Oleh: Adi Purnomo
Konsumsi kini tidak sekadar menyangkut persoalan pemenuhan hajat biologis dan fisiologis. Pola konsumsi masyarakat saat ini mengimajinasikan ikhtiar untuk menunjukkan kelas sosial yang absurd, identitas semu.
Masyarakat dalam konteks sosial-ekonomi dipisahkan dalam tiga kelas: kelas atas, menengah, dan bawah. Bank Dunia memberi ukuran masyarakat kelas ekonomi menengah adalah mereka yang berpengeluaran 2-20 dollar AS per hari.
Konsumen saat ini mengonsumsi pakaian tidak hanya untuk melindungi tubuh ataupun menutup bagian intim mereka. Busana memberikan ruang tafsir yang lebih. Maka, pakaian pun kini memberi semacam identifikasi tentang apa siapa diri pemakainya. Jenis, gaya, bentuk, dan kualitas pakaian memiliki nilai "lebih" yang menentukan kelas sekaligus status sosial seseorang.
Pakaian hadir sebagai deskripsi atas diri seseorang. Laurie (1992) menyatakan bahwa pakaian merupakan ekspresi dari identitas seseorang karena saat kita memilih pakaian, berarti kita mendefinisikan dan mendeskripsikan diri sendiri. Pakaian menghadirkan pesan yang siap untuk dimaknai siapa pun.
Pertanda yang hadir dalam pakaian tersebut memaksa para pemakai untuk tidak sekadar memakai, tetapi didasarkan atas pelbagai pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan selalu merujuk pada kemampuan daya beli (kondisi ekonomi), kesesuaian dengan ideologi yang dianut, hingga struktur budaya tempat seseorang tinggal, tumbuh, dan berkembang.
Dalam konteks historis dan kultural, jenis, bentuk, hingga gaya busana sebenarnya juga menjadi cermin suatu identitas. Sejak zaman kerajaan, hingga kolonial, corak budaya, agama, kepercayaan, dan kelas sosial, hingga tingkat pendidikan seseorang terlacak melalui pakaian.
Pemisahan kelas secara ekonomi begitu kentara dengan pemilihan ragam merek pakaian. Dengan perbedaan kualitas dan harga, maka seseorang yang mampu membeli pakaian dengan kualitas bagus hanya mereka yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas. Dengan memakai pakaian tersebut, maka akan muncul tafsir bahwa dia adalah "orang kaya". Imaji ini menjadi spirit bagi seseorang untuk berpacu dalam mode. Narasi yang sama juga bisa diidentifikasi dalam kecenderungan belanja aksesori pelengkap busana, seperti tas dan sepatu.
Namun, kecenderungan ini berubah, sejalan dengan hadirnya sebuah kelas baru yang disebut oleh Homi Haras, ekonom dari Brookings Institution, sebagai "kelas konsumen baru". Kehadiran kelas baru dalam transaksi ekonomi ini menyamarkan identifikasi kelas ekonomi melalui pola konsumsinya. Kelas konsumen baru tidak hanya merujuk pada kelas ekonomi yang beranjak dari kelas ekonomi bawah ke tingkat yang lebih tinggi, berdasarkan banyak pengeluaran, tetapi juga menyangkut meningkatnya kuantitas dan kualitas beli. Kelas konsumen baru sekaligus menyangkut "kebaruan" dalam hasrat, niat, dan imajinasi konsumsi.
Bagi kelas konsumen baru ini logika konsumsinya seperti diutarakan Rocky Gerung (2012) adalah _consumo ergo sum,_ "dengan belanja aku ada". Mereka belanja untuk mengidentifikasi diri mereka. Kuantitas dan kualitas belanja menentukan mereka berada di kelas mana. Kelas konsumen baru ini tidak memandang mereka yang belanja dari kelas ekonomi apa pun.
Kelas konsumen baru memiliki kecenderungan untuk belanja barang kelas elite. Kecenderungan kini juga menghadirkan keinginan untuk bersosialisasi dan bergaul dengan kaum elite pula. Sehingga hasrat konsumsi dari kelas ini juga dipengaruhi oleh keinginan untuk setara dengan mereka. Mereka belanja barang adalah untuk meningkatkan status sosial mereka, atau agar mereka bisa diterima di kelas-kelas sosial yang lebih tinggi. Kelas konsumen adalah seorang _social climber_ yang berusaha untuk diakui dalam kelas elite dengan melakukan pelbagai cara.
Tidak heran jika saat ini orang membeli celana merek GAP, membeli gawai seri terbaru, serta tas merek Hermes, meski mereka dari kelas menengah-bawah. Tas merek Hermes yang berharga hingga ratusan juta rupiah digilai banyak orang karena kesaktiannya mengubah status sosial. Hasrat untuk memperoleh pengakuan sebagai kaum elite, gaul, dan modern, tidak memedulikan bagaimana cara seseorang memperoleh uang ataupun barang tersebut. Dan, terangkatlah gengsi atau status sosial seseorang karenanya.
ADI PURNOMO, PENELITI DI PARADIGMA INSTITUTE KUDUS
_________
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Oktober 2016, di halaman 13 dengan judul "Identitas dalam Konsumsi".
0 comments:
Post a Comment