Oleh: MOH IIR ILSATOHAM SISWA MADRASAH ALIYAH RAUDLATUL ULUM GUYANGAN TRANGKIL, PATI, JAWA TENGAH
Persepsi masyarakat terhadap politik terlanjur negatif. Kotor, licik, dan menghalalkan segala cara, seolah telah menjadi label yang melekat dalam istilah ini. Masyarakat pun apatis dan abai terhadap praktik politik.
”Tidak akan ada asap kalau tidak ada api”. Seperti peribahasa itu, persepsi negatif masyarakat terhadap politik tumbuh bukan tanpa sebab. Lalu, apa sebabnya?
Praktik politik di Indonesia dewasa ini telah dinodai oleh oknum politisi yang menggunakan politik hanya sebagai tangga untuk mencapai kekuasaan, status sosial, juga materi. Gaya berpolitik seperti inilah yang membuat masyarakat semakin enggan dan menjauh.
Kita harus mengubah paradigma bahwa politik hanya sarana untuk meraih kekuasaan. Perlu ditekankan, sebagaimana banyak pakar politik menjelaskan bahwa politik sejatinya berorientasi untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mendukung orientasi itu, kita bisa menggali nilai-nilai dari berbagai sumber. Salah satunya agama Islam.
Dalam sejarah Islam, ketika menjejakkan kaki di kota Madinah, Arab Saudi, 14 abad lalu, Nabi Muhammad SAW menghadapi masyarakat yang beragam. Tak mendiskriminasi atau mengenyahkan kelompok berbeda, Nabi dengan bijak menciptakan terobosan politik dalam bentuk piagam Madinah. Piagam ini menerima semua kelompok yang berbeda dalam agama, suku, dan golongan untuk hidup bersama secara damai di kota itu.
Pendekatan bijak itu mampu membangun kehidupan bersama di tengah keberagaman, mengedepankan kepentingan rakyat, dan menumbuhkan sikap toleransi satu sama lain. Kehidupan berpolitik semacam itulah yang kita dambakan juga dikembangkan di Indonesia.
Negeri kita, dengan segala bentuk kemajemukannya, seharusnya juga mampu menerapkan gaya berpolitik yang merangkul semua kelompok sebagaimana teladan Rasulullah SAW. Politik semestinya mengedepankan keberpihakan kepada kepentingan seluruh masyarakat dan memberikan kemaslahatan bagi seluruh alam, bukan tersandera oleh kekuasaan sempit. Istilahrahmatan lil alamin (memberi rahmat kepada semesta) patut disandingkan dengan politik sebagai satu frase.
”Rahmatan lil alamin”
Politik rahmatan lil alamin hendaknya menjadi prinsip yang dipegang para politisi dan partai politik tanpa terkecuali. Terdapat tiga aspek yang melandasi prinsip ini, yaitu akhlak yang baik, pengembangan pengetahuan, dan mengedepankan kepentingan rakyat.
Saat menjadi Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid berusaha meletakkan nilai-nilai politik yangrahmatan lil alamin dalam kebijakan-kebijakannya. Gus Dur—begitu sapaan akrabnya—membentuk iklim politik yang demokratis dengan menghapus berbagai peraturan yang merugikan kaum minoritas. Dia juga membubarkan instansi negara yang tidak lagi efektif, hingga menjalin hubungan diplomatik ke berbagai negara, bahkan Israel.
Praktik politik Gus Dur berangkat dari kaidah fiqh yang menekankan pentingnya seorang pemimpin untuk memperjuangkan kemaslahatan rakyat. Politik yang membawa rahmat bagi semua perlu terus diwujudkan di negeri ini. Namun, gagasan itu memerlukan pemimpin yang berkomitmen menjalankannya.
Politik rahmatan lil alamin jangan berhenti sebuah frase belaka. Jangan juga biarkan istilah itu dimainkan sebagai kedok untuk menutupi kepentingan individu atau pun kelompok. Prinsip itu harus benar-benar diterapkan dalam realitas kehidupan berpolitik. Masyarakat juga bisa mengawal agar kebijakan itu tidak diselewengkan.
Dengan praktik itu, seiring berjalannya waktu, persepsi negatif masyarakat akan berangsur berubah. Pada waktunya, tingkat kepercayaan masyarakat kepada politik akan meningkat.
Mari kita dorong agar politik rahmatan lil alamin benar-benar dipraktikkan secara nyata dengan mengacu pada akhlak, pengetahuan, dan mengedepankan kepentingan rakyat. Tidak sekadar sebagai konsep indah, istilah ini seharusnya benar-benar diejawantahkan dalam realitas kehidupan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Oktober 2016, di halaman 26 dengan judul "Politik untuk Kemaslahatan".
0 comments:
Post a Comment