Monday, 31 October 2016

Pancasila sebagai Etika Bangsa

PELUNCURAN BUKU


31 Oktober 2016

JAKARTA, KOMPAS — Mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila tak lain adalah bersedia saling menerima dalam kekhasan masing-masing dan mendukung kemajemukan bangsa. Dengan demikian, kemajemukan budaya mengandaikan serta mengimplikasikan penerimaan keanekaragaman dan ciri-ciri khas warga negara Indonesia.

Demikian salah satu cuplikan gagasan Franz Magnis-Suseno yang dikutip Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara M Sastrapratedja sebagai salah satu penulis buku _Franz Magnis-Suseno, Sosok dan Pemikirannya_ (Penerbit Buku Kompas, 2016) untuk memperingati 85 tahun Magnis. "Romo Magnis menyebutkan prinsip-prinsip etis yang disandingkan dengan nilai-nilai Pancasila," kata Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno, Guru Besar Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, selaku pembedah buku, Sabtu (29/10), di STF Driyarkara, Jakarta.

Magnis berpandangan, Pancasila merupakan etika bangsa Indonesia karena memuat nilai-nilai dasar dan cita-cita sebagai penuntun perilaku masyarakat. "Pancasila merupakan kesepakatan rakyat Indonesia untuk membangun negara, di mana semua warga masyarakat sama kedudukannya, sama kewajiban dan haknya, tanpa membedakan agama-agama mayoritas dengan agama-agama lain," kata Toeti.

Karena menjadi kesepakatan bersama, menurut Magnis, Pancasila tak boleh diubah, apalagi dibatalkan. Mengubahnya sama dengan mengubah dasar negara, yang berarti merombak eksistensi negara dan bangsa.

Menurut Magnis, ada tiga ancaman terhadap Pancasila dan kesatuan bangsa, yakni kekerasan, neo-feodalisme, dan puritanisme religius. Ia pun mengingatkan, kekerasan bukan cara beradab untuk menyelesaikan konflik. Maka, jika hendak berdamai dengan diri sendiri, bangsa Indonesia harus menghadapi secara terbuka kejahatan kemanusiaan dalam sejarah Indonesia.

Adapun ancaman neo-feodalisme tampak pada fenomena korupsi yang merajalela sebagai warisan kelas priayi. Hal yang perlu diwaspadai berikutnya adalah kaum puritan religius. Mereka mengklaim berwenang atas hidup dan mati orang lain.

Pengajar STF Driyarkara, F Budi Hardiman, di buku tersebut menulis, konsistensi Magnis sebagai intelektual publik dan pembela hak asasi manusia tak perlu diragukan. Budi yang juga menjadi editor buku ini menyatakan, Magnis berada di depan untuk membela pihak-pihak lemah yang mengalami diskriminasi, represi, dan marginalisasi.

Dalam _Franz Magnis-Suseno, Sosok dan Pemikirannya,_ 13 sahabat (sebagian adalah murid-murid) Magnis mengupas berbagai macam topik, antara lain tragedi 1965, Pancasila, etika dialog antaragama, dan filsafat politik. Penulisnya antara lain BS Mardiatmadja, Komaruddin Hidayat, Baskara T Wardaya, M Sastrapratedja, F Budi Hardiman, Karlina Supelli, A Setyo Wibowo, J Sudarminta, B Herry Priyono, dan Sudiarja.

Pencarian filsafat

Pada kesempatan yang sama, dibedah pula buku _Dengan Nalar dan Nurani: Tuhan, Manusia, dan Kebenaran_ sebagai peringatan 65 tahun J Sudarminta, Guru Besar STF Driyarkara. Redaktur Senior _Kompas,_ ST Sularto, selaku pembedah mengatakan, buku ini memuat 10 artikel tentang pencarian filsafat mengenai Tuhan, manusia, dan kebenaran.

Melalui buku ini, pembaca diajak mengarungi samudra pemikiran para filsuf besar. Para penulis buku ini ialah Alex Lanur, Simon-Petrus L Tjahjadi, Fitzerald Kennedy Sitorus, Karlina Supelli, F Budi Hardiman, Matius Ali, Thomas Hidya Tjaya, M Sastrapratedja, B Herry Priyono, dan Yosephus Laba Sinuor.

Editor buku, F Budi Hardiman, menyatakan, buku ini merangkum perhatian Sudarminta pada epistemologi dan etika. Bagi Sudarminta, berfilsafat tidak cukup hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu, filsafat juga untuk mengarahkan tindakan yang tepat. (ABK)
___________
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2016, di halaman 12 dengan judul "Pancasila sebagai Etika Bangsa".
Categories: ,

0 comments:

Post a Comment