Sunday, 15 March 2020

Ternyata Corona Tak Perlu Omnibus Law

Awal bulan Januari, Virus Corona yang melanda Wuhan  sejak November 2019 masih sayup-sayup beritanya. Berita banjir Jakarta, pembunuhan Qasem Soleimani,  OTT Komisioner KPU, Harun Masiku yang hilang hingga kemunculan Keraton Agung Sejagat sampai Sunda Empire lebih banyak dibincangkan dan diberitakan.
Sepanjang Januari di Indonesia, mulai dari pemerintah sampai warganya masih santai-santai saja. Corona, sebagaimana Sunda Empire masih jadi bahan candaan di warung kopi.

Melihat berita tentang Wuhan  terisolasi dan sepi hingga dijuluki ‘kota mati’ yang beredar di media sosial warga Indonesia masih santai, ngopi dan ngerumpi. Tanpa rasa khawatir.
Akhir Januari, pejabat pemerintah mulai menanggapi. Tanggal 27 Januari, Presiden Jokowi menganjurkan untuk waspada, karena di beberpa negara tetangga ada yang sudah terinfeksi Corona. 

Dengan cepat Corona menyebar ke banyak negara. WNI di Wuhan dievakuasi. Rombongan WNI yang dipulangkan dan di karantina di Natuna dinyatakan negatif semua. Pulang ke rumah masing-masing, disambut gembira keluarga. Indonesia masih aman-aman saja.  Pejabat pemerintahpun masih yakin Indonesia bebas Corona.

"Banyak kiai dan ulama yang selalu membaca doa qunut. Saya juga begitu baca doa qunut untuk menjauhkan bala, bahaya, wabah-wabah dan penyakit. Makanya (virus) corona minggir di Indonesia" kata Wapres, Ma’ruf Amin yang kemudian banyak dihebohkan di jagad medsos.

Optimisme pemerintah bahwa Indonesia bebas corona masih terlihat dari pernyataan para menteri hampir selama Februari. Mahfud MD di akun twitter menulis kelekar Airlangga Hartanto yang bilang “Karena perizinan di Indonesia ber-belit2 maka virus corona tak bisa masuk. Tapi omnisbus law tentang perizinan lapangan kerja jalan terus.”

Meski pemerintah yakin Indonesia bebas Corona, nampaknya sebagian masyarkat mulai khawatir. Ketika di medsos ada pernyataan bahwa corona bisa dicegah dengan banyak minum jamu tradisional, tiba-tiba saja jahe, temu lawak, kencur diburu warga. Masker langka, hand sanitizer-pun sulit didapatkan.
Pada tanggal 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa ada 2 WNI positif Covid-19. Tanggal 7 berlipat jadi 4, tanggal 9 jadi 19, besoknya secara berututan meningkat terus jadi 27, 34, 69, 96, dan sampai tanggal 15 berjumlah 117.  Pemerintah mulai bergerak cepat, apalagi sudah ada yang meninggal karena Corona. Berita corona yang  tersebar di berbagai wilayah menjadikan banyak pemda mengambil kebijakan agar sekolah, perguruan tinggi melalukan sistem mengajar dan belajar jarak jauh. Tak hanya sekolah dan perguruan tinggi, “dengan kondisi ini” kata Presiden Jokowi “saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah”

Rupanya, Corona yang di awal tahun ini masih jadi bahan candaan warga di warung kopi dan jadi bahan tertawaan beberapa elit pemerintah sampai juga ke Indonesia. Menyebar begitu cepat ke berbagai wilayah. 

Meski Qunut tetap dibacakan. 
Meski jahe, temu lawak, dan sekawannya tetap dikonsumsi.
Meski masker dan hand sanitaizer sudah habis diborong.
Dan,

Meski TANPA OMNIBUS LAW.

Sunday, 28 October 2018

Mencintai Indonesia

Haedar Nashir
Harian Republika 29 Oktober 2018

Anda mencintai Indonesia? Penyanyi nyentrik almarhum Mbah Surip menjawab dengan lagu populernya: “I Love You Full”. Cinta sepenuh hati sampai mati. Ibarat kisah romantis Zainudin dan Hayati dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka.

