Ngaji Filsafat
yang dilaksanakan di Masjid Jendral Sudirman sejak april 2013 merupakan kegiatan
unik dan menarik. Unik karena acaranya dilaksanakan di Masjid dan menarik
karena “Filsafat”.
Untuk
ukuran sebuah Masjid, acara tersebut terbilang “aneh” karena selain acara
pengajian atau sekawannya yang memang berbasis di Masjid, di beberapa masjid
lain di kota Yogyakarta yang lebih mudah dijumpai adalah kajian-kajian praktis
dan populis berlabel syariah seperti: Keajaiban Sedekah, Menguak Keajaiban
Rezeki, Pelatihan Sholat Khusyu, sampai diskusi tentang Jodoh pun ada. Tetapi
itu tidak dilakukan di masjid ini.
Masjid Jendral
Sudriman justru memilih ‘Filsafat’, sebuah disiplin yang dalam asumsi sebagian
orang njlimet, rumit, membosankan atau bahkan ada yang beranggapan
menyesatkan. Maka, tidak keliru kalau ada yang bilang ‘dimana ada kajian
filsafat di situlah selalu sepi peminat’.
Bagaimana dengan
Ngaji Filsafat?
Tulisan
ini brojol dari kekagetan. Dalam Ngaji Filsafat, saya termasuk santri
generasi awal. Sekitar satu, dua, tiga, empat sampai sekitar tujuh bulan
pertama acara itu dirutinkan saya sering hadir, meskipun tidak selalu. Setelah
itu, karena berbagai hal yang sudah lupa
apa saja ‘hal-hal’ itu saya semakin jarang hadir, salah satu yang saya ingat
adalah karena acara itu mulai disebarkan ke internet melalui rekaman dan bisa diakses
oleh siapa saja, saya kemudian lebih memilih mengunduh rekaman itu dan
menyimaknya sabagai pengantar tidur. Pada masa awal sampai satu tahun pertama,
acara itu lebih sering dilaksanakan di ruang kelas samping markas takmir. Waktu
itu selain dapat suguhan materi dari Pak Fahrudin Faiz, takmir juga menyuguhkan
Teh dan aneka macam makanan ringan: kadang kacang rebus, kadang gorengan,
kadang roti bakar, dan kadang ketiganya atau lebih. Dulu, yang sering menjadi
pembuka acara itu Selain Mas Yaser ada juga Mas Angga.
Selain
‘Ngaji Filsafat’ Masjid Jendral Sudirman punya agenda lain yang juga diadakan
pada tahun 2013, diantaranya: Ngaji Serat Jawa oleh Ki Herman Sinung Janutama,
Kursus Macapat bersama Ki Muhammad Bagus Febriyanto, dan kalau
tidak salah pernah ada juga sekolah Tari Jawa (sepertinya yang ini baru ide, tapi di MJS
pernah ada acara yang menghadirkan komunitas Joget Mataram—saya lupa.) Selain
itu, pada 2013 akhir atau 2014 pernah juga diadakan acara Ngaji Kapitalisme,
pernah ada agenda menculik tokoh atau ilmuan yang ke Jogja, diantara yang
pernah diculik adalah Evi Idawati, ia diminta untuk memaparkan tentang karya
yang baru diluncurkan, juga pernah menculik Yasraf Amir Piliang. Pada saat Prof
Mulyadi Kartanegara ngisi acara di UIN Sunan Kalijga, oleh Mas Yaser saya
disuruh untuk memintanya mampir ke MJS. Prof Mulyadi melalui media sosial katanya
sudah mengetahui acara-acara yang diadakan di MJS, dan beliau sangat
mengapresiasi, saat diminta untuk mampir mengisi di MJS Prof Mulyadi bilang
“Saya tidak berjanji mas, tapi nanti sore atau malam coba konfirmasi lagi ya,
ini catat nomer saya..” Saat saya konfirmasi, Prof Mulyadi ternyata tidak bisa
hadir ke MJS, dan sejak saat itulah saya punya nomer hpnya Prof Mulyadi (tapi
kayaknya nomer istrinya,..).
Diantara
berbagai kegiatan itu, “Ngaji Filsafat” merupakan kegiatan yang benar-benar
rutin, dan masih berlangsung hingga kini. Tiap episode peminatnya tidak pernah
berkurang, bertambah sering. Di tahun 2015 dan 2016 saya hanya beberapa kali
hadir di acara Ngaji Filsafat, biasanya kalau ada teman ke Jogja atau kenalan
baru saya mengajak untuk memperkenalkan acara itu. acaranya sudah tidak di
kelas lagi, tapi dipindah ke Masjid. Saya masih sering ke MJS, tapi kalau acara
lain, seperti Ngaji Bersama Cak Kuswaidi Syafii atau Ngaji al-Hikam bersama K.H
Imron Jamil, belakangan hadir juga di acara Ngaji Postkolonial yang diisi oleh
Katrin Bandel.
