Oleh : Umi Khofsah
Tulisan ini lahir dari suka-duka saya sebagai mahasiswa filsafat. Pengalaman ini sifatnya subjektif, jadi jangan diambil hati jika ada yang punya pengalaman serupa. Saya, sebagai mahasiswa filsafat, kerap mendapatkan pertanyaan yang aneh-aneh. Sejujurnya saya sudah “kenyang” dengan berbagai pertanyaan miring mengenai jurusan yang saya ambil tersebut. Dari momen kekenyangan tersebut, saya memetakan pada tiga tipe jenis pertanyaan.
Tipe pertanyaan pertama, “Ambil jurusan apa mbak? filsafat ? Nanti kalau sudah lulus mau kerja apa? Dimana?”. Itu pertanyaan standart dari bapak-bapak, ibu-ibu, mas-mas atau mbak-mbak yang tidak pernah bersentuhan dengan filsafat. Jawaban saya ya standart pula, karena tidak mungkin saya menceritakan sejarah filsafat dari zaman Yunani Klasik pra- Socrates sampai Postmo (karena saya juga gak hafal sejarahnya). Ini jawaban saya “Rejeki sudah ada yang mengatur, yang penting saya berusaha”.
Tipe kedua, biasanya berasal dari kaum akademisi (katakanlah mahasiswa), yang memandang sebelah mata mata kuliah filsafat. Begini biasanya pertanyaannya “Mbak, gak mumet ya belajar filsafat?”. Sebenarnya, kalau ditelusuri, pertanyaan ini timbul dari pengalaman buruk mereka saat masuk di kelas filsafat. Apalagi kalau mata kuliahnya ontologi. Mending kalau mata kuliah filsafat umum atau filsafat ilmu. Stigma mereka tentang kemumetan filsafat diawali dari paradigma bahwa filsafat tidak ada kaitannya dengan jurusan yang selama ini mereka tekuni.
Menghadapi jenis pertanyaan seperti ini, saya tidak akan menjawab dengan menjelaskan apa tujuan belajar filsafat. Tapi saya jawab dengan balik bertanya “belajar apa sih yang gak mumet?”. Biasanya, mereka manggut-manggut tanda setuju “iya..ya, namanya belajar pasti ya mumet, bukan hanya filsafat”.
Tipe pertanyaan yang ketiga meningkat satu derajat lebih tinggi. Pertanyaan seperti ini berasal dari penilaian sepihak, generalisasi yang berlebihan, atau klaim yang tidak didasari pada data-data empiris yang kuat dan proses rasionalisasi yang mendalam. Pertanyaan tersebut adalah “kamu gak khawatir sesat masuk jurusan filsafat?”. Kalau menghadapi pertanyaan pertama dan kedua, saya masih bisa adem ayem, tapi yang ini? Sepertinya saya sudah mulai muncul satu tanduk dikepala. Orang-orang yang punya pertanyaan seperti ini mungkin saja melihat beberapa teman mereka yang _maaf_ tidak menjalankan ritual keagamaan dengan rajin. Dan dengan seenaknya mengkambinghitamkan filsafat sebagai pembenaran atas hal tersebut. Dengan agak sinis saya menjawab “temen saya, anak ekonomi, gak pernah belajar filsafat juga gak sholat kok, gak puasa juga”. Seraya membatin “saya anak filsafat, walaupun gak rajin sholatnya, tapi gak pernah bolong-bolong”.
Analisa Jawaban Lebih Lanjut
Tiga level pertanyaan yang saya sebutkan, bagi saya adalah konsukuensi logis atas pilihan saya. Bagi mereka, filsafat memang bukan hal yang sembarangan. Sembarangan dalam hal ini bukan dalam artian “mewah” atau “wah”, tapi lebih pada konotasi negatif. Filsafat dipandang sebagai sesuatu yang asing, menakutkan, tidak jelas, tidak ada gunanya, membuang tenaga, dan oleh karena itu, tidak perlu susah-susah dipelajari. Penilaian semacam ini datang dari mereka yang tidak mau “membuka hati” untuk filsafat. Kerumitan yang menempel pada filsafat mendukung pendapat mereka. Saya akui filsafat memang rumit, tapi dalam kerumitan itu saya justru jatuh hati. Banyak teman saya yang tidak dari jurusan filsafat juga menyatakan hal yang demikian. Alergi pada filsafat ada pada tahap awal pengenalan. Tapi begitu seseorang masuk kedalamnya, memahami dan kemudian menemukan apa yang ada dalam filsafat, paling tidak, klaim-klaim negatif itu akan memudar. Karena urusan suka atau tidak suka terhadap suatu objek keilmuan itu subjektif, maka orang yang sudah memahami filsafat tidak lantas fanatik terhadapnya.
