Sebagai penyampai ajaran agama, para ustadz, kyai, ulama atau lebih spesifik para juru dakwah (lebih khusus lagi yang dimaksud di sini adalah penceramah) biasanya memiliki beragam gaya dan metode untuk menyentuh hati umat. Dengan gaya dan metode yang digunakan pesan – pesan agama yang bagi masyarakat awam kebanyakan terlihat jlimet dan ruwet bisa tampak lebih sederhana atau mungkin bisa lebih membingungkan apabila penceramah mengguakan metode yang keliru.
Gaya atau metode ceramah itu hanyalah kemasan, jadi siapapun boleh saja memilih sesuka hati beragam gaya yang terpenting pesan yang dimaksud tersempaikan ke sanubari jamaah. Akan menjadi keliru jika yang diigat oleh jamaah hanyalah kemasannya, bukan isinya.
Diantara banyak gaya ceramah yang belakangan saya lihat di youtube.com, sedikitnya ada dua model yang mengispirasi saya untuk membuat tulisan ini. Pertama, ada penceramah ketika tampil di atas paggung memilih gaya ‘marah-marah’, kehadiran penceramah ini membuat para jamaah tampak serius dan mendengarkan dengan seksama, sesekali para jemaah ikut berteriak lantang “Allahu Akbar.”
Biasanya pesan yang disampaikan penceramh jenis ini lebih mudah diingat, karena isinya perintah dan ajakan (kadang paksaan) yang jelas dan praktis, misalnya dalam sebuah cuplikan yang saya tonton ada penceramah dengan penuh semangat tampil seperti singa di atas mimbar mengomentari pembacaan al-Quran langgam Jawa di istana negara beberapa tahun lalu dengan berkata “Ee saudara kalau hari ini al-Quran dibacakan dengan langgam pewayangan, langgam jalang, langgam lagu-lagu Jawa kunu, maka besok al-Quran akan disampaikan dengan langgam jaipongan, langgam sinden, langgam dangdut, langgam pop, langgam rok, langgam-langgam lainnya.. Kurang Ajar.. Biadab..”
Kemudian penceramah itu mengakhiri dengan berkata “apakah saudara rela jika agama kita dihina?, Apakah kita hanya mau berdiam diri dengan kondisi ini? Apakah suadara sekalian siap mati demi membela agama, demi membela al-Quran?” sontak para jamaah menjawabnya “Siappp”, lalu penceramah pun menimpali dengan teriakan “Takbirrrr.” Selain takbir, tidak jarang dari penceramah ini terlontar kata-kata, “KAFIRRR.SESAT...GOBLOK..BIADAB,, KURANG AJAR..”, dan karena disampaikan dengan nada lantang dan eskresi marah maka terasa sangat garang ditelinga. Dari eskpresinya penceramah jenis ini terlihat seperti paling benar, paling ngerti, dan paling-paling yang lainnya, sehingga para jamaah harus mengikuti dan menjalankan ajakannya tanpa harus berpikir lagi.
Sekelompok anak muda yang dinontonkan cuplikan itu berdialog:
“Gimana menurutmu tentang ceramah itu?” salah satu diantara mereka bertanya
“Barangkali yang ingin disampaikan penceramah itu intinya larangan menghina agama, al-Quran, dan sakralitas agama lainnya. Jika benar, saya 100 % setuju. Tapi masak ia, untuk mengajak umat ke jalan yang benar dan baik mesti menggunakan kata-kata kasar seperti itu”
Yang lain berkomentar “bukankah Islam melarang menghina dan memaki orang lain, tapi kenapa pak penceramah itu justru dengan asiknya menghina dan memaki orang lain”
“mungkin dia tidak belajar komunikasi dakwah dan psikologi massa, ia terjebak pada keasyikannya sendiri, sehingga dengan asyiknya memaki orang lain baginya sudah menjadi kenikmatan sendiri” kata yang lain.
Yang lain lagi bilang “biarin lah, saya tak peduli, tak ada gunanya juga mengomentari. Manusia itu memang beragam, orang jawa ada yang bilang ‘hidup itu mong mampir ngopi, mampir ngombi, mampir mandi, dan mungkin bagi dia mong mampir nyaci-maki. Terserah pilihan masing-masing.”