Semua warga bangsa tentu mencintai Indonesia. Namun, ekspresi cinta Indonesia itu beragam dan tidak satu warna. Mungkin ada yang suka menggebu-gebu dan gemar berslogan heroik “Aku Indonesia”, “Aku Pancasila”, “NKRI harga mati”. Ada yang terbiasa melakukan pekik “Merdeka” terutama ketika berpidato. Ada pula yang pamer kaus oblong bertuliskan “I love Indonesia”. Suatu idiom cinta gaya verbal.

Sebagian mengekspresikan cinta Indonesia dengan berbagai upacara dan kegiatan-kegiatan simbolis, seperti pada perayaan HUT kemerdekaan atau hari-hari nasional lainnya. Dari berbagai kirab cinta negeri dan ritual-ritual sosial kebangsaan yang bersifat massal sampai kegitan lomba panjat pinang, balap karung, dan makan krupuk. Bendera Merah Putih dibawa ke mana-mana untuk menunjukkan simbol lekat keindonesiaan. Cinta penuh gembira ala kerumunan massa.

Banyak pula yang tidak suka gembar-gembor menyuarakan “Aku cinta Indonesia” kecuali sesekali ketika dipandang perlu untuk berkata-kata. Tetapi, bakti dan pengorbanannya luar biasa untuk merawat dan memajukan Indonesia. Mereka bekerja gigih untuk rakyat tanpa pamrih memajukan Indonesia.

Mereka menjadi sukarelawan membantu saudaranya yang terkena musibah banjir, gempa bumi, tsunami, dan bencana alam lainnya, bahkan dengan taruhan nyawa. Mereka berkhidmat di sudut-sudut negeri dalam ruang sunyi tanpa publikasi dan retorika sarat citra.

Boleh jadi terdapat pula cinta palsu. Setiap hari lantang menggelorakan cinta NKRI, setia Pancasila, pro-kebinekaan, dan idiom-idiom kebangsaan lainnya yang merah menyala. Pada saat yang sama menyelinap ke seluruh relung negeri mengejar keuntungan diri secara politik, ekonomi, dan akses pamrih lainnya tanpa rasa kenyang.

Di antara mereka haus proyek dan segala akses kuasa untuk menguras bumi, alam, kekayaan, dan hajat hidup rakyat Indonesia. Klaimnya cinta Indonesia, tetapi kenyataannya memperdaya dan menyandera Indonesia!

Eksistensi cinta

Sungguh, ekspresi kecintaan terhadap Indonesia tidak harus sama dan sebangun antara satu warga dengan lainnya. Ketika kecintaan itu diwujudkan dalam bentuk kritik dan pendewasaan tanpa memanjakan, apakah itu bukan cinta Indonesia? Tentu kritik yang konstruktif itu pun merupakan wujud cinta Indonesia agar yang dicintai tetap utuh lahir dan batin serta tidak salah arah jalan.

Cinta sejati bukan memanjakan dan membiarkan yang dicintai terjerumus dalam jurang. Cinta itu menyayangi setulus hati disertai mendidik, mendewasakan, memberdayakan, memajukan, dan membebaskan.

Dalam filsafat eksistensialisme Gabriel Marcel, cinta memerlukan fidelite, yakni sikap setia dalam membangun hubungan dengan yang dicintai. Tetapi, kesetiaan itu, kata sang filosof Prancis, bukanlah taklid minus pendirian. Kesetiaan cinta mengandung kesediaan untuk terlibat dengan keberanian mengambil risiko.

Jangan dibiarkan Indonesia yang dicintai jatuh dan salah kaprah. Seperti mencegah Indonesia dari cengkeraman pihak mana pun, baik domestik maupun asing yang dapat menghancurkan kedaulatan negeri serta menguras kekayaan alam milik rakyatnya.

Kata Marcel, cinta pun harus memiliki sifat engagement, yakni mengambil bagian dalam membangun relasi yang positif. Dalam makna ini, jika cinta Indonesia maka semua pihak harus terlibat dalam mencegah Indonesia dari kemunduran, ketertinggalan, kejumudan, luruh nilai, krisis, korupsi, dan segala perbuatan yang membuat negeri ini jatuh.

Jika benar-benar “Aku Indonesia”, jangan biarkan rupiah terpuruk, ekonomi krisis, politik disandera, perusahaan-perusahaan milik negara disalahgunakan, mafia-mafia impor merajalela, narkoba meluas, penjahat kerah putih beraksi leluasa, para petualang politik dan ekonomi berbuat sekehendaknya, dan segala ancaman masuk dengan leluasa ke negeri ini.