Untuk pertanyaan pertama, ini adalah pertanyaan yang sifatnya mekanistik dan menyangkut cara pandang masyarakat kita saat ini. Tidak hanya tertuju pada anak jurusan filsafat, pertanyaan ini saya yakin akan ditujukan pada semua anak muda yang kuliah. Bagi masyarakat kita, tujuan kuliah ya untuk memperoleh pekerjaan yang mapan. Arti “mapan” adalah paling tidak berada pada naungan institusi tertentu. Ini jelas penderitaan bagi mahasiswa filsafat, Iha wong memang selama ini tidak ada institusi khusus yang menampung alumni filsafat. Tapi saya pribadi tidak khawatir. Pada kenyataannya, pengangguran juga tidak hanya berasal dari alumni filsafat. Banyak dari alumni-alumni jurusan lain yang nganggur. Fakta tambahannya, teman-teman seangkatan saya juga tidak ada yang nganggur kok, semuanya bekerja di jalan yang halal.
Jawaban untuk pertanyaan kedua dan ketiga bisa dijawab dengan filosofis. Pada level tetentu, berfilsafat bisa diartikan berfikir. Orang-orang yang mengklaim bahwa belajar filsafat mumet atau filsafat itu sesat, tentu telah melakukan proses berfikir sebelum mengeluarkan statement tersebut. Untuk merespon pertanyaan kedua, jauh-jauh hari saya sudah mengakui bahwa belajar filsafat itu mumet. Tapi kalau disuruh memilih, saya akan dengan senang hati memilih filsafat daripada belajar fisika, kimia, atau ilmu-ilmu eksakta yang lain. Jadi mumet itu bukan masalah subjek keilmuan tertentu, tapi tentang hal yang selama ini kita geluti.
Khusus pertanyaan ketiga yang mengklaim anak filsafat sesat, saya biasanya akan bertanya lebih lanjut mengenai dasar yang digunakannya. Masalah tidak sholat dan tidak puasa, saya akan menyatakan itu sama sekali bukan efek dari filsafat. Tapi karena malas. Rasa malas untuk beribadah tidak hinggap pada mahasiswa filsafat saja lho. Kalaupun tidak semua orang di muka bumi ini malas untuk beribadah, saya rasa sebagian besar pernah merasakan malas untuk beribadah. Silahkan tanya pada diri sendiri kalau tidak percaya.
Bagi kalangan mahasiswa jurusan lain, klaim “sesat” ini didapat dari tokoh-tokoh filsuf yang sebagian pernyataannya fenomenal. Saking fenomenalnya, pernyataan tersebut digunakan begitu saja tanpa diteliti sebab kemunculannya. Kita bisa menyebut misalnya Nietzsche dengan “Tuhan telah mati”, Karl Marx dengan “agama adalah candu”, Auguste Comte yang mengatakan bahwa “agama hanya bahan bicaraan abad pertengahan” atau kalau dalam Islam ada Ar-Razi yang menyatakan Nabi tidak perlu diturunkan. Pernyataan para tokoh ini yang menjadikan mereka merasa benar mengklaim filsasat perlu dijauhi. Memang, mereka benar dalam arti bahwa tokoh-tokoh yang saya sebut punya pendapat yang demikian. Namun, klaim ini sangat terbuka untuk dipertanyakan. Misalnya, sekali saja mereka bertanya “apakah benar anak filsafat sesesat itu?”. Ini merupakan contoh pertanyaan lanjutan jika mereka tidak mau menyelami pemikiran para tokoh yang saya sebut tadi.
