Tuesday, 31 January 2017

Masjid dan Politik

Oleh: Abu Ertaja*

Masjid, secara peristilahan, memang berarti tempat bersujud. Sungguhpun demikian, dalam kenyataan sehari-hari, masjid tampil lebih dari hanya sekedar sasana persujudan. Masjid malah merupa sebagai situs penting dalam daur hidup umat Islam. Pada titik ini, masjid bersenda-jumpa dengan seluruh dimensi kehidupan manusia. Karena itu, masjid juga dapat dicandra sebagai fakta historis. Saat melihat masjid, akan sangat sulit untuk melepaskannya dari mata analisis sosial-budaya. Sebab, itu tadi, masjid menyimpan rekaman perjalanan manusia dengan segenap simpul-buhul kehidupannya. Dengan kata lain, masjid adalah benda kebudayaan. Ia memiliki historisitas.

Sejak mula kala, masjid selalu berwajah kebudayaan. Sekalipun didirikan sebagai arena penyembahan kepada Allah SWT, masjid tidak bisa lari dari perangkap konstruksi sosial. Maksudnya, masjid pasti dibentuk oleh kaidah-kaidah kehidupan sosial-budaya manusia. Setidaknya, hal ini bisa dilihat dari segi arsitekturnya. Masjid di Turki pasti akan berbeda corak, ornamen, tata-ruang, serta hitungan geometrinya dengan masjid di Amerika Serikat. Begitu pula masjid di pulau Jawa pasti berbeda dengan masjid di pulau Sumatera, meskipun dalam segi-segi tertentu, ada kemiripan di antara keduanya.

Itu baru dari segi arsitekturnya. Belum lagi dari segi ideologi yang melatari pendirian ataupun pengelolaan. Misalnya, dari beberapa fakta di lapangan, saya menemukan bahwa di Medan, Sumatera Utara, “Masjid Taqwa” pasti “milik” Muhammadiyah. Masjid al-Falah seringkali saya temukan berafiliasi dengan LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Masjid al-Mubarak, di berbagai kota di Indonesia, juga identik dengan Ahmadiyah. Selain itu, di dalam masjid pun, antar imam atau pemuka agama juga terkadang terjadi adu ideologi. Belum lagi antar juru khutbah yang setiap Jum’at meneriaki umat dari atas mimbar.

Fakta-fakta ini menandakan bahwa masjid benar-benar berstatus sebagai benda budaya. Karena statusnya itulah, masjid selalu akan kemasukan interaksi sosial-budaya, berikut efek-efek ikutannya. Termasuk di dalamnya interaksi politik. Politik, memang sejak lama telah dengan sangat leluasa masuk ke dalam masjid. Apalagi pada musim-musim Pemilu atau Pilkada. Masjid biasanya dijadikan ajang untuk berkampanye sekaligus mengkampanyekan. Terkadang, meskipun jarang terjadi, dalam pola yang sangat ekstrem masjid juga dirasuki provokasi dan hasutan kebencian.

Selain itu, peristiwa politik di masjid juga kerap mewajah dalam serangkaian aksi berbaju gerakan amal. Entah sedekah, zakat, infaq, atau sekedar sumbangan untuk pembangunan masjid. Semua amal itu adalah perbuatan baik. Allah SWT telah menegakkan garansi amaliah untuk masing-masingnya. Akan tetapi, fenomena berkata lain. Bahwa amal-amal itu kerap dijadikan oleh para pemain politik sebagai ajang untuk menangguk kemenangan politik atau mencari suara.

Memang, Nabi Muhammad SAW mendirikan Masjid Nabawi di Madinah untuk menguatkan seluruh aspek kehidupan umat Islam, termasuk aspek politik. Akan tetapi, pada masa itu, politik Rasulullah SAW adalah politik kebajikan yang berlandaskan al-haqq atau kebenaran wahyu. Tidak ada kepentingan sempit bin sektarian yang melingkungi semesta politik kala itu. Al-Haq dan al-Bathil jelas-jelas berposisi dalam kutub yang berseberangan. Tentu saja ada jurang perbedaan epistemologi politik di masa itu dengan epistemologi politk di masa kini. Tidak ada lagi wahyu dalam politik hari ini. 

Apalagi, di masa ini, politik bukan sebentuk seni untuk meraih kesenangan Tuhan, akan tetapi trik untuk memperoleh kesenangan dan kemenangan pribadi, kelompok, dan golongan. Antara yang haq dan yang batil, hari ini telah memanunggal, bersenyawa, dan bersejiwa. Mana Utara mana Selatan, mana Timur mana Barat, hari ini telah kabur dengan sendirinya dalam politik umat manusia.

Efeknya, di masjid, politik dimainkan bukan untuk semakin mempertegas kesakralan masjid, akan tetapi tempat untuk mencolokkan kabel kepentingan pribadi ke dalam saklar peribadatan. Memang, dalam titik-titik tertentu, penting juga memperbincangkan hubungan antara politik muslim dan politik selain muslim di masjid. Akan tetapi, selama ini, perkara itu hanya digelar dalam konteks bagaimana si muslim mengalahkan si bukan muslim. Tidak dalam rangka pengasahan kualitas kepemimpinan dan karakter si muslim, sehingga ia melebihi kualitas si bukan muslim.

Persemaian fakta telah menandaskan bahwa beberapa pemimpin yang tadinya dibahas dan “dimenangkan” melalui corong masjid, ternyata tidak memiliki karakter pribadi dan kepemimpinan yang dapat dibanggakan oleh para pemilik masjid, yaitu umat Islam seluruh jagad raya. Satu di antara contoh populernya dapat disimak dari statistik para koruptor, yang bila kolom agama di KTP mereka ditilik, jawabannya sudah tidak lagi membutuhkan intrik.

Sekarang, bagaimana masjid dikelola agar ia terbebas dari politik? Tentu sulit. Sejak mula kala, seluruh aspek kehidupan manusia adalah politik. Everyday life is politic, begitu kata para pemikir politik mutakhir. Warga negara yang kesulitan buang air besar di sebuah terminal karena tidak mendapati toilet umum adalah peristiwa politik. Masjid pun begitu. Sejak ia didirikan, maka ia merupakan bangunan yang didirikan di atas proses-proses administrasi politik.

Karena itu jawabannya bukan membersihkan masjid dari politik. Akan tetapi, membersihkan diri sendiri dari politik dan membersihkan politik dari kesesatan diri sendiri sebelum masuk ke masjid. Mungkin, di situlah makna pesan penting dari wudhu: bahwa bersuci tidak cukup hanya membasuh muka, tangan, kepala, telinga, kaki, tapi juga membersihkan diri dari toksin dan polusi religi. Saya kira itulah arti dari sebaris ayat: “hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid” (QS: 7: 31). Pasti, maksud “pakaian yang indah” itu adalah; suci diri, suci hati, suci amali.

 Wallahu a’lam.
* Abu Ertaja, Tinggal di Medan, Sumatera Utara

Tulisan ini pernah dimuat di Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman.
Categories:

0 comments:

Post a Comment