Friday, 16 March 2018

Mencari Kabar ”Mutawatir”

Oleh DAMHURI MUHAMMAD
Kompas, 15 Maret 2018


Ribuan  tahun silam, nun di Yunani kuno, filsuf Plato (427-347 SM) menukilkan sebuah kisah yang lazim dikenal sebagai Allegory of the Cave. Tentang sejumlah  manusia yang terkurung dalam gua.

Dalam Politeia (514a-517a)—sebagaimana dikutip A Setyo Wibowo (2010)— Plato menggambarkan satu sisi dari dinding gua itu memantulkan bayang-bayang dari api unggun yang menyala di belakang orang-orang terkurung itu. Oleh karena sekumpulan manusia dalam gua itu berada dalam keadaan terbelenggu—tak bisa menengok ke kiri, ke kanan, dan ke belakang—lalu mereka memercayai bayang-bayang yang memantul di dinding gua sebagai kenyataan yang sejati.

Hingga suatu saat ada yang berhasil membebaskan diri, lalu menengok ke belakang. Ia melihat secara langsung realitas yang lebih asali dari sekadar bayang-bayang di dinding gua.

Dari kisah alegoris itu Plato kemudian merumuskan empat tingkatan pengetahuan. Pertama, pengetahuan yang didasarkan pada bayang-bayang di dinding gua, yang ia sebut pengetahuan konjektural, alias dugaan belaka.

Kedua, sebagaimana  manusia bebas yang telah melihat kenyataan secara langsung, tetapi masih berada di dalam gua, maka pengetahuan indrawi itu masih diselimuti oleh doxa (opini) atau pistis (kepercayaan). Bagi Plato, jika manusia bebas itu mau bersusah payah, ia akan mencapai pengetahuan sejati, atau dalam istilah Plato disebut noetik.

Meski begitu, noetik tak mudah digapai karena sebelum menggapainya orang terlebih dahulu harus melihat bayang-bayang sebagai simbol dari pengetahuan analitis dan matematis. Dengan demikian, pada level indrawi (di dalam gua) atas dasar obyek indrawi yang dapat dilihat (bayang-bayang atau benda riil), manusia memang memiliki semacam pengertian, tetapi hanya dalam arti konjektur dan doxa. Sementara di level intelligible, di luar gua, manusia dapat meraih pengetahuan rasional.

Alegori platonik itu mengingatkan saya pada lalu lalang informasi di linimasa media sosial semacam Facebook—yang secara kebetulan juga menggunakan istilah ”dinding” (wall)– yang dapat saya umpamakan sebagai  bayang-bayang lidah api di dinding gua, sementara para facebooker adalah orang-orang yang terpenjara di labirin gua.

Para netizen begitu lekas menerima setiap kabar yang muncul sebagai pengetahuan. Padahal, informasi yang berseliweran itu masih diselubungi doxa.

Tak banyak yang bersusah payah untuk membebaskan diri dari kepungan linimasa, akibatnya mutu pengetahuan yang diperoleh tak meningkat ke level intelligible.


Fakta dan fiksi bersenyawa

Inilah sebuah kurun ketika fakta dan fiksi telah bersenyawa hingga sukar dipilah secara jernih. Dukungan dari kerumunan orang bisa membuat dusta beralih rupa menjadi kebenaran. Sebaliknya, kebenaran yang minim pembela bisa terpelanting sebagai bohong belaka. Berangkat dari dunia yang sedang terkeranda oleh semesta keabu-abuan itu, tahun 2016 kamus Oxford memilih terminologi post-truth sebagai Word of the Year.

Menurut catatan Wisnu Prasetya Utomo (2017), jumlah penggunaan istilah tersebut di tahun 2016 meningkat 2.000 persen jika dibandingkan dengan tahun 2015. Di ”dunia pascafakta”—demikian terjemahan Reza AA Wattimena (2017) atas istilah post-truth era—kebenaran tak lagi penting.

Yang dicari adalah kehebohan sesaat. Politisi bisa memenangi pilkada bukan karena ia berpijak pada kebenaran, tetapi karena mampu menghibur massa dengan kebohongan dan kehebohan dangkal.

