LAPORAN DARI KOREA SELATAN (1)
Bagi rakyat Korea Selatan, gerakan Saemaul Undong sangat tak
asing. Dirintis pertama kali pada 1970 oleh mendiang Presiden Park Chung-hee,
keberadaan gerakan ini hingga sekarang tetap berlanjut dengan anggota aktif sekitar
dua juta orang. Gerakan yang secara harfiah diterjemahkan sebagai 'desa baru'
itu kemudian ditularkan ke banyak negara dengan semangat untuk memberantas
kemiskinan dan memajukan masyarakat lewat pembangunan desa.
Indonesia menjadi salah satu negara
anggota gerakan itu bersama negara lain di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
Ada Filipina, Myanmar, Vietnam, Timor-Leste, Uganda, Burundi, Etiopia,
Tanzania, Madagaskar, Kolombia, dan Venezuela.
Pada 18-20 Oktober lalu, para
perwakilan setiap negara berkumpul di Pyeongchang, sekitar 3 jam perjalanan
mobil sebelah timur Seoul, mengikuti konvensi global yang digelar sekali
setahun. Saling berbagi dan menimba pengalaman empiris merupakan bagian dari
pertemuan di kota yang akan menjadi tuan rumah Olimpiade musim dingin tahun
2018.
Korsel menjadi contoh nyata bahwa
tak ada yang tak mungkin dari sebuah masyarakat untuk maju dan menjadi negara
besar tanpa harus mengandalkan sumber daya alam. Ketika Saemaul Undong dimulai,
kondisi ekonomi negara ini kira-kira setara dengan Indonesia. Pendapatan per
kapita hanya 90 dollar AS. Sekitar 70 persen rakyat desa yang hidup bertani
tidak mampu untuk menghidupi diri sendiri, apalagi keluarga. Untuk makan sekali
sehari saja sangat sulit. Anak-anak tak sekolah karena harus membantu orangtua.
Korsel saat itu nyaris tak punya
harapan. Para petani lelah dengan kondisi kemiskinannya, sementara pemerintah
tak berdaya membantu rakyat desa. Urbanisasi tak terhindarkan. Banyak rakyat
desa memilih pindah demi mencari peluang yang lebih baik di kota-kota sekitar.
Satu-satunya kemungkinan untuk berubah adalah melakukan terobosan dengan
meminta partisipasi seluruh rakyat.
Presiden Park mencanangkan gerakan
baru, Saemaul Undong, bagi rakyat desa guna membangkitkan energi rakyat yang
terpuruk dan mendorong kemajuan desa mereka. Secara konkret, gerakan itu
dimulai dengan pembagian 335 kantong semen. Desa penerima memutuskan sendiri
apa yang ingin mereka buat dengan semen-semen itu. Sebagian besar desa
memanfaatkan bantuan itu untuk memperbaiki infrastruktur desa yang ketika itu
keadaannya sangat parah.
Banyak rakyat skeptis dan
menganggap gerakan itu hanya untuk mengalihkan isu kelaparan. Namun, 10 tahun
kemudian, hasil gerakan itu mulai dirasakan. Penghasilan bertambah, rumah
tangga di desa mulai mampu menggunakan mesin pertanian. Televisi dan mobil
mulai masuk ke desa-desa.
Mulai 1980-an, Korsel bukan lagi
negara miskin. Negara ini bahkan menjadi salah satu dari empat naga Asia. Pada
1980-an itulah Saemaul fokus mengampanyekan "keramahan, kebersihan, dan
ketertiban". Hasilnya memang sangat terasa, ketiga sikap itu menjadi
bagian dalam diri setiap orang.
Tentu ini bukan semata gerakan
Saemaul yang berhasil memajukan. Namun, pemerintah dan warga masih yakin,
gerakan itu merupakan salah satu yang penting dari semua upaya yang dilakukan
untuk memajukan perekonomian bangsa.
Maka dari itu, tak heran jika
Pemerintah Korsel sampai sekarang pun masih memberikan perhatian. Terbukti
Presiden Korsel setiap tahun selalu menjadwalkan hadir membuka konvensi
nasional dan internasional Saemaul. (RETNO
BINTARTI)
Versi cetak artikel ini terbit
di harian Kompas edisi 27 Oktober 2016, di halaman 10 dengan judul
"Membagi Sukses Gerakan Saemaul".
0 comments:
Post a Comment