Friday, 28 October 2016

Dari Gerakan Desa ke Tingkat Global

LAPORAN DARI KOREA SELATAN (2)

Korea Selatan dengan pendapatan per kapita 36.700 dollar AS adalah salah satu negara maju di dunia. Padahal, sekian dekade lalu negara ini sangat miskin dan tidak pernah diperhitungkan dunia. Jejak-jejak kemiskinan dan kesulitan masa lalu terus digaungkan. "Anda pernah melihat Korea pada 1950-an, 1960-an, dalam gambar-gambar atau dengan melihat sendiri? Dan, Korea pada tahun 1980-an atau sesudahnya?" tanya salah seorang pejabat saat berlangsung konvensi global Saemaul Undong, pekan lalu.
Di Museum Seoul, masa lalu yang pahit digambarkan dengan cukup detail sehingga dengan mudah pengunjung bisa membayangkan masa lalu Korsel dan membandingkannya kontras yang terjadi sekarang. Dinarasikan, Presiden Park Chung-hee saat membangun negaranya sampai harus memohon-mohon bantuan dari negara maju dan hanya Jerman waktu itu yang bersedia memberikan komitmen.
Sebagai imbalannya, Korsel mengirim ribuan tenaga kerja ke Jerman untuk bekerja di tambang sampai sektor kesehatan sebagai perawat. Dengan bekerja di luar, mereka bisa mengirim penghasilan kepada keluarga meski ribuan orang juga tak kembali karena tewas saat bekerja di tambang yang berbahaya.
Menggerakkan rakyat untuk bersama-sama memanggul beban menjadi salah satu kekuatan yang dimiliki Korsel. Gerakan Saemaul Undong atau desa baru yang dirintis sejak 1970 ikut berperan menggalang kebersamaan, terutama saat masa sulit. Pada waktu Asia dilanda krisis keuangan tahun 1997, misalnya, muncul kampanye untuk merevitalisasi ekonomi dan mengatasi krisis. Rakyat, antara lain, mengorbankan emas milik mereka dan diberikan kepada pemerintah.
Korsel pernah benar-benar mirip Indonesia, negara agraris dengan mayoritas penduduk bergantung hidup pada hasil pertanian. Indonesia dengan kesuburan alam dan musimnya seharusnya jauh lebih beruntung. Tanaman padi Korsel hanya panen setahun sekali. "Yang bisa kami lakukan adalah melipatgandakan hasil," kata pejabat kementerian dalam negeri yang menemani kami.
Saat Indonesia masih bergelut dengan kemiskinan, Korsel kini sudah bisa membanggakan diri sebagai negara industri maju yang diperhitungkan dunia. Negara yang tidak dilimpahi sumber daya alam itu kini menjadi negara pengekspor barang-barang elektronik, otomotif, hingga komputer dan telepon pintar yang terkenal itu.
Di sektor wisata, Korea termasuk salah satu destinasi populer. Kunjungan wisatawan terus meningkat dan belakangan rata-rata peningkatannya hingga 15 persen per tahun. Tahun 2015, lebih dari 13 juta turis melancong ke Korsel. Padahal, "Negara Ginseng" pada 1978 hanya didatangi sejuta orang. Angka kunjungan lima juta ditembus tahun 2000 dan angka tujuh juta diperoleh pada 2010. Olimpiade dan Piala Dunia pernah digelar di negara ini dan tahun 2018 Korsel akan menjadi tuan rumah Olimpiade musim dingin.
Dari negara miskin tahun 1970-an, 20 tahun kemudian rakyat sudah menaruh perhatian pada kualitas hidup yang lebih baik. Korsel memasuki tahapan yang lebih tinggi dari sebuah negara industri. Gerakan Saemaul yang berbasis budaya tradisional mau tidak mau harus bertransformasi. Namun, gerakan ini terus dihidupkan, dari yang semula hanya sekadar mengangkat warga dari kemiskinan menjadi gerakan untuk harmoni dan persatuan masyarakat.
Dari gerakan desa, Saemaul melebarkan aktivitasnya ke luar negeri dengan menyebarkan keberhasilan menjadikan Korea yang pintar, hijau, bahagia, dan mendunia.
(RETNO BINTARTI)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Oktober 2016, di halaman 10 dengan judul "Dari Gerakan Desa ke Tingkat Global".


Categories: ,

0 comments:

Post a Comment