Tuesday, 18 October 2016

Kiai Mojo dan Imam Bonjol

Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid pada Januari 2000 meminta putrinya, Zannuba Ariffah Chafsoh alias Yenny Wahid, berziarah ke makam Kiai Mojo, yang terletak di atas bukit di Desa Wulawan, Tondano Utara, Minahasa, sekitar 40 kilometer tenggara Manado, Sulawesi Utara. "Dulu aku ke makam Kiai Mojo disuruh Bapak. Malam-malam. Jauh sekali," kata Yenny, di Jakarta, Minggu (16/10).

Menurut Yenny, ziarah ke makam Kiai Mojo ini untuk menjaga kesatuan dan persatuan Nusantara. "Ketika itu, Bapak hanya mengatakan ziarah untuk menjaga Nusantara," ujar putri kedua pasangan KH Abdurrahman Wahid dan Ny Sinta Nuriah.

Kiai Mojo (1764-1849) adalah penasihat bidang keagamaan Pangeran Diponegoro saat Perang Jawa (1825-1830). Setelah ditangkap Belanda pada 17 November 1828, Kiai Mojo dibuang di Tondano mulai akhir 1829 bersama 63 orang laki-laki pengikutnya. Banyak para pengikutnya yang kemudian kawin dengan perempuan setempat dan membentuk masyarakat Jawa Tondano (Jaton).

Menurut Arbo Baderan (59), keturunan ke-5 dari salah satu pengikut Kiai Mojo yang dibuang di Tondano, jumlah orang Jawa Tondano di Kampung Jaton sekitar 1.000 keluarga atau 5.000 orang.

Arbo, yang 22 tahun jadi juru kunci makam Kiai Mojo, mengaku belum pernah melihat peristiwa mistis di sekitar makam. "Tapi, tetangga kami yang bukan orang Jaton sering lihat pasukan bersorban dan berjubah putih turun dari bukit ke Desa Jaton saat-saat tertentu," ujar Arbo kepada Pendeta Feibe Lumanauw (dari Gereja Masehi Injili di Minahasa) dan Jeffry Lungkang (pensiunan Direktur Bank Sulut) yang mengunjungi makam Kiai Mojo, Kamis (13/10) lalu.

Ketika Gus Dur jadi Presiden, Ibu Negara Sinta Nuriyah juga berziarah ke makam Imam Bonjol di Desa Lota, Pineleng, Minahasa, sekitar 20 kilometer selatan Manado. Kini makam Imam Bonjol (1772-1864) dijaga salah satu keturunan ke-4 dari seorang pengikut Imam Bonjol, Ny Ainun Parengkuan Minggu (85).

Imam Bonjol terkenal sebagai pemimpin Perang Paderi melawan Belanda di Sumatera Barat (1803-1838). Imam Bonjol ditangkap Belanda pada Oktober 1864 dan tempat pembuangan terakhirnya di Desa Lota, Minahasa, hingga wafat pada 6 November 1864. "Wakil Presiden Try Sutrisno pernah ke makam ini," ujar Ny Ainun yang banyak bercerita tentang peristiwa mistis ke pengunjung makam pada Kamis itu.

Penumpasan Perang Paderi di Sumatera Barat dan Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang melibatkan Kiai Mojo oleh Belanda dirancang pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal GP Baron van der Capellen (1816-1826) di Istana Rijswijk, yang kini dikenal dengan Istana Negara, Jakarta.

Menurut tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) Khatibul Umam Wiranu, silaturahim atau ziarah ke makam orang yang telah meninggal adalah salah satu bagian dari kesadaran dan pemahaman tinggi atas kosmos. (J OSDAR)

_____________
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Oktober 2016, di halaman 2 dengan judul "Kiai Mojo dan Imam Bonjol".
Categories: , ,

0 comments:

Post a Comment