Selain gaya ‘marah-marah’, ada gaya lain yang digunakan penceramah, gaya kedua ini berupa gaya ‘ketawa-ketiwi’. Penceramah gaya ini, biasanya mampu membuat para jamaah tahan mendengarkan berlama-lama sambil terpingkal-pingkil. Setiap pesan agama biasanya disampaikan dengan gaya cerita atau ilustrasi. Dalam sebuah kesempatan seorang pernceramah berkata di depan jamaah “bapak – ibu,! Jangan lupa kalau malam jumat berjihad ya, karena pahalanya sama dengan membunuh orang kafir,” jamaah lantas saling pandang memberi senyum, penceramah pun melanjutkan “tapi ingat ya, yang namanya jihad jangan melibatkan anak – anak, tidak baik anak – anak diajak ke medan perang.” “dan ingat juga, jihad itu ada aturannya, ibarat lalu lintas kalau lampu merah harus berhenti.” Mendengar itu ada jamaah yang berteriak “kalau belok kiri boleh jalan terus kan Pak Kyai?” pertanyaan yang disambut gelak tawa itu pun di jawab Pak Kyai, “iya, belok kiri ke rumah istri muda”.
Mendengar itu, tentu saja para jamaah ngakak. Apa lagi kalau penceramah menyerempet lebih jauh ke arena ‘dewasa’, jamaah pun makin semangat. Makanya ketika penceramah jenis ini hendak mengakhiri ceramahnya sering muncul teriakan dari jamaah “lanjutkan kyai,, lanjutkan,, sampe pagi.” Dalam ceramah jenis ini biasanya, juga terlontar kata – kata seperti “Asu, Bid’ah, kafir”, Tetapi, namanya juga kata-kata, predikat yang disematkan bisa saru tapi juga bisa lucu, tergantung situasi dan kondisi, dalam ceramah jenis ini kata-kata ‘saru’ itu bisa membanggakan para jamaah yang tak dipungkasi dengan takbir.
“apa yang menarik dari penceramah jenis ini?” tanya seorang di warung kopi.
“ini ceramah atau stand up comedy?” tanya yang lain.
“yang jelas jamaah senang dan mengerti kan, kenapa kita yang sibuk komentar” timpal yang lain lagi.
Gaya itu hanya lah kemasan, para penceramah bisa memilih gaya apa saja, yang penting pesan agama yang di sampaikan bisa dimengerti dan diamalkan oleh para jamaahnya dengan penuh keikhlasan. Gaya ‘marah-marah’ lebih tepatnya disebut gaya orasi atau gaya kritik seperti yang disebut pada jenis pertama sekali waktu sangat diperlukan, asalkan disampaikan dengan ikhlas dan tanpa pretensi menyakiti atau mengkompori hadirin untuk ikut-ikutan menjadi pencaci-maki. sikap kritik perlu disampaikan dan diajarkan, dan kritik yang baik adalah yang membuat pendengar itu terketuk hatinya untuk menginsafi kesadarannya, bukan membuat emosi. Karena itu, para penceramah harus memahami situasi diri, jangan sampai yang disampaikan hanya berisi uneg-uneg pribadi yang justru kalau di sampaikan justru menimbulkan sakit hati. Kata al-Quran “jika engkau berkasar hati, maka mereka akan berpaling dari sisimu.” Tugas penceramah adalah penyampai dan pengajak, bukan pemaksa.
Canda – tawa pun bukanlah yang tabu dalam agama, Nabi pun pernah bergurau. Kata Cak Lontong dengan ekspresi marah “saya serius” dan ketika para pemirsa pada diam ia melanjutkan “bukan berarti kalau serius itu tidak boleh tertawa.” Dalam hal ceramah pun, gurauan dan kelucuan diperlukan, karena bisa membuat para jamaah awam lebih mudah paham. Tetapi ya itu, ada tapinya. Kalau ceramah dua jam hanya berisi humor yang mengocok perut, apa tidak layak di pertanyakan “apa bedanya penceramah ini dengan pelawak,?” atau kita bisa bertanya “yang digemari jamaah isi atau humornya?” kalau semua isinya humor, bisa – bisa agama hanya jadi bahan gurauan, nilai sakralitasnya pun bisa tertutup kabut polusi humor.
Wallahu a’lam..
Allahu Akbar..
0 comments:
Post a Comment