Saturday 1 October 2016

Mubeng Benteng: Mengkhusyu’i Tapak Hijrah Kanjeng Nabi

Oleh: Nuladha Laku Ambiya


Kawula Jawi di Yogyakarta pasti telah akrab dengan tradisi mubeng beteng, ritual rutin yang ditegakkan di setiap malam tahun baru Hijriah sekaligus tahun baru Jawa; 1 Muharam/1 Suro. Mubeng beteng adalah gerak-jalan mengelilingi benteng Kraton Yogyakarta. Dimulai dari Masjid Gedhe Kauman, melawan putaran jarum jam, ke arah Barat. Peserta ritual ini tak dibolehkan memakai alas kaki. Ia pun harus membisu. Tak boleh ada sealun suara dan sepatah kata pun. Hati harus dipenuhi dengan doa agar negeri Yogyakarta dinaungi rahmat Allah SWT dan dilimpahi berkah Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
sumber foto: http://img.antaranews.com/new/2013/11/ori/20131105tradisi-mubeng-001.jpg

Jadi, ritual ini dilakukan bukan karena perintah Kraton. Bukan pula karena pemujaan padadedemit, lelembut, atau makhluk halus sebagaimana dituduhkan oleh berbagai pihak. Kanjeng Nabi Muhammad SAW lah judul ritual mubeng beteng ini. Sejak mula-kalanya,mubeng beteng memang dihelat sebagai ritual untuk mengkhusyu’i tapak hijrah kanjeng nabi dari Makkah ke Madinah. Mubeng beteng dilakukan di atas timbangan keikhlasan untuk merasakan betapa berantakannya hati Kanjeng Nabi SAW yang saat itu dipinggirkan, dikucilkan, dan dicaci-maki kaum jahiliyah Makkah. Sehingga beliau harus rela pergi meninggalkan negeri tanah tumpah-darahnya.

Mubeng beteng itu juga berarti upaya untuk ikut menimbrungi kesakitan fisik yang diderita oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Bayangkan! Beliau harus berjalan dari Makkah ke Madinah yang berjarak lebih-kurang 600 KM, tanpa alaskaki, dan tanpa bekal yang mencukupi. Kakinya berlumur darah. Tulang-belulangnya diserang linu. Keringat mengucur. Airmata tumpah tak terbendung. Beliau tetap kuat memacu langkah. Tanpa berkata-kata dan bersuara.

Bila Kanjeng Nabi SAW dan para pengikutnya berkata-kata dan bersuara, itu akan menjadi jejak yang memudahkan kaum jahiliyah Makkah untuk mengejar mereka. Nah, atas dasar keengganan beliau untuk tak berkata dan tak bersuara saat berjalan inilah, maka tradisimubeng beteng ini dilakukan dengan tapa bisu, yaitu suatu sikap untuk tak berkata serta tak bersuara.

Doa selamat
Bagi saya, malam 1 Muharam/1 Suro adalah kesempatan termahal yang saya punya, yang akan saya sedekahkan untuk memubengi beteng. Saya ingin merasakan kepedihan, kesakitan, dan keprihatinan junjungan saya, Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Sebab pada hari-hari biasanya, saya lebih sering sibuk dengan diri saya sendiri; mencari uang, mengerjakan rutinitas harian, serta melakukan hal-hal lain yang barangkali semua aktivitas itu akan menjauhkan saya dari pengkhidmatan atas hidup panutan saya, Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Tahun lalu, bersama beberapa orang kawula Ngayogyakarta, saya memubengi betengsekira pukul 20:00. Dimulai dengan doa bersama di Masjid Gedhe Kauman. Sebelummubeng, seorang sepuh di antara kami mengumandangkan azan dan iqamat. Kelak, di setiap sudut beteng, azan dan iqamat tak lupa dikumandangkan. Tatanan ritual ini, sejak mulakala ditradisikan, memang tak meninggalkan azan dan iqamat di dalamnya. Azan dan iqamat dikumandangkan sebagai doa untuk mem-pathoki atau menyangga keutuhan negeri dari ancaman keamanan, untuk menghindarkan bala-bencana, dan untuk membangkitkan ketentraman. Kiranya kita semua sudah tahu fadhilah dari azan dan iqamat ini. Di desa saya, azan dan iqamat kerap dikumandangkan ketika angin ribut melanda atau bencana menerjang. Di televisi pernah saya saksikan warga Nanggroe Aceh Darussalam mengumandangkan azan saat Tsunami menghantam.

