LAPORAN DARI KOREA SELATAN (2)
Korea
Selatan dengan pendapatan per kapita 36.700 dollar AS adalah salah satu negara
maju di dunia. Padahal, sekian dekade lalu negara ini sangat miskin dan tidak
pernah diperhitungkan dunia. Jejak-jejak kemiskinan dan kesulitan masa lalu
terus digaungkan. "Anda pernah melihat Korea pada 1950-an, 1960-an, dalam
gambar-gambar atau dengan melihat sendiri? Dan, Korea pada tahun 1980-an atau
sesudahnya?" tanya salah seorang pejabat saat berlangsung konvensi global
Saemaul Undong, pekan lalu.
Di Museum Seoul, masa lalu yang
pahit digambarkan dengan cukup detail sehingga dengan mudah pengunjung bisa
membayangkan masa lalu Korsel dan membandingkannya kontras yang terjadi
sekarang. Dinarasikan, Presiden Park Chung-hee saat membangun negaranya sampai
harus memohon-mohon bantuan dari negara maju dan hanya Jerman waktu itu yang
bersedia memberikan komitmen.
Sebagai imbalannya, Korsel
mengirim ribuan tenaga kerja ke Jerman untuk bekerja di tambang sampai sektor
kesehatan sebagai perawat. Dengan bekerja di luar, mereka bisa mengirim
penghasilan kepada keluarga meski ribuan orang juga tak kembali karena tewas
saat bekerja di tambang yang berbahaya.
Menggerakkan rakyat untuk
bersama-sama memanggul beban menjadi salah satu kekuatan yang dimiliki Korsel.
Gerakan Saemaul Undong atau desa baru yang dirintis sejak 1970 ikut berperan
menggalang kebersamaan, terutama saat masa sulit. Pada waktu Asia dilanda
krisis keuangan tahun 1997, misalnya, muncul kampanye untuk merevitalisasi
ekonomi dan mengatasi krisis. Rakyat, antara lain, mengorbankan emas milik
mereka dan diberikan kepada pemerintah.
Korsel pernah benar-benar mirip
Indonesia, negara agraris dengan mayoritas penduduk bergantung hidup pada hasil
pertanian. Indonesia dengan kesuburan alam dan musimnya seharusnya jauh lebih
beruntung. Tanaman padi Korsel hanya panen setahun sekali. "Yang bisa kami
lakukan adalah melipatgandakan hasil," kata pejabat kementerian dalam
negeri yang menemani kami.
Saat Indonesia masih bergelut
dengan kemiskinan, Korsel kini sudah bisa membanggakan diri sebagai negara
industri maju yang diperhitungkan dunia. Negara yang tidak dilimpahi sumber
daya alam itu kini menjadi negara pengekspor barang-barang elektronik,
otomotif, hingga komputer dan telepon pintar yang terkenal itu.
Di sektor wisata, Korea termasuk
salah satu destinasi populer. Kunjungan wisatawan terus meningkat dan
belakangan rata-rata peningkatannya hingga 15 persen per tahun. Tahun 2015,
lebih dari 13 juta turis melancong ke Korsel. Padahal, "Negara
Ginseng" pada 1978 hanya didatangi sejuta orang. Angka kunjungan lima juta
ditembus tahun 2000 dan angka tujuh juta diperoleh pada 2010. Olimpiade dan
Piala Dunia pernah digelar di negara ini dan tahun 2018 Korsel akan menjadi
tuan rumah Olimpiade musim dingin.
Dari negara miskin tahun 1970-an,
20 tahun kemudian rakyat sudah menaruh perhatian pada kualitas hidup yang lebih
baik. Korsel memasuki tahapan yang lebih tinggi dari sebuah negara industri.
Gerakan Saemaul yang berbasis budaya tradisional mau tidak mau harus
bertransformasi. Namun, gerakan ini terus dihidupkan, dari yang semula hanya
sekadar mengangkat warga dari kemiskinan menjadi gerakan untuk harmoni dan
persatuan masyarakat.
Dari gerakan desa, Saemaul
melebarkan aktivitasnya ke luar negeri dengan menyebarkan keberhasilan
menjadikan Korea yang pintar, hijau, bahagia, dan mendunia.
(RETNO BINTARTI)
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Oktober 2016, di halaman 10
dengan judul "Dari Gerakan Desa ke Tingkat Global".
0 comments:
Post a Comment