Dua Hal Yang Didapat dari Belajar Filsafat
Saya belajar filsafat cukup lama, kurang lebih 6 tahun. Jujur saja, pilihan jurusan filsafat saat masuk kuliah S1 tidak didasari pada kecenderungan hati. Saya memilihnya karena ada kata “aqidah” yang nempel di depan filsafat. Jadi, dulu saya memilih menekuni jurusan ini karena jurusannya adalah “aqidah filsafat”. Ini tentu bukan alasan yang filosofis. Namun, kenyataan bahwa untuk studi selanjutnya saya tetap memilih filsafat sebagai subjek keilmuan yang saya tekuni, tentu tidak lagi asal-asalan. Ini jelas bukan analisis karir atau pekerjaan setelah lulus nanti (walaupun itu juga masuk pertimbangan, tapi kalau dipertimbangkan lagi, setelah lulus juga tidak ada jaminan kerja yang pasti). Ada dimensi lain yang saya temukan dalam filsafat, hal itu adalah “jiwa”. Saya merasa “ada” dalam filsafat. Saya merasa “hidup” dalam filsafat.
Sesuai judul, ada dua hal yang saya peroleh dari belajar filsafat. Pertama, filsafat sebagai produk pemikiran. Kedua, filsafat sebagai cara berpikir. Filsafat sebagai produk pemikiran adalah seperti beberapa hal yang saya contohkan diatas, yaitu hasil pemikiran dari beberapa tokoh filsafat yang dinilai lain daripada yang lain. Yang selalu mengundang sensasi. Para filsuf ini, bisa mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang satu tema yang mereka bahas. Sebagai contoh, ketika masuk pada salah satu cabang filsafat praktis, yaitu etika.
Dalam kajian etika, salah satu tema yang dibahas adalah apa itu hidup yang baik. Kaum Cyrenic (berasal dari mazhab filsafat kuno), menganggap bahwa hidup yang baik adalah hidup dengan sebanyak mungkin kepuasan dan seminimal mungkin rasa sakit. Plato mendefinisikan hidup yang baik adalah hidup dengan pengertian yang tepat, artinya dalam setiap tindakannya manusia harus dikuasai oleh akal budinya, bukan nafsu atau keinginannya. Ada juga Nabi nihilisme, Nietzsche yang mengatakan bahwa hidup yang baik adalah hidup yang tidak terikat dengan nilai-nilai apapun. Manusia, menciptakan sendiri nilai untuk dirinya sendiri. Tokoh yang saya sebutkan terakhir ini, pemikirannya memang sangar, sesangar kumisnya. Hehe...
Tidak kalah penting adalah filsafat sebagai cara berfikir. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah lahirnya filsafat yang digunakan untuk mendobrak mitos. Berfikir filosofis, dapat diartikan sebagai berpikir secara radikal, mendalam dan sistematis hingga kita mencapai makna hakiki dari sesuatu. Beberapa orang yang saya temui dan cukup mengenal filsafat biasanya memberi label bahwa anak filsafat itu ngeyelan, alias cerewet, tidak mau menerima keputusan atau pernyataan begitu saja dan suka tanya yang aneh-aneh. Label itu memang betul adanya. Hal ini bukan disebakan karena anak filsafat sok tahu, tapi sangat ingin tahu. Mereka tidak akan berhenti sebelum akar permasalahan dari suatu hal terjawab secara tuntas. Mungkin, ini bisa jadi masalah, karena bagi sebagian orang, anak filsafat akan terlihat sangat menjengkelkan. Apalagi kalau berbicara topik-topik agama dan lawan bicaranya dari kelompok skriptual. Sudah terbayang akan ada pihak yang dikafirkan nantinya.
Tapi dua hal ini begitu bermanfaat bagi hidup saya. Mengenal pemikiran para filsuf dari yang biasa saja sampai yang nyeleneh membuat saya mengerti bahwa ketika berfikir filosofis, ada banyak hal yang tadinya tidak terpikirkan, menjadi layak untuk dipikirkan. Bagi saya, seliberal apapun pemikiran mereka, tetap ada nilai yang ingin diperjuangkan. Satu tema yang sama dan menghasilkan pandangan yang berbeda-beda tersebut, merupakan bukti bahwa ada banyak realitas yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan segala sesuatu.
