Thursday, 20 October 2016

Merayakan Kebaikan Kopi

Jakarta adalah belantara beton yang tidak menyisakan ruangnya untuk kebun kopi. Namun, di Ibu Kota ini, kopi dirayakan sedemikian rupa. Kaum mudanya memastikan sudut kota wangi dengan aroma karamel dari biji kopi yang terbakar.

KOMPAS/HERLAMBANG JALUARDI
Pencicip kopi bersertifikasi atau Q Grader, Jon Liman, Mirza Luqman, dan Muhammad Aga (kiri ke kanan), menjadi juri kompetisi seduh Battle of Brewers pada Minggu (16/10) di Jakarta Coffee Week 2016 di Hype Pantai Indah Kapuk, Jakarta.
Aroma manis dan wangi karamel itulah yang menyergap indra penciuman tatkala memasuki ruangan sekitar 21 meter persegi di Jalan Duta Raya, Duri Kepa, Jakarta Barat, akhir September silam. Hanya ada Jeffrey Satria (31) seorang di situ. Ia mengenakan apron coklat bertuliskan ”Kopikohlie”, nama dagangnya.
Jeffrey sedang menyangrai kopi gayo jenis arabika di mesin sangrai di sudut ruang belakang rumahnya yang rindang. Di hadapan mesin yang nyaris berumur 20 tahun itu, mata Jeffrey mengawasi lekat-lekat biji kecoklatan yang berputar-putar. Sesekali ia mengambil sampel dari dalam tungku dan menghirup aromanya. Ketika aroma kopinya makin wangi, proses goreng itu hampir selesai.
Kopi gayo yang disangrai itu terlihat coklat tua, hampir hitam. Itu adalah tingkat panggangan antara sedang dan gelap, istilahnya medium to dark. Hasil panggangan sedemikian biasanya menghasilkan citra kopi yang tebal dan berujung rasa agak pahit.
”Kopi ini untuk disajikan di Aceh sana. Selera orang sana memang seperti itu karena biasanya dipakai untuk kopi tarik dan dicampur susu,” kata Jeffrey, sarjana psikologi ini.
Cara penyajian seperti itu agak berbeda dengan yang sedang menggejala di Jakarta kini. Belakangan, sejumlah kafe menyediakan biji kopi dengan tingkat panggangan ringan hingga sedang (light to medium). Rasanya berlawanan dengan kopi ala gayo tadi, yaitu menimbulkan citarasa manis, bernuansa wewangian tumbuhan dan buah.
Jeffrey juga menyediakan biji kopi dengan profil seperti itu. Di rak yang ada di ruangan itu ada beberapa kantong kemasan 250 gram berstiker pengenal asal kopi (single origin). Ada kopi salatiga, sindoro, toraja rambu, toraja sapan, toraja sulotco, kerinci sungai lintang, padang air dingin, dan lima varian kopi gayo.
Semua kopi jenis arabika itu punya ciri rasanya sendiri. ”Kopi kerinci ini menurut saya paling unik, ada aroma rempah seperti merica,” katanya. Untuk mengeluarkan rasa unik itu, diperlukan biji tergoreng yang tidak terlalu gosong, cukup matang saja. Cara menyeduhnya pun menggunakan teknik tertentu.
Namun, Jeffrey tidak menyeduhkan kopi. Kopikohlie hanya menggoreng beras kopi atau green bean hasil proses pasca panen. Kopi tersangrainya terdistribusi ke sejumlah kedai kopi di Jakarta, juga kota lainnya. Namun, ia berencana membuka kedai kopi juga.
Metode alternatif
Berbeda dengan Kopikohlie, Cubung Hanito (26) membuka kedai kopi Wisang Kopi di daerah Cipete, Jakarta Selatan. Awalnya dia memesan kopi tersangrai. Lama-kelamaan, ia merasa harus menyangrai sendiri untuk menekan harga jual segelas kopi murni, atau istilah sekarang adalah kopi spesial.
