Saturday, 18 February 2017

Medan Syahid di Jalan Cinta

Farid al-Din Muhammad bin Ibrahim ‘Attar adalah seorang sufi besar dari Persia. Ia dikenal dan terkenal melalui karyanya berjudul “Musyawarah Burung-Burung” berisi tentang kisah perjalanan ruhani dalam mendekati Tuhan yang disampaikan melalui cerita-cerita menarik dan penuh hikmah. Selain itu, Sufi besar yang namanya lebih akrab disebut ‘Attar ini punya karya lain berjudul “Buku Tentang Tuhan” yang didalamnya juga berisi kisah penuh hikmah.


Berdakwah melalui cerita merupakan keunggulan yang dimiliki kaum sufi. Dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami perjalanan terjal menuju Tuhan dikemas dengan menarik sehingga menggairahkan dan menyadarkan pembaca bahwa Tuhan adalah segalanya. Siapapun yang menangkap pesan dari kisah yang dituturkan kemudian diamalkan niscaya secara ruhani hidupnya kan diliputi penuh kebijaksanaan dan kedamaian.

Dalam sebuah sesi kajian Tasawuf Kang Jalal (Jalaluddin Rahmat) menyampaikan salah satu kisah hikmah yang diambil dari “Buku Tentang Tuhan” karya ‘Attar. Kisah ini berisi perjalanan seorang sufi yang menempuh syahid di jalan cinta pada Allah. Tetapi karena tingkah-lakunya tak bisa dipahami, oleh kebanyakan orang pecinta itu diperlakukan dan dianggap sebagai orang gila. berikut kisahnya:

“Dahulu di Baghdad setiap musim panas, para pedagang disusahkan karena tingkah laku anak-anak muda. Umumnya anak-anak muda itu mengganggu para pedagang dengan mencuri barang dagangannya. Tapi pada suatu musim panas kejadian itu berbeda, anak-anak muda Baghdad tidak lagi mengganggu atau mencuri para pedagang karena mereka menemukan sebuah permainan yang lebih menyenangkan mereka. Saat itu ada seorang yang aneh yang muncul di tengah-tengah pasar kota. Keanehan orang itu mampu memikat anak-anak muda Baghdad untuk mengganggunya sehingga mereka tak lagi mengganggu para pedagang. Orang yang aneh itu namanya Bahlul. Dia tampak luar biasa, tingkah lakunya berbeda dengan kebanyakan orang. Pakaiannya compang-camping serupa dengan pakaian pengemis dan para gelandangan. Dari pakaian yang sobek di sana-sini badan kurusnya terlihat jelas dan terbayang oleh anak-anak muda bahwa Bahlul semacam kerangka manusia yang dibungkus dengan kain yang rusak.

Bahlul mempunyai penampilan yang sangat aneh dan sesekali menimbulkan kebencian orang-orang yang melihatnya. Kecuali pada pandangan matanya. Orang seolah melihat sebuah cahaya memancar dari matanya dan cahaya itu begitu bersinar sehingga tidak seorangpun yang sanggup memandang langsung wajah Bahlul. Bahlul sering berjalan kesana kemari, sesekali ia menganggukkan kepalanya kali yang lain ia tersenyum bahkan tertawa keras. Ia begitu terpukau pada temannya yang tak kelihatan sehingga kadang-kadang ia tidak terganggu dan tak peduli oleh apapun yang ada dan terjadi disekitarnya.

Anak-anak muda tidak mengerti, siapa sebenarnya Bahlul. Kadang-kadang mereka melemparkan batuan kapadanya dan mengolok-mengolok penampilannya. Sebagai balasan Bahlul yang biasa menundukkan kepala dan menutup mata perlahan-lahan mengangkat kepala dan membuka matanya kemudian tersenyum kepada mereka. Reaksi Bahlul sungguh tidak disangka sehinga anak – anak tidak tahu bagaimana mereka harus memberikan reaksi. belakangan mereka mendengar bahwa Bahlul itu adalah orang gila dan perkataan gila itu membantu mereka memahami siapa Bahlul sebenarnya.

Suatu kali, ada seorang pedagang dari Negeri Persia yang biasa berkelana ke beberapa Negeri, namanya Ahmad. Ia berkunjung pada kawanya di Baghdad dan kebetulan melihat anak-anak muda sedang tertawa karena baru saja mengganggu Bahlul. Kemudian ketika Ahmad bertanya “kenapa anak-anak tidak lagi mengganggu para pedagang?” pedagang yang ditemuinya berkata “Berkat Bahlul”. Begitu mendengar kata Bahlul Ahmad tercengang dan berkata “Owh,, ternyata orang itu ada di sini”. 

“Bagaimana anda tahu orang aneh seperti itu” tanya salah seorang pedagang. Ahmad lalu bercerita “Bahlul memang orang aneh, tapi dia sangat terkenal di negeri bagian Timur ketika aku bepergian ke sana” Ahmad diam sejenak memandang sahabat-sahabatnya lalu melanjutkan ceritanya “saya tahu engkau terkejut, kawan. Saya tahu kita semua mencitai Tuhan yang Maha Kuasa. Tapi dari yang saya dengar dan lihat dari kelakuan Bahlul, kecintaan Bahlul kepada Tuhan yang Maha Kuasa jauh berbeda dengan kecintaan kita. Ia berbicara dengan kekasihnya siang-malam seolah ia jatuh cinta pada perempuan yang paling jelita di alam semista dan perempuan itu sudah mencuri seluruh hati dan jiawanya. Ia membawanya kemanapun pergi, berbicara kepadanya  pada waktu bangun dan tidurnya.”