Disisi lain, selalu mempertanyakan sesuatu sebagai ciri berpikir filososfis menjadikan seseorang tidak gampang ikut-ikutan. Ini bukan berarti dia tidak punya identitas lho. Tapi, kalaupun dia mengikuti fatwa, pendapat, hukum, atau apalah itu, hal tersebut memang sudah melampaui tahap rasionalitas. Sudah dipikir secara mendalam. Berpikir secara logis dengan akal budi, tidak asal pakai emosi atau pertimbangan kepentingan pribadi dan hawa nafsu. Inilah nilai plus dari belajar filsafat, kita bisa bertanggungjawab penuh atas apa yang kita perbuat.
Belajar Filsafat Bukan Untuk Keren-Kerenan
Sebenarnya, beberapa hari lalu, saya mendapatkan pertanyaan yang lebih nylekit dari tiga model pertanyaan yang sudah saya ungkapkan diatas. Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh salah satu teman saya yang sudah hampir setahun belajar filsafat. Kami bertemu saat saya berkesempatan ikut kajian selama 3 bulan tempat dia belajar. Begini kira-kira pertanyaannya “kamu gimana belajar filsafatnya di Kampus?”. Saya jawab “belajar sejarah filsafat, lebih cenderung ke kajian tokoh kalau di kampus belajarnya”. Dia menimpali dengan santai “kalau kayak gitu kan bisa di googling”. Ah, tidak bisa diungkapkan perasaan saya saat itu.
Berusaha tidak emosi dan santai juga, saya menjawab “Mas, kamu pernah ikut mata kuliah filsafat berapa semester?”. Saya tahu dia memang bukan dari mahasiswa jurusan filsafat. Kemudian sebelum dia menjawab saya lanjut bicara “kalau misalnya kamu pernah ikut kuliah filsafat satu atau dua semester, dengan dosen yang kompeten dan teman-teman diskusi di kelas yang aktif, lalu kemudian kamu masih menganggap hal itu tidak memuaskan, saya akan terima saran kamu untuk googling saja”. Sepertinya teman saya tahu bahwa saya tidak terima dengan pernyataannya dan segera meminta maaf.
Mungkin sakit hati saya sifatnya subjektif karena itu menyangkut para guru dan institusi tempat saya belajar. Tapi ada hal lain, yaitu pertanyaan tersebut berasal dari orang yang sudah belajar filsafat cukup lama. Orang yang sudah memakan filsafat, tidak akan begitu saja main klaim dan menilai satu hal dari satu sudut pandang. Paling tidak dia mendengar dulu penjelasan dari orang lain. Belajar filsafat bukan untuk terlihat keren, tapi lebih dari itu. Filsafat bertujuan untuk mengantarkan manusia menjadi bijaksana, untuk sebisa mungkin menggunakan akal budinya. Dengan belajar filsafat, paling tidak seseorang punya cara pikir yang luas, yang tidak asal-asalan. Pertanyaan dari teman saya tadi, kalau diibaratkan seperti dia mengatakan bahwa kopi yang dihidangkan didepannya pahit, sebelum mencicipi dulu kopi tersebut. Namun, penilaian saya terhadap teman saya tentu juga bukan hal yang bijaksana. Jawaban saya atas pertanyaannya memang logis, tapi ada satu hal yang saya lewatkan, yaitu perbedaan. Kami memang sama-sama belajar filsafat, tapi saya tidak tahu secara pasti, apa tujuan teman saya tersebut. Bisa jadi, kami memang berangkat dari tujuan dan motivasi yang berbeda.
Dari cerita ngelantur saya tadi, maka tidak ada salahnya untuk memikirkan kembali, apa yang kita dapat dari belajar filsafat selama ini? Juga apa tujuan kita belajar filsafat selama ini? Mungkin, dua pertanyaan mendasar ini bisa membantu untuk menemukan kembali orientasi kita dalam belajar filsafat.
Umi Khofsah: Santri Ngaji Filsafat Masjid Jendral Sudirman, Sedang menempuh studi S2 di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, prodi Filsafat.
Tulisan ini pernah dimuat dalam Buletin Jumat MJS dalam dua edisi.
0 comments:
Post a Comment