Oleh: Nuladha Laku Ambiya
Kawula Jawi di Yogyakarta pasti telah akrab dengan
tradisi mubeng beteng, ritual rutin yang ditegakkan di
setiap malam tahun baru Hijriah sekaligus tahun baru Jawa; 1 Muharam/1 Suro. Mubeng
beteng adalah gerak-jalan
mengelilingi benteng Kraton Yogyakarta. Dimulai dari Masjid Gedhe Kauman,
melawan putaran jarum jam, ke arah Barat. Peserta ritual ini tak dibolehkan
memakai alas kaki. Ia pun harus membisu. Tak boleh ada sealun suara dan sepatah
kata pun. Hati harus dipenuhi dengan doa agar negeri Yogyakarta dinaungi rahmat
Allah SWT dan dilimpahi berkah Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Jadi, ritual ini dilakukan bukan karena perintah
Kraton. Bukan pula karena pemujaan padadedemit, lelembut, atau makhluk halus sebagaimana
dituduhkan oleh berbagai pihak. Kanjeng Nabi Muhammad SAW lah judul ritual mubeng
beteng ini. Sejak
mula-kalanya,mubeng beteng memang dihelat sebagai ritual
untuk mengkhusyu’i tapak hijrah kanjeng nabi dari Makkah ke Madinah. Mubeng
beteng dilakukan di atas
timbangan keikhlasan untuk merasakan betapa berantakannya hati Kanjeng Nabi SAW
yang saat itu dipinggirkan, dikucilkan, dan dicaci-maki kaum jahiliyah Makkah.
Sehingga beliau harus rela pergi meninggalkan negeri tanah tumpah-darahnya.
Mubeng beteng itu juga berarti upaya untuk ikut menimbrungi kesakitan fisik yang diderita
oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Bayangkan! Beliau harus berjalan dari Makkah ke
Madinah yang berjarak lebih-kurang 600 KM, tanpa alaskaki, dan tanpa bekal yang
mencukupi. Kakinya berlumur darah. Tulang-belulangnya diserang linu. Keringat
mengucur. Airmata tumpah tak terbendung. Beliau tetap kuat memacu langkah.
Tanpa berkata-kata dan bersuara.
Bila Kanjeng Nabi SAW dan para pengikutnya
berkata-kata dan bersuara, itu akan menjadi jejak yang memudahkan kaum
jahiliyah Makkah untuk mengejar mereka. Nah, atas dasar keengganan beliau untuk
tak berkata dan tak bersuara saat berjalan inilah, maka tradisimubeng beteng ini dilakukan dengan tapa bisu, yaitu suatu sikap untuk tak
berkata serta tak bersuara.
Doa selamat
Bagi saya, malam 1 Muharam/1 Suro adalah kesempatan
termahal yang saya punya, yang akan saya sedekahkan untuk memubengi beteng. Saya ingin merasakan kepedihan,
kesakitan, dan keprihatinan junjungan saya, Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Sebab
pada hari-hari biasanya, saya lebih sering sibuk dengan diri saya sendiri;
mencari uang, mengerjakan rutinitas harian, serta melakukan hal-hal lain yang
barangkali semua aktivitas itu akan menjauhkan saya dari pengkhidmatan atas hidup
panutan saya, Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Tahun lalu, bersama beberapa orang kawula
Ngayogyakarta, saya memubengi betengsekira pukul 20:00. Dimulai
dengan doa bersama di Masjid Gedhe Kauman. Sebelummubeng, seorang sepuh di antara kami
mengumandangkan azan dan iqamat. Kelak, di setiap sudut beteng, azan dan iqamat
tak lupa dikumandangkan. Tatanan ritual ini, sejak mulakala ditradisikan,
memang tak meninggalkan azan dan iqamat di dalamnya. Azan dan iqamat
dikumandangkan sebagai doa untuk mem-pathoki atau menyangga keutuhan negeri
dari ancaman keamanan, untuk menghindarkan bala-bencana, dan untuk
membangkitkan ketentraman. Kiranya kita semua sudah tahu fadhilah dari azan dan
iqamat ini. Di desa saya, azan dan iqamat kerap dikumandangkan ketika angin
ribut melanda atau bencana menerjang. Di televisi pernah saya saksikan warga
Nanggroe Aceh Darussalam mengumandangkan azan saat Tsunami menghantam.