Ahmad menarik nafas kemudian melanjutkan “pada suatu hari kecintaan Bahlul pada Tuhan sudah tidak dapat dikendalikan sehingga ia tinggalkan rumah, pekerjaan dan mulai berkelana. Hanya Tuhan yang tahu apa tujuannya. Sejak saat itu ia betul-betul tenggelam dalam kecintaan pada Tuhan, sehingga ia meninggalkan semua pikiran selain tentang Tuhan, kekasihnya. Ia mengabaikan penampilan dan kesehatannya, ia seolah tak punya waktu untuk dirinya, karena itulah bajunya begitu compang camping, dan rambutnya kusut. Bahlul suatu ketika pernah kedengaran berkata ‘setiap waktu yang dihabisakan, yang tidak dihabiskan untuk memperhatikan Sang Kekasih adalah waktu yang sia-sia’.” 

Mendengar cerita itu kawan-kawannya terdiam, Ahmad pun tidak melanjutkan ceritanya. “ini betul-betul cerita yang aneh” kata salah satu diantara mereka. “memang betul” kata ahmad “Bahlul aneh, hanya sedikit orang yang bisa memahaminya, dan karena itu ia diperlakukan sebagai orang gila. Ia selalu diperlakukan sebagai orang gila hanya karena satu dosa saja yaitu ia tidak bisa dipahami oleh orang lain dan, Bahlul selalu mengalami berbagai penderitaan. Tapi Bahlul menganggap segala yang terjadi pada dirinya berasal dari Tuhan.”

Beberapa hari kemdian, ketika anak-anak yang menggaggu menyebabkan babak belur, Bahlul memutuskan untuk meninggalkan Baghdad dan berangkat menuju Basrah. Tubuhnya sakit, kakinya luka-luka parah. Tertatih ia berjalan menuju Basrah sambil tersenyum dan terus berbicara pada kekasihnya. Ia sampai di pintu Gerbang kota Basrah waktu menjelang tengah malam. Karena tidak menemukan tempat tidur dan kebetulan ia melihat seorang berselimut berbaring didinding kota Bahlul meletakkan tubunya di samping orang berselimut itu kemudian tertidur.

Pada pagi hari, ketika Bahlul mau membuka mata ia merasakan ada tombak tajam hampir menusuk bahunya dan ketika membuka mata ia melihat sudah dikelilingi sekelompok tentara. Di sampingnya, ada sebuah mayat yang sudah tertutup darah. Rupanya Bahlul semalaman tidur di samping mayat.

Bahlul dituduh sebagai pembunuh dan ringkas cerita ia dibawa ke pengadilan. Karena pembincaraannya tidak bisa dipahami maka Bahlul divonis hukuman mati. Hukumannya adalah digantung. Ketika hendak dilakukan eksekusi, tali gantungan sudah menjerat lehernya tiba-tiba seorang datang meminta agar Bahlul dibebasakan. Orang itu mengaku sebagai pembunuh mayat yang tidur bersama Bahlul. Kemudian kedua-nya dibawa ke pengadilan. Bahlul pun di bebaskan.

Saat di pengadilan, seorang hakim penasaran kemudian bertanya pada Bahlul, “apa yang menyebabkanmu begitu tenang meski tali gantungan sudah menjerat lehermu? Apakah karena kamu yakin kalau kamu tidak akan dibunuh?.” Bahlul menjawab “ketenangan ini, bukanlah karena keyakinan karena aku tidak akan digantung. Tetapi karena aku yakin bahwa apa yang diputuskan Allah kepadaku pastilah yang paling baik. Karena itu aku menyerahkan seluruh kehendakku pada kehendak-Nya. Inilah yang membawakanku kedamaian dan ketenangan tuan Hakim.”

Sekali lagi hakim bertanya “apa doa terakhir yang kau panjatkan sebelum lehermu dijerat oleh tali gantungan itu?”. 
“saya tidak berdoa seperti yang kalian maksud. Karena seseorang yang percaya pada Tuhan tahu bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu. Bukanlah tugas kita untuk meminta-Nya mengubah jalannya peristiwa yang telah ditentukan-Nya. Untuk para pecinta Tuhan, apa pun yang terjadi adalah yang paling baik.” Bahlul berhenti sejenak lalu melanjutkan “sebetulnya apa yang aku lakukan adalah berbicara pada Tuhanku. Aku katakan bahwa Tuhanku tahu betul bahwa aku sangat mencintai-Nya dan apapun yang Dia lakukakan padaku tidak akan mengubah kecintaaku pada-Nya kecuali kalau Ia ingin agar cintaku ini berubah. Sekiranya Ia memilih untuk mengirimku racum yang pahit sekalipun aku akan menegukknya sebagai madu yang manis dan sebagai hadiah yang berharga.”

Demikian, wallahu a’lam.
Categories: ,

0 comments:

Post a Comment