Jika
dalam proses pengadilan nanti terbukti terdapat unsur pidana dalam tindakan
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 27 September 2016 itu, saya usulkan agar
dia dihukum selama 400 tahun atas tuduhan menghina Al-Quran, kitab suci umat
Islam, sehingga pihak-pihak yang menuduh terpuaskan tanpa batas. Biarlah
generasi yang akan datang yang menilai berapa bobot kebenaran tuduhan itu.
Sebuah generasi yang diharapkan lebih stabil dan lebih arif dalam membaca
politik Indonesia yang sarat dengan dendam kesumat ini.
Saya tidak tahu apakah di KUHP kita terdapat pasal tentang
rentang hukuman sekian ratus tahun itu. Jika tidak ada, ciptakan pasal itu dan
Ahok saya harapkan menyiapkan mental untuk menghadapi sistem pengadilan
Indonesia yang patuh pada tekanan massif pihak tertentu.
Di media sosial, dalam minggu-minggu terakhir yang panas ini
beredar kicauan bahwa, melalui Ahok, konglomerat "Sembilan Naga" akan
lebih leluasa menguasai ekonomi Indonesia yang memang sebagian besar sudah
berada dalam genggaman mereka. Benarkan demikian? Jawabannya: tidak salah, tapi
tidak perlu melalui Ahok yang mulutnya dinilai liar dan jalang itu, karena
prosesnya sudah berjalan puluhan tahun, jauh tersimpan dalam rahim paruh kedua
abad ke-20 setelah kekuasaan Bung Karno terempas karena salah langkah dalam
mengurus bangsa dan negara.
Tapi
pihak manakah yang memberi fasilitas kepada para naga yang jumlahnya bisa
puluhan itu-bukan sebatas sembilan? Tidak sulit mencari jawaban atas pertanyaan
ini: fasilitatornya adalah penguasa dan pihak perbankan Indonesia yang sebagian
besar beragama Islam. Sekali lagi, sebagian besar beragama Islam. Pihak-pihak
inilah yang memberi surga kepada para naga itu untuk menguasai dunia bisnis di
negeri ini. Saya memasukkan para pihak ini ke kategori bermental anak jajahan,
sekalipun sering berteriak sebagai patriot sejati.
Atau, mungkin juga, berbisnis dengan kalangan sendiri belum
tentu selalu taat janji, karena tidak jarang yang punya mental menerabas. Serba
sulit, memang. Tapi harus ada terobosan dari negara untuk mendidik warganya ke
arah pemberdayaan anak bangsa secara keseluruhan agar punya mental manusia
merdeka yang terampil berbisnis, bukan manusia hamba yang lebih senang tetap
menjadi wong cilik.
Karena
itu, kita harus jujur kepada diri sendiri: mengapa mereka yang mengaku sebagai
warga negara tulen tidak punya mental kuat dengan disiplin tinggi agar uang
menjadi jinak di tangan mereka? Lihatlah pihak sana, sekali memasuki dunia
bisnis, perhatiannya 100 persen tercurah untuk keperluan itu. Nilai inilah yang
seharusnya kita ambil dari mereka. Jika terpaksa jadi jongos dalam perusahaan
teman kita ini, sifatnya mestilah sementara, untuk kemudian semua kemahiran
dagang mereka kita ambil alih. Jangan tetap setia jadi jongos sampai ke liang
kubur.
Semestinya pembenci Ahok tidak hanya mahir bermain secara
hiruk-pikuk di hilir lantaran buta peta, karena masalah utamanya berada di
hulu-setidak-tidaknya bisa ditelusuri sejak rezim Orde Baru. Selama masalah
besar dan utama ini dibiarkan berlanjut, jangan bermimpi kesenjangan sosial
yang masih menganga dapat dipertautkan. Dan, prahara sosial bisa muncul setiap
saat untuk meluluhlantakkan apa yang telah dibangun selama ini. Sikap benci dan
marah tanpa bersedia mengoreksi diri secara jujur dan berani, sorak-sorai demo,
akan berujung pada kesia-siaan. Apalagi, kabarnya, kekerasan juga telah menjadi
ladang usaha bagi sebagian orang yang punya mentalitas duafa, sekalipun
menikmati mobil super mewah.
Tapi, Tuan dan Puan, jangan salah tafsir. Yang bermental
patriotik dan nasionalis dari kelompok etnis ini juga tidak kurang jumlahnya.
Saya punya teman dekat dari kalangan ini, sekalipun mereka belum tentu masuk
dalam barisan naga itu. Dan, naga itu pun tidak semuanya masuk dalam lingkaran
konglomerat hitam. Cinta teman dekat saya ini kepada tanah leluhur sudah lama
mereka tinggalkan dan tanggalkan. Tanah air mereka tunggal: Indonesia! Mereka
lahir dan berkubur di sini, sikap mereka tidak pernah mendua.
Adalah sebuah angan-angan kosong sekiranya Ahok dijatuhi hukuman
selama 400 tahun, sementara mentalitas terjajah atau jongos tetap diidap
sebagian kita. Ujungnya hanya satu: kalah. Dan, kekalahan mendorong orang
menuju sikap kalap yang bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Maka, amatlah nista bila nama Tuhan disebut-sebut untuk membenarkan mentalitas
kalah dan kalap ini. Tanpa perbaikan mendasar dalam struktur kejiwaan kita,
maka ungkapan Bung Karno tentang bangsa kuli di antara bangsa-bangsa bukan
mustahil menjadi kenyataan. Ke depan, diperlukan otak dingin dan kecerdasan spiritual
tingkat tinggi untuk membenahi Indonesia. Masalah bangsa ini sangat kompleks,
tapi pasti ada solusinya, dengan syarat kita semua masih punya akal sehat dan
hati nurani.
Ahmad Syafii Maarif
Pendiri Maarif Institute
*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 2 Desember 2016
0 comments:
Post a Comment