Oleh: OLIMAS SUTANTO
Menjelang pemilihan para pemimpin
di segenap wilayah Tanah Air, tebersit perasaan perlunya kita memperhatikan
keadaan-keadaan (kualitas- kualitas) yang terangkum dalam relasionalitas.
Kata relasional adalah adjektiva yang bermula dari
kata dasar relasi;
ia bermaknakan 'terhubung, tersambung, terjalin'. Karena setiap pemimpin itu
berada dalam medan hidup orang-orang atau pihak-pihak yang dipimpin, maka frase pemimpin
yang relasional berartikan
'pengarah yang terhubung, tersambung, terjalin erat dengan khalayak luas yang
dipimpinnya'.
Menerima perbedaan
Begitu pentingkah relasionalitas
seorang pemimpin? Psikoanalis dan feminis Julia Kristeva menggambarkan apa yang
ada di balik setiap pernyataan atau pertanyaan yang diajukan seseorang kepada
sesamanya. Kristeva menghayati betapa di dalam setiap pernyataan atau
pertanyaan bersemayam penderitaan; oleh karena itu selayaknyalah seseorang mau
menjadikan dirinya terbuka terhadap penderitaan itu, mau menerimanya, dan-jika
bisa-membuka kedua telinga untuk mengerti makna yang berbeda dari anggapan yang
ada dalam dirinya sendiri.
Kristeva menggambarkan
relasionalitas seseorang sebagai keterhubungan dengan bagian penting dan tak
menyenangkan dari manusia;-penderitaan si manusia. Ketersambungan tersebut
hanya terjadi tatkala seseorang sungguh mendengarkan orang lain serta bersedia
menerima dan memafhumi makna yang lain.
Maka, relasionalitas sang pemimpin pun niscaya ditandai dengan listening
attitude dalam latar
kerendahhatian dan keterbukaan terhadap yang lain, yang berbeda, yang bukan
seperti dirinya sendiri. Pemimpin yang relasional memiliki pandangan dan
keyakinannya sendiri, tetapi keduanya selalu siap diperkaya dengan yang lain,
bahkan diubah oleh yang berbeda.
Setiap manusia, seperti diyakini
psikoanalis Frank Summers, adalah "subyek yang mengalami dengan caranya
sendiri yang tiada duanya". Maka, perbedaan antarmanusia itu tak
terelakkan, dan pada dasarnya setiap orang sulit menerima perbedaan dengan
orang yang lain.
Namun, optimisme tetap dapat dipelihara jika kita menyadari bahwa
setiap manusia terlahir untuk menjadi terhubung dengan orang-orang lain. Filsuf
dan psikoanalis Hans Loewald bahkan melihat jiwa atau pribadi (psyche) dalam keadaannya yang
semula merupakan kesatuan padat afek (perasaan)-primal
density-yang tidak mengenal keterputusan (lawan dari keterhubungan)
dan perbedaan.
Kendati kemudian realitas
psikososial meniscayakan psike menjalani kehidupan dalam perbedaan-perbedaan
yang keras, kedambaan manusia untuk kembali ke dalam keterhubungan dengan
sesamanya tidak pernah hilang. Keinginan untuk tersambung itu begitu kuat dan
mendasar, terus membayang-bayangi manusia di sepanjang hidupnya.
Hidup seorang manusia dapat
digambarkan sebagai medan ketegangan antara perbedaan, ketaksukaan pada
perbedaan, di satu sisi, dan kedambaan untuk terhubung, menyatu, dalam
ketiadaan perbedaan. Namun, di sisi lain, betapa besarnya pun perbedaan dan
penolakan, sesungguhnya hasrat asali manusia untuk terjalin dengan sesamanya, sebagaimana
keadaannya yang semula, yang oleh Loewald dilukiskan sebagai densitas asali,
adalah senantiasa lebih besar dan kuat. Bahkan, psikoanalis John Bowlby
mengemukakan pendapat yang berbasis evidensi bahwa menjadi terhubung dengan
orang lain adalah naluriah.
Ketika hakikat manusia sebagai
makhluk relasional tak lagi jadi perdebatan, masalah yang mengemuka adalah:
bagaimana orang perlu meniti perjuangan mengatasi perbedaan- perbedaan demi
mengejawantahkan relasionalitas intim yang merupakan keadaan naluriahnya?
Psikoanalis Stephen A Mitchell melihat jalan perjuangan itu
sebagai evolusi relasionalitas, dari keterhubungan yang nirreflektif menuju
keterjalinan antarmanusia dalam keberanian mengungkap rasa subyektif yang unik
pada dirinya. Ia berlanjut ke relasi yang mengakui keberadaan diri dan liyan,
serta menjadi nyaman dengan keadaan berbeda itu. Sampai akhirnya
mengejawantahkan keterhubungan intersubyektif yang menciptakan pengalaman yang
sungguh baru yang dimiliki bersama- sama.
Inilah "pengalaman ketiga", yang sebelumnya tiada karena
semula yang hadir adalah pengalaman pertama (dalam diri) dan pengalaman kedua
(dalam liyan)
saja. Ketersambungan intersubyektif menghidupi dan hidup dalam "pengalaman
ketiga" itu.
Membuka mata-telinga
Masyarakat dan bangsa kita acap
kali disebut sebagai yang majemuk. Namun, yang plural itu bukan hanya
Indonesia. Setiap masyarakat-bangsa selalu menghadapi medan ketegangan antara
perbedaan, penolakan terhadap perbedaan, dan klaim kebenaran sepihak di kutub
yang satu, dan kedambaan menyatu, hasrat untuk terhubung yang kuat, bahkan
naluriah, di kutub yang lain.
Perjalanan melampaui medan
ketegangan itu memang tak gampang. Pada titik ini mencuat pengertian tentang
peran teramat penting pemimpin (lebih realistis, pemimpin-pemimpin) yang
relasional. Bagaimanapun, terciptanya pemimpin dalam komunitas manusia
merupakan salah satu buah hasrat dan keniscayaan manusia untuk menjadi
terhubung dengan sesamanya.
Pada perspektif relasionalitas manusia, pemimpin adalah interface atau tempat berpadunya hasrat-hasrat
dan keniscayaan- keniscayaan untuk terhubung. Itulah sebabnya setiap pemimpin
perlu memiliki kualitas sebagai pemimpin yang relasional.
Kembali ke inspirasi Kristeva, sang
pemimpin itu menyadari betapa subjektivitasnya selalu membuahkan pendirian dan
pendapat, yang sesungguhnya hasil dari pembelokan atau pemelintiran terhadap
kebenaran dan realitas. Karena itu, dia mau membuka kedua telinganya buat
menerima dan mendengarkan secara saksama pertanyaan dan pernyataan orang-orang
lain, dalam kesiapan untuk mengalami makna yang lain.
Berbahagialah warga-bangsa yang
dipimpin pemimpin-pemimpin yang relasional.
LIMAS SUTANTO
PSIKIATER KONSULTAN PSIKOTERAPI, TINGGAL DI MALANG
Versi cetak artikel ini terbit
di harian Kompas edisi 27 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul
"Pemimpin-pemimpin yang Relasional".
0 comments:
Post a Comment