Thursday, 12 January 2017

Sekedar Catatan tentang Ngaji Filsafat


Ngaji Filsafat yang dilaksanakan di Masjid Jendral Sudirman sejak april 2013 merupakan kegiatan unik dan menarik. Unik karena acaranya dilaksanakan di Masjid dan menarik karena “Filsafat”.
Untuk ukuran sebuah Masjid, acara tersebut terbilang “aneh” karena selain acara pengajian atau sekawannya yang memang berbasis di Masjid, di beberapa masjid lain di kota Yogyakarta yang lebih mudah dijumpai adalah kajian-kajian praktis dan populis berlabel syariah seperti: Keajaiban Sedekah, Menguak Keajaiban Rezeki, Pelatihan Sholat Khusyu, sampai diskusi tentang Jodoh pun ada. Tetapi itu tidak dilakukan di masjid ini.

Masjid Jendral Sudriman justru memilih ‘Filsafat’, sebuah disiplin yang dalam asumsi sebagian orang njlimet, rumit, membosankan atau bahkan ada yang beranggapan menyesatkan. Maka, tidak keliru kalau ada yang bilang ‘dimana ada kajian filsafat di situlah selalu sepi peminat’.
Bagaimana dengan Ngaji Filsafat?
Tulisan ini brojol dari kekagetan. Dalam Ngaji Filsafat, saya termasuk santri generasi awal. Sekitar satu, dua, tiga, empat sampai sekitar tujuh bulan pertama acara itu dirutinkan saya sering hadir, meskipun tidak selalu. Setelah itu, karena berbagai hal yang  sudah lupa apa saja ‘hal-hal’ itu saya semakin jarang hadir, salah satu yang saya ingat adalah karena acara itu mulai disebarkan ke internet melalui rekaman dan bisa diakses oleh siapa saja, saya kemudian lebih memilih mengunduh rekaman itu dan menyimaknya sabagai pengantar tidur. Pada masa awal sampai satu tahun pertama, acara itu lebih sering dilaksanakan di ruang kelas samping markas takmir. Waktu itu selain dapat suguhan materi dari Pak Fahrudin Faiz, takmir juga menyuguhkan Teh dan aneka macam makanan ringan: kadang kacang rebus, kadang gorengan, kadang roti bakar, dan kadang ketiganya atau lebih. Dulu, yang sering menjadi pembuka acara itu Selain Mas Yaser ada juga Mas Angga.
Selain ‘Ngaji Filsafat’ Masjid Jendral Sudirman punya agenda lain yang juga diadakan pada tahun 2013, diantaranya: Ngaji Serat Jawa oleh Ki Herman Sinung Janutama, Kursus Macapat bersama Ki Muhammad Bagus Febriyanto, dan kalau tidak salah pernah ada juga sekolah Tari Jawa (sepertinya yang ini baru ide, tapi di MJS pernah ada acara yang menghadirkan komunitas Joget Mataram—saya lupa.) Selain itu, pada 2013 akhir atau 2014 pernah juga diadakan acara Ngaji Kapitalisme, pernah ada agenda menculik tokoh atau ilmuan yang ke Jogja, diantara yang pernah diculik adalah Evi Idawati, ia diminta untuk memaparkan tentang karya yang baru diluncurkan, juga pernah menculik Yasraf Amir Piliang. Pada saat Prof Mulyadi Kartanegara ngisi acara di UIN Sunan Kalijga, oleh Mas Yaser saya disuruh untuk memintanya mampir ke MJS. Prof Mulyadi melalui media sosial katanya sudah mengetahui acara-acara yang diadakan di MJS, dan beliau sangat mengapresiasi, saat diminta untuk mampir mengisi di MJS Prof Mulyadi bilang “Saya tidak berjanji mas, tapi nanti sore atau malam coba konfirmasi lagi ya, ini catat nomer saya..” Saat saya konfirmasi, Prof Mulyadi ternyata tidak bisa hadir ke MJS, dan sejak saat itulah saya punya nomer hpnya Prof Mulyadi (tapi kayaknya nomer istrinya,..).
Diantara berbagai kegiatan itu, “Ngaji Filsafat” merupakan kegiatan yang benar-benar rutin, dan masih berlangsung hingga kini. Tiap episode peminatnya tidak pernah berkurang, bertambah sering. Di tahun 2015 dan 2016 saya hanya beberapa kali hadir di acara Ngaji Filsafat, biasanya kalau ada teman ke Jogja atau kenalan baru saya mengajak untuk memperkenalkan acara itu. acaranya sudah tidak di kelas lagi, tapi dipindah ke Masjid. Saya masih sering ke MJS, tapi kalau acara lain, seperti Ngaji Bersama Cak Kuswaidi Syafii atau Ngaji al-Hikam bersama K.H Imron Jamil, belakangan hadir juga di acara Ngaji Postkolonial yang diisi oleh Katrin Bandel.