Oleh karena itu, kata Reza, ”Fakta dan data tidak lagi penting. Yang dicari adalah sensasi yang mengaduk-aduk emosi. Berita di media sosial lebih berpengaruh ketimbang data dan fakta tentang kenyataan. Ini semua lalu menjadi pembenaran untuk kemalasan dan kedangkalan berpikir.”

Maka, terbuktilah kiranya apa yang telah diramalkan filsuf Friedrich Nietzsche (1844-1900) dalam On Truth and Lies in a Nonmoral Sense (1896) dengan konsep army of metaphors. Bagi Nietzsche, yang kita sebut sebagai ”kebenaran” tak lebih dari ilusi tentang sesuatu yang telah dikelupaskan dari diri sejatinya. Nietzsche menggunakan analogi sebuah koin yang martabatnya telah terdistorsi sebagai logam karena simbol dan gambar di permukaan koin itu sudah luntur dan tak dapat dikenali lagi.

Adapun yang mengakibatkan kebenaran terpelanting menjadi ilusi menurut Nietzsche adalah armada metafora, army of methapors, yang di era digital mungkin dapat diamsalkan dengan cyber army atau pasukan buzzer yang saban hari berkhidmat mendistribusikan informasi berdasarkan pesanan, guna membangun persepsi atas kepentingan tertentu. Akibatnya, seperti koin yang hanya tersisa sebagai logam, kebenaran terdegradasi jadi persepsi dan opini.


Melarikan diri

Lalu, masih mungkinkah kita melarikan diri dari gua platonik atau keterbelengguan di dinding linimasa alam maya?

Saya teringat kaji lama semasa di madrasah, nun di pedalaman Sumatera, khususnya perbincangan intens perihal hadis mutawatir. Makna dasar kata mutawatir sama artinya dengan kata at-tatabu’u, yakni ’berturut-turut atau beriring-iringan’.

Mahmud Thahhan (2007) menjelaskan, hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi (orang yang meriwayatkan) kepada semua thabaqat (generasi) yang menurut akal dan adat (kebiasaan) tak mungkin bersekongkol untuk berdusta.

Dari pengertian ini, A Qadir Hassan (1966) kemudian merumuskan sejumlah syarat bagi hadis mutawatir. Pertama, sanad -nya (rangkaian perawi yang mengantarkan materi hadis sampai ke sumber mula-mulanya; Muhammad SAW) harus banyak. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan besaran jumlah perawi tersebut dan pendapat yang terpilih adalah minimal 10 orang.

Kedua, ada keseimbangan jumlah perawi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Misalnya, jika sanad di generasi terkini berjumlah 50 perawi, maka generasi di belakangnya harus berjumlah sama, begitu seterusnya, hingga generasi sanad yang secara langsung mendengar matan (materi) hadis dari Nabi.

Ketiga, dari semua tingkatan generasi sanad yang sampai kepada sumber pertama, secara rasional dan secara adat (kebiasaan), mustahil mereka melakukan dusta bersama.

Keempat, sandaran kabarnya adalah pancaindra alias pengalaman empiris, yang ditandai dengan kalimat ra-ai-na (kami telah melihat) dan sami’na (kami telah mendengar). Artinya, perawi paling mula sungguh berhadapan langsung dengan sumbernya. Satu saja dari empat syarat itu tak terpenuhi, derajat ke-"mutawatir"-an hadis akan gugur seketika.

Tentang mutu kebenaran hadis mutawatir, jumhur ulama telah menyepakatinya dengan nilai dharury, yakni suatu keharusan untuk mengakui kebenaran informasi, sebagaimana orang yang telah menyaksikan suatu peristiwa dengan mata kepala sendiri. Semua hadis mutawatir adalah maqbul alias dapat diterima sebagai dasar hukum.

Metode verifikasi yang ketat, terukur, dan sudah ratusan tahun bekerja di ranah Ulumul-Hadist ini sangat berguna dalam memilah dan menyaring kabar di jagat maya. Kabar mutawatir dapat menyelamatkan kita dari kepungan doxa dan armada metafora di rimba raya pascafakta.



Damhuri Muhammad,
Pengajar Filsafat Universitas Darma Persada, Jakarta; Tenaga Ahli UKP-PIP
Categories: ,

0 comments:

Post a Comment