Segelas kopi bengkulu saba ia jual Rp 18.000. Kelak, Cubung ingin harga kopinya bisa lebih murah lagi supaya semakin banyak orang bisa meminum kopi spesial. ”Mungkin nanti seduhnya dengan cara tubruk saja. Tapi, tetap memakai kopi murni segar yang baru digiling sebelum diseduh, atau kopi dadakan. Seperti dagang tahu (digoreng dadakan), ha-ha-ha,” katanya.
Saat ini, Cubung memakai metode seduh manual. Rata-rata pelanggannya meminta kopi diseduh dengan teknik tetes memakai filter kertas. Metode filter ini yang sedang sering dipakai di banyak kedai kopi.
Metode seduh menggunakan filter adalah cara alternatif untuk mendapatkan rasa kopi sejati tanpa memakai mesin. Harga mesin espresso elektrik relatif mahal, bisa seharga mobil minibus baru. Sementara itu, dengan bermodal Rp 1 juta, orang sudah bisa dapat alat giling dan saringannya.
Harga peralatan yang relatif murah itu pula yang mendorong terciptanya fenomena kopi belakangan ini. Kedai-kedai kopi bermunculan, mulai yang kinclong hingga yang menclok di pelataran parkir pertokoan.
Kalau alat dan kedainya sudah tersedia, bagaimana dengan bijinya yang menjadi esensi dari fenomena ini? Jangan khawatir, ada banyak rumah pemanggang kopi macam Kopikohlie itu. Beberapa di antaranya yang baru muncul adalah Smoking Barrels, Arv Coffee Roasters, dan Juno The Coffee Company.
Ketiganya ikut nampang di ajang Jakarta Coffee Week 2016 pada Sabtu hingga Minggu (16/10) di Hype Pantai Indah Kapuk, Jakarta. Itu adalah ajang ekshibisi para pelaku kopi, mulai dari kedai, penyangrai, penyedia peralatan, koperasi petani, dan tentunya peminum kopi. Penyelenggara mencatat ada 12.546 orang yang datang.
Demam kopi
Nama tempat ekshibisi itu seperti menegaskan bahwa perkopian memang sedang heboh alias hype. Beberapa gerai kehabisan stok biji tersangrai. ”Kalau mau pesan bisa tinggalkan nomor kontak. Nanti kami hubungi kalau kopi sudah tersedia lagi,” kata awak Juno The Coffee Company menjelang acara bubar.
Pengunjung juga berkesempatan mencicipi kopi terbaru dari kedai atau penyangrai. Pada jadwal tertentu mereka mengadakan sesi cupping—mencicipi kopi. Pengunjung bisa ngobrol panjang kali lebar dengan pelaku kopi secara langsung.
Jon Liman (33), pendiri roastery Smoking Barrels, memanfaatkan acara itu untuk bertemu langsung dengan konsumen dan pemasok kopinya. ”Banyak orang yang bertanya tentang asal muasal kopi yang mereka minum. Itu yang jadi kecenderungan konsumen sekarang. Di sini kami bisa menjelaskan secara langsung,” katanya, yang biasa berkomunikasi dengan pembelinya lewat medium internet.
Geliat kopi di perkotaan rupanya juga memberikan dampak bagi petani kopi. Para petani di pegunungan makin giat menanam kopi. Mereka menambah luasan lahan kebun kopi demi memenuhi permintaan.
”Dampak demam kopi ini sangat baik bagi konservasi alam. Petani menambah pohon kopi sehingga kawasan hutan sebagai daerah serapan air makin luas,” kata Deni Glent (39), Ketua Koperasi Klasik Beans.
Koperasi itu memayungi 1.003 petani di empat kabupaten di Jawa Barat. Mereka menghasilkan sekitar 1.000 ton kopi per tahun, sebagian besar diekspor dan sisanya untuk memenuhi pasar kopi di perkotaan termasuk Jakarta.
Kalau sudah begitu, demam kopi ini tak cuma perayaan belaka. Ada aspek konservasi alam di dalamnya. Jadi, sudah menyeduh kopi apa hari ini? (HEI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Oktober 2016, di halaman 24 dengan judul "Merayakan Kebaikan Kopi".
Categories: ,

0 comments:

Post a Comment