Thursday, 20 October 2016

Ibnu Thufail: Mencapai Kebenaran Hakiki dengan Akal

Abu Bakar Muhammad Ibn Abd Al-Malik Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Thufail Al-Qaisyi, yang lebih akrab dengan nama Ibnu Thufail (Abubacer) Lahir di Granada pada 1105 M. dan wafat di Marokko pada tahun 1185 M. Sebagai filosof yang hidup sezaman dengan Ibn Ruysd ini terkenal melalui karya berupa roman Risalah Hayy ibn Yaqzan, yang berisi tentang risalah seorang manusia ‘pencari’ yang sampai pada kebenaran hakiki tanpa petunjuk wahyu, tetapi kemudian dipadukan dengan penjelasan agama (wahyu) yang menurut Ibnu Thufail ternyata tidak bertentangan sama sekali. Selain roman itu, karya Ibnu Thufail yang tersisa yaitu Muraja’at wa Mabahis dan Al-Arjuzah fi al-Tib.

Dalam roman itu Ibn Thufail melalui tokoh Hay ibn Yaqzan memberikan penjelasan bagaimana urutan pengetahuan-pengetahuan ditempuh oleh akal, yang dimulai dari obyek indrawi yang khusus menuju pemikiran universal, hingga kesimpulannya bahwa manusia mampu mengetahui wujud Tuhan lewat akal tanpa perantara dan petunjuk, yaitu pengetahuan melalui perantara tanda-tanda-Nya pada makhluk-Nya. Selain itu, menurut Ibnu Thufail manusia dengan akalnya mampu mengetahui dasar-dasar akhlak yang bersifat amaliyah dan sosial.

Sekalipun demikian, akal tegas Ibnu Thufail memiliki kelemahan yaitu: akal tidak mampu mengungkapkan dalil-dalil yang berhubungan dengan ke-Azali-an mutlak, qadim, huduts, ke-akhir-an zaman dan yang berhubungan dengan hal itu, sekalipun demikian akal mampu melahirkan keyakinan akan adanya Tuhan yang maha Esa sebagaimana yang dijelaskan wahyu. Sehingga akal dengan demikian dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mencapai pengetahuan akan kebenaran sebagaiamana wahyu. Dengan demikian bagi seorang filosof tidak harus menggunakan wahyu untuk mencapai hikmah-hikmah falsafati, bagi filosof wahyu bisa dijadikan obyek penelitian atau kajian sebagaiman tergambar dalam perjalanan Hay Ibnu Yaqzan.

Perkembangan akal menuju kebenaran meliputi: pertama, memperhatikan perkembangan alam ini, bahwa tiap-tiap kejadian mesti ada yang menyebabkannya. Kedua, memikirkan  peredaran benda-benda besar  di langit seperti bulan, bintang dan matahari. Ketiga, memikirkan bahwa puncak kebahagiaan seseorang itu ialah mempersaksikan adanya wajibul wujud yang Maha Esa. Keempat, memikirkan bahwa manusia ini adalah sebagian saja dari makhluk hewani, tetapi dijadikan Tuhan untuk kepentingan-kepentingan yang lebih tinggi dan utama daripada hewan. Kelima, memikirkan bahwa kebahagiaan manusia dan keselamatannya dari kebinasaan hanyalah terdapat pada pengekalan penyaksiannya terhadap Tuhan. keenam, mengakui bahwa manusia dan alam makhluk ini fana dan semua kembali kepada Tuhan. 

Adapaun penggunaan akal dalam roman tersebut terbagi menjadi tiga yaitu: Pertama, mereka yang hidupnya ditujukan untuk selalu mencari kebenaran-kebenaran yang sesungguhnya dan mampu mencapainya (Hayy Ibnu Yaqzan). Kedua, mereka yang dengan cara menginterpretasikan wahyu mampu memahami makna kebenaran yang terkandung di dalamnya (Absal). Ketiga, mereka yang hanya mampu berpegang kepada makna literal dari wahyu (Salman).

Categories:

0 comments:

Post a Comment