Setelah sekian bulan tidak menghadiri itu, Rabu 11 Januari 2017 saya menghadiri kembali, dan sesampainya di MJS saya sedikit kaget dan bilang pada teman “Kok Banyak sekali yang hadir,.!!”. Di dalam, saat Pak Faiz lagi asik menyampaikan ceramah filsafatnya tentang Sunan Kalijaga yang sesekali disambut gelak tawa oleh jamaah, saya tak bisa konsentrasi karena masih bertanya-tanya “Kok Banyak Sekali Ya,” ada teman yang bilang “ceweknya banyak juga ya sekarang..” saya membatin “sepertinya bagus kalau diantara mereka ditanya apa kira-kira yang membuat mereka tertarik mengikuti acara ini..?”, selepas acara, kepada Mas Ain, saya bilang lebih kurang “kayaknya ini bagus kalau dibikin tulisan semacam reportose berisi testimoni peserta ngaji ini tentang ngaji filsafat ini,” Mas Ain hanya ketawa sangat bahagia entah karena menanggapi saya atau karena ada yang tanya  “kenapa istri Mas Ain mau menikah dengan sampean,? apa kira-kira yang dilihat dari Sampean Mas?”
Kembali ke: Bagaimana dengan Ngaji Filsafat?
Dalam episode awal Ngaji Filsafat, Pak Faiz pernah bilang “Semua orang itu harus jadi filosof, tapi tidak mesti jadi ahli filsafat”. Sepertinya pernyataan itu disampaikan dalam konteks pengertian filsafat secara etimologi yaitu “Cinta Kebijaksanaan, dalam pengertian ini Pak Faiz membedakan antara ahli filsafat dan filosof. Orang yang mengetahui tentang sejarah filsafat, hafal nama-nama tokoh dan dan pandai membual tentang teori-teori filsafat bisa disebut ahli filsafat,tetapi mereka belum tentu filosof. Filosof adalah mereka para pecinta kebijaksanaan, dan dibuktikan dengan laku hidup yang penuh kebijaksanaan. Apa itu kebijaksanaan?, silahkan dengarkan saja rekaman Ngaji Filsafat edisi awal atau baca buku Filosof juga manusia yang ditulis Pak Faiz.
Pernyataan Pal Faiz, membekas diingatan sebagaimana aneka makanan ringan yang dulu disuguhkan tetapi sekarang hanya tinggal suguhan teh/kopi. Mendengar pemaran Pak Faiz mengurai tentang teori-teori filsafat dengan gaya dan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami akan membuat siapapun (atau mungkin hanya saya ya...?) berhenti beranggapan bahwa filsafat itu adalah disiplin yang njlimet dan susah dipahami. Inilah yang menurut saya menjadi pesona tersendiri yang membuat Ngaji Filsafat ini selalu memiliki jamaah melimpah dan cenderung bertambah. Pak Faiz mampu menyadarkan jamaah bahwa Filsafat bisa dipelajari siapa saja, bisa dipahami oleh siapa saja, dan siapa saja bisa jadi filosof.
Selain itu, menarik jika ngaji filsafat ini dikaitkan dengan fenomina diluar dirinya. Antusiasme yang mayoritas adalah anak muda-mahasiswa pada aktifitas ini  adalah gejala unik yang secara sosial berkaitan dengan perubahan sosial-budaya. Pertama, Dalam kebudayaan masyarakat kini dan di sini gejolak perubahan besar yang terjadi telah begitu giat merampas sendi-sendi kearifan hidup. Di sana-sini, bangunan fisik yang hadir mengelilingi kota bukanlah tempat-tempat “beradab” seperti museum, toko buku, perpustakaan, dan taman-taman bacaan. Akan tetapi, pusat-pusat belanja, restoran mewah, distro, salon, hotel, dan segala tempat yang lebih mengarahkan kaum muda menjadi manusia yang lupa diri bahwa ia manusia, yang memiliki tugas dan tanggungjawab kemanusiaan.
Masjid-masjid pun yang berdiri, baru dibangun, atau masjid yang sedang direnovasi pun (agaknya) lebih menitik-beratkan pembenahan fisiknya. Di sana-sini, masjid mulai memewah-mewahkan diri. Menara di bela-bela untuk dibangun. Lantai, dinding, serta perabotan masjid disulap menjadi lebih mewah dari pada rumah seorang tukang becak yang hidup bertetangga dengan masjid. Akan tetapi sayangnya masjid tersebut sering kosong-melompong setiap kali sholat lima waktu ditegakkan. Ini membuktikan bahwa menara masjid itu tidak penting dibangun. Masjid tidak perlu dimewah-mewahkan karena yang terpenting adalah bagaimana caranya agar masjid itu ramai didatangi oleh orang-orang pencari kebenaran, keadilan dan kebijaksanaan hidup.
