Sunday, 2 October 2016

Dualisme HMI: Sedikit Catatan Bagi HMI Dipo

Oleh: M. Murtadho
(Mantan ketua umum HMI MPO Cabang Yogyakarta)


Setelah reformasi 1998 di mana salah satu hasil dari tuntutan reformasi adalah dihapuskannya UU tentang asas tunggal, HMI Dipo dalam konggresnya yang ke-20 menyatakan kembali ke asas Islam. Sebelumnya HMI ini, barangkali karena alasan pengamanan organisasi mahasiswa terbesar ini, telah menerima asas tunggal Pancasila sebagai dasar organisasi. Pilihan menerima asas Pancasila ini sekalipun secara politis tidak populer, dan hal ini yang ditentang oleh kalangan HMI yang kemudian menamakan diri HMI MPO, secara subtantif sebenarnya asas tersebut tidak bertentangan dengan asas Islam. Hanya persoalan redaksional. Dari butir-butir sila yang ada dalam Pancasila, apakah ada sila yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Memang dari sikap pragmatis tersebut ada beberapa hal yang dikhawatirkan terjadi dalam proses perkaderan di HMI. Misalnya (1) HMI menjadi kurang kritis melihat setiap kebijakan pemerintah yang mengarah pada pembangunan kekuasaan otoritarian; (2) Sikap penerimaan kebijakan yang didiktekan dari luar (baca: pemerintah)  menjadikan HMI kurang independen dalam bersikap

Namun pilihan menerima asas tunggal itu juga bisa dijelaskan juga secara intelektual. (1) pilihan menerima asas tunggal menunjukkan bahwa HMI sejalan dengan cara pandang hidup bangsa atau falsafah negara yang telah menjadi kesepakatan bersama; (2) Dengan pilihan tersebut menunjukkan HMI bukan sebagai organisasi eksklusif diantara organisasi sosial yang lain di Indonesia; (3) Sikap rasional ini akan melahirkan kader-kader yang lebih realistik dengan kenyataan.

Sebenarnya pilihan menerima asas tunggal itu tidak bisa disalahkan secara sepihak. HMI terbelah menjadi dua itu nampaknya memang sudah menjadi kehendak sejarah yang tidak bisa diingkari atau ditolak. Memang harus demikian, toh dari logika produktivitas kader justru dengan terbelahnya HMI menjadi dua, organisasi ini semakin produktif menghasilkan kader. Berapa banyak HMI menghasilkan kader di semua tingkat level perkaderan dari tingkat komisariat, korkom, cabang  dan badko.
Ketika reformasi politik terjadi dan tuntutan penghapusan asas tunggal tercapai, akhirnya menyatakan kembali ke asas Islam. Akibatnya ada dua HMI yang sama-sama berasas Islam, yakni HMI MPO dan HMI Dipo. Menurut penulis, sebenarnya HMI Dipo tak perlu kembali ke asas Islam. Biar saja HMI Dipo berasas Pancasila sebagai suatu platformnya.


Ada beberapa konsekwensi dari kembalinya HMI Dipo kepada asas Islam, yaitu: pertama,  ada dua HMI yang sama-sama berasas Islam. Namun persamaan asas itu tidak otomatis menjamin pada penyatuan kedua kubu organisasi tersebut. Hal itu dikarenakan masing-masing merasa punya klaim sejarah dan tradisi masing-masing. Karenanya, pilihan kembali ke asas Islam  terkesan hanya merupakan usaha menebus dosa, karena telah mengambil langkah merubah asas pada masa lalu. 

Kedua, dengan kembalinya HMI ke asas Islam, menjadikan HMI kembali terpetakan masuk kepada peta politik aliran,  yang mengatasnamakan islamisme. Bukankah ketika HMI MPO mengambil asa tunggal, HMI di satu sisi tampil lebih terbuka dan menasional. Menurut penulis, sebenarnya keadaan seperti itu hendaknya dipertahankan, dan tidak perlu melangkah ke belakang. Kembalinya ke asas Islam menjadikan langkah itu tidak mengayakan khazanah demokrasi. HMI terkesan kembali sektarian  Dampak lebih lanjut   HMI mengalami krisis kader yang berjiwa terbuka, agak-agak sekuler dan pemikir liberal dan semacamnya.

Justru sekarang menurut penulis perlu dipikirkan kembali perkaderan HMI yang melahirkan kader-kader Islam yang lebih berwawasan terbuka, liberal dan barangkali juga kekiri-kirian. Toh HMI tidak hanya mencetak kader dalam satu jenis manusia, tetapi banyak jenis dengan segala potensinya. Kalau HMI Dipo yang tanpa sengaja sebenarnya sedikit banyak telah menapaki jalur tersebut, maka dengan kembalinya HMI Dipo perlu difikirkan apakah HMI masih bisa melahirkan kader-kader nasionalis tersebut. Barangkali perlu dimunculkan kader-kader HMI yang lebih berpikiran terbuka, tidak terjebak kepada politik Islamisme atau politik aliran.

Pertanyaan  kritis yang bisa diajukan dengan pilihan tersebut adalah : kenapa HMI mesti kembali ke asas Islam ?, bukankah dengan adanya dua HMI dengan asas yang berbeda justru menjadikan kompetisi di HMI lebih hidup, asal jangan saling menafikan satu dengan yang lainnya.
Categories: ,

0 comments:

Post a Comment