Friday, 28 October 2016

Membagi Sukses Gerakan Saemaul

LAPORAN DARI KOREA SELATAN (1)


Bagi rakyat Korea Selatan, gerakan Saemaul Undong sangat tak asing. Dirintis pertama kali pada 1970 oleh mendiang Presiden Park Chung-hee, keberadaan gerakan ini hingga sekarang tetap berlanjut dengan anggota aktif sekitar dua juta orang. Gerakan yang secara harfiah diterjemahkan sebagai 'desa baru' itu kemudian ditularkan ke banyak negara dengan semangat untuk memberantas kemiskinan dan memajukan masyarakat lewat pembangunan desa.
Indonesia menjadi salah satu negara anggota gerakan itu bersama negara lain di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Ada Filipina, Myanmar, Vietnam, Timor-Leste, Uganda, Burundi, Etiopia, Tanzania, Madagaskar, Kolombia, dan Venezuela.
Pada 18-20 Oktober lalu, para perwakilan setiap negara berkumpul di Pyeongchang, sekitar 3 jam perjalanan mobil sebelah timur Seoul, mengikuti konvensi global yang digelar sekali setahun. Saling berbagi dan menimba pengalaman empiris merupakan bagian dari pertemuan di kota yang akan menjadi tuan rumah Olimpiade musim dingin tahun 2018.
Korsel menjadi contoh nyata bahwa tak ada yang tak mungkin dari sebuah masyarakat untuk maju dan menjadi negara besar tanpa harus mengandalkan sumber daya alam. Ketika Saemaul Undong dimulai, kondisi ekonomi negara ini kira-kira setara dengan Indonesia. Pendapatan per kapita hanya 90 dollar AS. Sekitar 70 persen rakyat desa yang hidup bertani tidak mampu untuk menghidupi diri sendiri, apalagi keluarga. Untuk makan sekali sehari saja sangat sulit. Anak-anak tak sekolah karena harus membantu orangtua.
Korsel saat itu nyaris tak punya harapan. Para petani lelah dengan kondisi kemiskinannya, sementara pemerintah tak berdaya membantu rakyat desa. Urbanisasi tak terhindarkan. Banyak rakyat desa memilih pindah demi mencari peluang yang lebih baik di kota-kota sekitar. Satu-satunya kemungkinan untuk berubah adalah melakukan terobosan dengan meminta partisipasi seluruh rakyat.
Presiden Park mencanangkan gerakan baru, Saemaul Undong, bagi rakyat desa guna membangkitkan energi rakyat yang terpuruk dan mendorong kemajuan desa mereka. Secara konkret, gerakan itu dimulai dengan pembagian 335 kantong semen. Desa penerima memutuskan sendiri apa yang ingin mereka buat dengan semen-semen itu. Sebagian besar desa memanfaatkan bantuan itu untuk memperbaiki infrastruktur desa yang ketika itu keadaannya sangat parah.
Banyak rakyat skeptis dan menganggap gerakan itu hanya untuk mengalihkan isu kelaparan. Namun, 10 tahun kemudian, hasil gerakan itu mulai dirasakan. Penghasilan bertambah, rumah tangga di desa mulai mampu menggunakan mesin pertanian. Televisi dan mobil mulai masuk ke desa-desa.
Mulai 1980-an, Korsel bukan lagi negara miskin. Negara ini bahkan menjadi salah satu dari empat naga Asia. Pada 1980-an itulah Saemaul fokus mengampanyekan "keramahan, kebersihan, dan ketertiban". Hasilnya memang sangat terasa, ketiga sikap itu menjadi bagian dalam diri setiap orang.
Tentu ini bukan semata gerakan Saemaul yang berhasil memajukan. Namun, pemerintah dan warga masih yakin, gerakan itu merupakan salah satu yang penting dari semua upaya yang dilakukan untuk memajukan perekonomian bangsa.
Maka dari itu, tak heran jika Pemerintah Korsel sampai sekarang pun masih memberikan perhatian. Terbukti Presiden Korsel setiap tahun selalu menjadwalkan hadir membuka konvensi nasional dan internasional Saemaul. (RETNO BINTARTI)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Oktober 2016, di halaman 10 dengan judul "Membagi Sukses Gerakan Saemaul".


Categories: ,

0 comments:

Post a Comment