Tapi, dalam kesempatan mubeng beteng di tahun sebelumnya, bersama rombonganmubeng beteng dari Kraton, saya tak menemukan pengumandangan azan dan iqamat di setiap beteng. Saya tak tahu pasti sebabnya. Menurut informasi yang saya dapat, terakhir kali azan dikumandangkan di dalam ritual ini sekitar tahun 1960-an, sewaktu Mbah Kyai Alimuddin, sang penghulu Kraton yang buta masih sugeng (hidup). Saya hanya berbaik-sangka, barangkali rombongan mubeng beteng Kraton saat ini telah punya doa lain menggantikan azan dan iqamat. Saya kira itu tak masalah. Hal terpenting di sana adalah bahwa kekhidmatan dalam merasakan kepedihan dan penderitaan Kanjeng Nabi Muhammad SAW itu tak boleh hilang. Berjalan. Berjalan. Dan terus berjalan. Tanpa alaskaki. Tanpa suara. Tanpa kata.

Etika di bulan Suro
Setahu saya, tradisi memubengi beteng atau tradisi yang agak mirip dengan itu juga dilakukan oleh segala suku-bangsa di beberapa penjuru negeri nusantara. Seperti yang dituturkan oleh kawan saya yang berasal dari Riau. Katanya, di desanya, setiap malam 1 Suro, para penduduk desa berkirab bersama-sama memubengi desa. Mereka merapal sholawat nabi, tahmid dan tahlil, dan doa agar desa atau kampung mereka dihindarkan dari bala-bencana, diberikan keselamatan, dan dicurahkan berkah serta syafaat Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Saya kira, bila tradisi serupa dihimpun, akan sangat banyak dalil yang menandakan bahwa di seluruh negeri di nusantara ini, jejak-jejak kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW sangat dahsyat.

Itu semua dilakukan di bulan Suro, bulan Muharram, bulan dimana peristiwa besar, yaitu hijrahnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW terjadi. Ia menjadi bulan istimewa. Di sana, selainmubeng beteng, orang Jawa (nusantara) juga menjaga diri untuk tak melakukan kegiatan yang bersifat gebyar-gebyar. Karena itu, etika hidup dalam kebudayaan Jawa menyebutkan agar bulan Muharam (Suro) tak diisi dengan “acara besar” seperti pernikahan. Hal ini digariskan bukan karena takut kwalat, mudharat, atau kutukan. Tidak! Tapi karena semata-mata untuk menghormati kepedihan yang diderita Nabi Muhammad SAW waktu berhijrah.

Jadi, dasarnya bukan ada atau tidak ada dalilnya. Tidak di situ. Dasarnya hanya pada rasa. Di bulan Muharam, bulan saat Kanjeng Nabi Muhammad SAW sedang susah,  apa kita tega bersenang-senang? Jadi, sekali lagi, bila ditanya dalil tentang ketidakbolehan mengadakan acara besar di bulan Muharam/Suro, jelas tidak ada. Sebab dasarnya memang bukan dalil. Tapi pada rasa atau penggalihan yang ada di dalam dada.

Lalu, jika ada orang Jawa yang mengadakan hajat pernikahan di bulan Suro ini, lalu ia menegaskan bahwa ia yakin tidak terjadi apa-apa, itu wajar. Memang tidak ada apa-apakok!. Seperti tersebut di atas, etika ketidakbolehan mengadakan acara besar di bulan Suro itu bukan karena adanya kwalat, mudharat, atau kutukan. Tapi itu tadi, pertimbangannya hanya pada rasa dan penghargaan atas derita, kesakitan, kepedihan, serta keprihatinan yang dirasakan oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Apakah di saat beliau sedang susah merasakan kesakitan yang luar biasa, kita lantas tega bersenang-senang dan melupakan penderitaan junjungan kita, junjungan semesta alam? Mungkin Anda akan bilang: “itu kan dulu, sekarang kan beda, zaman sudah berubah, mas!”. Okelah. Kalau gitu, terserah Andalah! Wallahu a’lam.

*Nuladha Laku Ambiya
Santri Padepokan “Sunan Kalamba” Yogyakarta


*Tulisan ini dimuat di Buletin Jumat "Jendral Sudirman" edisi tanggal 1/11/2013 yang diterbitkan oleh Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta


0 comments:

Post a Comment