Setelah
sekian bulan tidak menghadiri itu, Rabu 11 Januari 2017 saya menghadiri
kembali, dan sesampainya di MJS saya sedikit kaget dan bilang pada teman “Kok
Banyak sekali yang hadir,.!!”. Di dalam, saat Pak Faiz lagi asik menyampaikan
ceramah filsafatnya tentang Sunan Kalijaga yang sesekali disambut gelak tawa
oleh jamaah, saya tak bisa konsentrasi karena masih bertanya-tanya “Kok Banyak
Sekali Ya,” ada teman yang bilang “ceweknya banyak juga ya sekarang..” saya membatin
“sepertinya bagus kalau diantara mereka ditanya apa kira-kira yang membuat
mereka tertarik mengikuti acara ini..?”, selepas acara, kepada Mas Ain, saya
bilang lebih kurang “kayaknya ini bagus kalau dibikin tulisan semacam reportose
berisi testimoni peserta ngaji ini tentang ngaji filsafat ini,” Mas Ain hanya
ketawa sangat bahagia entah karena menanggapi saya atau karena ada yang
tanya “kenapa istri Mas Ain mau menikah
dengan sampean,? apa kira-kira yang dilihat dari Sampean Mas?”
Kembali ke: Bagaimana
dengan Ngaji Filsafat?
Dalam
episode awal Ngaji Filsafat, Pak Faiz pernah bilang “Semua orang itu harus jadi
filosof, tapi tidak mesti jadi ahli filsafat”. Sepertinya pernyataan itu
disampaikan dalam konteks pengertian filsafat secara etimologi yaitu “Cinta
Kebijaksanaan”, dalam pengertian ini Pak Faiz membedakan antara ahli
filsafat dan filosof. Orang yang mengetahui tentang sejarah filsafat, hafal
nama-nama tokoh dan dan pandai membual tentang teori-teori filsafat bisa
disebut ahli filsafat,tetapi mereka belum tentu filosof. Filosof adalah mereka
para pecinta kebijaksanaan, dan dibuktikan dengan laku hidup yang penuh
kebijaksanaan. Apa itu kebijaksanaan?, silahkan dengarkan saja rekaman Ngaji
Filsafat edisi awal atau baca buku Filosof juga manusia yang ditulis Pak Faiz.
Pernyataan
Pal Faiz, membekas diingatan sebagaimana aneka makanan ringan yang dulu
disuguhkan tetapi sekarang hanya tinggal suguhan teh/kopi. Mendengar pemaran
Pak Faiz mengurai tentang teori-teori filsafat dengan gaya dan bahasa yang
sederhana dan mudah dipahami akan membuat siapapun (atau mungkin hanya saya ya...?)
berhenti beranggapan bahwa filsafat itu adalah disiplin yang njlimet dan
susah dipahami. Inilah yang menurut saya menjadi pesona tersendiri yang membuat
Ngaji Filsafat ini selalu memiliki jamaah melimpah dan cenderung bertambah. Pak
Faiz mampu menyadarkan jamaah bahwa Filsafat bisa dipelajari siapa saja, bisa
dipahami oleh siapa saja, dan siapa saja bisa jadi filosof.
Selain
itu, menarik jika ngaji filsafat ini dikaitkan dengan fenomina diluar dirinya.
Antusiasme yang mayoritas adalah anak muda-mahasiswa pada aktifitas ini adalah gejala unik yang secara sosial
berkaitan dengan perubahan sosial-budaya. Pertama, Dalam kebudayaan
masyarakat kini dan di sini gejolak perubahan besar yang terjadi telah begitu
giat merampas sendi-sendi kearifan hidup. Di sana-sini, bangunan fisik yang
hadir mengelilingi kota bukanlah tempat-tempat “beradab” seperti museum, toko
buku, perpustakaan, dan taman-taman bacaan. Akan tetapi, pusat-pusat belanja,
restoran mewah, distro, salon, hotel, dan segala tempat yang lebih mengarahkan
kaum muda menjadi manusia yang lupa diri bahwa ia manusia, yang memiliki tugas
dan tanggungjawab kemanusiaan.
Masjid-masjid pun yang berdiri, baru dibangun, atau masjid yang sedang
direnovasi pun (agaknya) lebih menitik-beratkan pembenahan fisiknya. Di
sana-sini, masjid mulai memewah-mewahkan diri. Menara di bela-bela untuk
dibangun. Lantai, dinding, serta perabotan masjid disulap menjadi lebih mewah
dari pada rumah seorang tukang becak yang hidup bertetangga dengan masjid. Akan
tetapi sayangnya masjid tersebut sering kosong-melompong setiap kali sholat
lima waktu ditegakkan. Ini membuktikan bahwa menara masjid itu tidak penting
dibangun. Masjid tidak perlu dimewah-mewahkan karena yang terpenting adalah
bagaimana caranya agar masjid itu ramai didatangi oleh orang-orang pencari
kebenaran, keadilan dan kebijaksanaan hidup.