Tapi, dalam kesempatan mubeng
beteng di tahun
sebelumnya, bersama rombonganmubeng beteng dari Kraton, saya tak menemukan
pengumandangan azan dan iqamat di setiap beteng. Saya tak tahu pasti sebabnya.
Menurut informasi yang saya dapat, terakhir kali azan dikumandangkan di dalam
ritual ini sekitar tahun 1960-an, sewaktu Mbah Kyai Alimuddin, sang penghulu
Kraton yang buta masih sugeng (hidup). Saya hanya
berbaik-sangka, barangkali rombongan mubeng beteng Kraton saat ini telah punya doa
lain menggantikan azan dan iqamat. Saya kira itu tak masalah. Hal terpenting di
sana adalah bahwa kekhidmatan dalam merasakan kepedihan dan penderitaan Kanjeng
Nabi Muhammad SAW itu tak boleh hilang. Berjalan. Berjalan. Dan terus berjalan.
Tanpa alaskaki. Tanpa suara. Tanpa kata.
Etika di bulan Suro
Setahu saya, tradisi memubengi beteng atau tradisi yang agak mirip
dengan itu juga dilakukan oleh segala suku-bangsa di beberapa penjuru negeri
nusantara. Seperti yang dituturkan oleh kawan saya yang berasal dari Riau.
Katanya, di desanya, setiap malam 1 Suro, para penduduk desa berkirab
bersama-sama memubengi desa. Mereka merapal sholawat nabi,
tahmid dan tahlil, dan doa agar desa atau kampung mereka dihindarkan dari
bala-bencana, diberikan keselamatan, dan dicurahkan berkah serta syafaat
Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Saya kira, bila tradisi serupa dihimpun, akan sangat
banyak dalil yang menandakan bahwa di seluruh negeri di nusantara ini,
jejak-jejak kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW sangat dahsyat.
Itu semua dilakukan di bulan Suro, bulan Muharram,
bulan dimana peristiwa besar, yaitu hijrahnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW
terjadi. Ia menjadi bulan istimewa. Di sana, selainmubeng beteng, orang Jawa (nusantara) juga
menjaga diri untuk tak melakukan kegiatan yang bersifat gebyar-gebyar. Karena
itu, etika hidup dalam kebudayaan Jawa menyebutkan agar bulan Muharam (Suro)
tak diisi dengan “acara besar” seperti pernikahan. Hal ini digariskan bukan
karena takut kwalat, mudharat, atau kutukan. Tidak! Tapi karena semata-mata untuk
menghormati kepedihan yang diderita Nabi Muhammad SAW waktu berhijrah.
Jadi, dasarnya bukan ada atau tidak ada dalilnya.
Tidak di situ. Dasarnya hanya pada rasa. Di bulan Muharam, bulan saat Kanjeng
Nabi Muhammad SAW sedang susah, apa kita tega bersenang-senang? Jadi,
sekali lagi, bila ditanya dalil tentang ketidakbolehan mengadakan acara besar
di bulan Muharam/Suro, jelas tidak ada. Sebab dasarnya memang bukan dalil. Tapi
pada rasa atau penggalihan yang ada di dalam dada.
Lalu, jika ada orang Jawa yang mengadakan hajat
pernikahan di bulan Suro ini, lalu ia menegaskan bahwa ia yakin tidak terjadi
apa-apa, itu wajar. Memang tidak ada apa-apakok!. Seperti tersebut di atas, etika
ketidakbolehan mengadakan acara besar di bulan Suro itu bukan karena adanya kwalat, mudharat, atau kutukan. Tapi
itu tadi, pertimbangannya hanya pada rasa dan penghargaan atas derita,
kesakitan, kepedihan, serta keprihatinan yang dirasakan oleh Kanjeng Nabi
Muhammad SAW.
Apakah di saat beliau sedang susah merasakan kesakitan
yang luar biasa, kita lantas tega bersenang-senang dan melupakan penderitaan
junjungan kita, junjungan semesta alam? Mungkin Anda akan bilang: “itu kan
dulu, sekarang kan beda, zaman sudah berubah, mas!”. Okelah. Kalau gitu, terserah Andalah! Wallahu
a’lam.
*Nuladha Laku Ambiya
Santri Padepokan “Sunan Kalamba” Yogyakarta
*Tulisan ini dimuat di Buletin
Jumat "Jendral Sudirman" edisi tanggal 1/11/2013 yang diterbitkan
oleh Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta
0 comments:
Post a Comment