Kedua, generasi baru  pemuda era ini, sebagian besar adalah generasi yang sejak ia mulai bisa membuka mata dan mendengar dengan telinga, adalah generasi populer. Suara yang masuk ke telinganya adalah alunan musik pop remeh nan cengeng, plus lirik picisan. Ketika ia memasuki masa akil-baligh, malam-malamnya sering dihabiskan untuk menonton sinetron dan acara kontes-kontes musik. Anak-anak tersebut dibesarkan dalam sistem pendidikan yang memaksa mereka untuk tidak mengasah nalar, akan tetapi hanya mengasah otak.
Mereka diajarkan matematika, tetapi mereka tidak diajarkan memahami kenyataan hidup dengan menggunakan matematika. Pelajaran sejarah yang masuk ke memori mereka adalah pelajaran sejarah nusantara yang diramu berdasarkan “resmi” yang telah dibakukan oleh para penjajah negeri ini sejak lama. Sementara saat mereka bersentuhan dengan sastra dan filsafat, mereka akan cepat bersikap antipati. Pelajaran agama yang mereka terima pun lebih sering diarahkan untuk mengantarkan mereka menjadi makhluk yang beragama tanpa memegangi kekayaan batin agama itu sendiri. Akibatnya, agama hanya menjadi kekayaan intelektual. Ia kerap dikhutbahkan tapi jarang diamalkan. Di masa remaja rezim image dan kosmetik telah menjebak generasi ini untuk memenuhi kriteria hidup yang digariskan oleh layar kaca dan media sosial maya, sehingga berlomba untuk tampil mempesona dan menggoda untuk memburu respon berupa like atau viral di dunia maya. Pembenahan fisik dan citra memang merupakan garis besar peradaban saat ini.
Sementara itu, dunia kampus saat ini telah berlari begitu cepatnya. Mahasiswa tidak dibiarkan untuk belajar mencari kuliah alternatif berupa diskusi bebas dan pencarian rumus atau teori baru. Kampus mengkonteskan mahasiswanya untuk selalu punya IPK bagus, cepat lulus, cepat kerja, dan cepat-cepat lainnya, sementara penguasaan materi barada di bawah ambang rata-rata. Karena mahasiswa yang masuk kampus pun generasi pop, maka kampus semakin rapuh. Generasi yang kuliah terlanjur mempunyai sofware yang menyebabkan kepalanya lemot diajak berpikir, dan hatinya lola diajak merasa.
Dalam konteks generasi yang hampa makna inilah, kekeringan batin memaksa sebagian generasi pemuda ini untuk sadar bahwa mereka adalah manusia, yang membutuhkan ketenangan jiwa, kebahagaiaan dan cinta. Ngaji Filsafat dalam hal ini hadir menyuguhkan kebutuhan itu. Dengan pemaran yang baik, Pak Faiz melalui ngaji Filsafat mampu mengisi ruang kosong generasi muda ini lewat diminisi pengetahuan yang mendalam. Kegiatan Ngaji Filsafat dan yang terbaru Ngaji Postkolonial bersama Katrin Bandel adalah ruang alternatif bagi para pemuda mahasiswa untuk mendapatkan pemahaman dan pengetahuan yang tidak didapat atau bebeda dengan di kampus.
Sedangkan aktifitas lain di MJS, seperti Ngaji Kitab Ruba’iyat karya Rumi dan Tarjuman al-Asywaq Syaikhul Akbar Ibnu Arabi, bersama Kyai Kuswaidi Syafi’i, Ngaji Selapanan Kitab Al-Hikam Karya Syekh Ibnu Athoillah as-Sakandary, yang dilaksanakan setiap malam selasa kliwon dengan pembicara KH. Imron Djamil, Ngaji Serat Jawa (kalau diadakan lagi) dan lain-lain melengkapi kekosongan itu dari sisi spritual dan kebudayaan.
Karena itulah, saya menilai bahwa para jamaah ngaji filsafat ini adalah generasi kini yang kekinian tetapi tidak kekini-kinian, mereka adalah sekelompok anak muda yang sadar bahwa selain harus memenuhi asupan layar kaca, juga mesti memenuhi asupan jiwa dan kepala...
Sebagian mungkin ada yang ingin memenuhi asupan kopi...!!
Wallahu a’lam... 
__________
diolah dari ingatan, pengamatan dan buku Apakabar Islam Kita?..
Categories: ,

0 comments:

Post a Comment