Kedua, generasi baru pemuda
era ini, sebagian besar adalah generasi yang sejak ia mulai bisa membuka mata
dan mendengar dengan telinga, adalah generasi populer. Suara yang masuk ke
telinganya adalah alunan musik pop remeh nan cengeng, plus lirik picisan.
Ketika ia memasuki masa akil-baligh, malam-malamnya sering dihabiskan untuk
menonton sinetron dan acara kontes-kontes musik. Anak-anak tersebut dibesarkan
dalam sistem pendidikan yang memaksa mereka untuk tidak mengasah nalar, akan
tetapi hanya mengasah otak.
Mereka diajarkan matematika, tetapi mereka tidak diajarkan memahami
kenyataan hidup dengan menggunakan matematika. Pelajaran sejarah yang masuk ke
memori mereka adalah pelajaran sejarah nusantara yang diramu berdasarkan
“resmi” yang telah dibakukan oleh para penjajah negeri ini sejak lama.
Sementara saat mereka bersentuhan dengan sastra dan filsafat, mereka akan cepat
bersikap antipati. Pelajaran agama yang mereka terima pun lebih sering
diarahkan untuk mengantarkan mereka menjadi makhluk yang beragama tanpa
memegangi kekayaan batin agama itu sendiri. Akibatnya, agama hanya menjadi
kekayaan intelektual. Ia kerap dikhutbahkan tapi jarang diamalkan. Di masa
remaja rezim image dan kosmetik telah menjebak generasi ini untuk
memenuhi kriteria hidup yang digariskan oleh layar kaca dan media sosial maya,
sehingga berlomba untuk tampil mempesona dan menggoda untuk memburu respon
berupa like atau viral di dunia maya. Pembenahan fisik dan citra memang
merupakan garis besar peradaban saat ini.
Sementara itu, dunia kampus saat ini telah berlari begitu cepatnya.
Mahasiswa tidak dibiarkan untuk belajar mencari kuliah alternatif berupa
diskusi bebas dan pencarian rumus atau teori baru. Kampus mengkonteskan
mahasiswanya untuk selalu punya IPK bagus, cepat lulus, cepat kerja, dan
cepat-cepat lainnya, sementara penguasaan materi barada di bawah ambang
rata-rata. Karena mahasiswa yang masuk kampus pun generasi pop, maka kampus
semakin rapuh. Generasi yang kuliah terlanjur mempunyai sofware yang menyebabkan
kepalanya lemot diajak berpikir, dan hatinya lola diajak merasa.
Dalam konteks generasi yang hampa makna inilah, kekeringan batin memaksa
sebagian generasi pemuda ini untuk sadar bahwa mereka adalah manusia, yang
membutuhkan ketenangan jiwa, kebahagaiaan dan cinta. Ngaji Filsafat dalam hal
ini hadir menyuguhkan kebutuhan itu. Dengan pemaran yang baik, Pak Faiz melalui
ngaji Filsafat mampu mengisi ruang kosong generasi muda ini lewat diminisi
pengetahuan yang mendalam. Kegiatan Ngaji Filsafat dan yang terbaru Ngaji
Postkolonial bersama Katrin Bandel adalah ruang alternatif bagi para pemuda
mahasiswa untuk mendapatkan pemahaman dan pengetahuan yang tidak didapat atau
bebeda dengan di kampus.
Sedangkan aktifitas lain di MJS, seperti Ngaji Kitab Ruba’iyat karya Rumi
dan Tarjuman al-Asywaq
Syaikhul Akbar Ibnu Arabi, bersama Kyai Kuswaidi Syafi’i, Ngaji Selapanan Kitab
Al-Hikam
Karya Syekh Ibnu Athoillah as-Sakandary, yang dilaksanakan setiap malam selasa
kliwon dengan pembicara KH. Imron Djamil, Ngaji Serat Jawa (kalau diadakan
lagi) dan lain-lain melengkapi kekosongan itu dari sisi spritual dan
kebudayaan.
Karena itulah, saya menilai bahwa para jamaah ngaji filsafat ini adalah
generasi kini yang kekinian tetapi tidak kekini-kinian, mereka adalah
sekelompok anak muda yang sadar bahwa selain harus memenuhi asupan layar kaca,
juga mesti memenuhi asupan jiwa dan kepala...
Sebagian mungkin ada yang ingin memenuhi asupan kopi...!!
Wallahu a’lam...
__________
diolah dari ingatan, pengamatan dan buku Apakabar Islam Kita?..
__________
diolah dari ingatan, pengamatan dan buku Apakabar Islam Kita?..
0 comments:
Post a Comment