan digunakan di masa Usmaniyah atau Ottoman di Turki pada abad ke-18.
Simbol
Pada epos itu diceritakan bahwa hutan Sulawesi merupakan surga berkembang-biaknya populasi babi rusa (Babyrousa) dan burung maleo (Macrocephalon). Adanya pohon rao (Dracontomelon dao) yang terus menghijaukan hutan dengan spesies yang tak terdapat di belahan bumi manapun, seperti monyet hantu (Tarsius tarsier). Makna burung motif maleo yang bertengger, merupakan sesuatu yang menyenangkan, simbol pengharapan suatu kesejahteraan bagi penghuni rumahnya. Pengaruh mitos etnik Bugis di Gorontalo, dijelaskan Nourse, melalui makna burung maleo yang telah menginspirasi pembuatan motif ornamen rumah. Maleo menyimpan telur mereka selama musim kemarau pada akhir musim hujan menjelang musim panen padi. Telur itu perlambang penting kesuburan dan kesehatan. Namun, cara burung meletakkan telurnya juga tak kalah penting maknanya. Burung maleo hidup di dua alam, laut dan darat, mewakili penyatuan laut dan darat yang dibutuhkan untuk kesuburan padi.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 September 2016, di halaman 26 dengan judul "Sawerigading: "La Galigo" di Tanah Asing".
Categories:

0 comments:

Post a Comment