Manakala benar-benar cinta Indonesia, maka “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya” seperti spirit dalam salah satu bait lagu “Indonesia Raya”. Bawa, bangun, dan kelola negeri dan bangsa ini dengan amanah yang sebaik-baiknya menuju keadaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana cita-cita nasional yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa tahun 1945.

Baik pemerintah maupun komponen rakyat semua bersatu menjadikan Indonesia benar-benar maju dan berdaulat di segala bidang kehidupan. Bahkan, jika benar-benar cinta Pancasila maka wujudkan kelima sila yang luhur itu dalam kebijakan dan praktik kehidupan nyata, tidak berhenti dalam slogan dan kata-kata indah belaka.

Makna refleksinya, bahwa cinta Indonesia tentu bukan cinta buta apalagi cinta pura-pura alias pura-pura cinta. Indonesia mesti dijaga agar benar-benar layak untuk dicintai.

Cinta Indonesia, cinta NKRI, cinta Pancasila, cinta Bhinneka Tunggal Ika, dan sederet aklamasi cinta yang gempita mesti diwujudkan agar negeri ini benar-benar menjadi unggul, jaya, dan berkemajuan menuju peradaban tinggi sejajar dengan bangsa dan negara lain yang telah maju di pentas dunia. Itulah cinta Indonesia yang murni atau autentik. Inilah wujud cinta sejati, bukan cinta verbal dan komunal.

Indonesia yang dicintai tidak boleh dibiarkan menjadi negeri yang disandera dan digerogoti oleh para koruptor, pengeruk kekayaan alam, petualang politik, tangan-tangan perkasa yang haus kekayaan alam, dan aktor-aktor rakus yang haus kuasa, harta, dan gemerlap duniawi tak berkesudahan.

Sementara, mayoritas rakyat belum menerima keadilan dan kemakmuran sebagaimana didambakan mereka dalam suasana miskin, sulit pekerjaan, marginal, dan tidak menjadi tuan di negeri sendiri. Jika benar-benar cinta Indonesia yang sejati, maka meminjam istilah WS Rendra, jangan biarkan negeri dan bangsa ini seperti “kasur tua”. Cinta sejati tidak ingin menyaksikan Indonesia yang dicintainya hidup nestapa!

Ketika cinta Indonesia digelorakan sedemikian rupa hingga mematikan nalar sehat dan kewajaran, sesungguhnya aura cinta seperti itu sering kehilangan zauhar atau esensi cinta yang penuh makna. Cinta verbal seperti itu rapuh, bahkan ketika bersenyawa dengan kepentingan-kepentingan lain yang eksklusif dan menyelinap dalam nafsu egoisme diri atau kelompok secara berlebihan, boleh jadi malah dapat menumbuhkan aura cinta gelap mata.

Cinta yang mengandung cemburu buta sekaligus kehilangan rasionalitas, akan memandang orang lain sebagai ancaman dan musuh negara hanya karena berbeda ekspresi cintanya kepada Indonesia. Indonesia seakan miliknya sendiri, orang lain dianggap penumpang gelap.

Cinta berlebihan disertai ekslusivitas yang menutup diri akan rasa ketanah-airan jika salah kelola dapat memupuk benih nasionalisme yang ekstrem sebagaimana tumbuhnya ideologi ultra-nasionalisme di Italia, Jerman, dan Jepang pada era Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Nasionalisme yang ultra atau ekstrem menumbuhkan gelora “chauvinisme”, suatu virus yang mematri keyakinan berlebihan (true believing) bahwa bangsa dan negeri sendiri adalah yang paling segalanya dibanding negara dan bangsa lain di muka bumi ini.

Negeri dan bangsa sendiri satu-satunya di muka bumi yang paling unggul, seraya merendahkan bangsa dan negara lain dengan nafsu serbadigdaya. Meskipun negerinya ringkih dan dirundung banyak masalah.

Ideologi ultra-nasionalisme di tiga negara tersebut pada masa itu melahirkan rezim fasis yang totalitarian. Negara atau pemerintah sebagai pusat hegemoni yang absolut, sedang warga negara kehilangan kebebesannya. Pemerintahan fasis yang ultra-nasionalis atau ultra-nasionalis yang fasis itu serbasensitif terhadap kebebasan warganegaranya.

Sedikit saja warganya berbeda pandangan akan dianggap antipemerintah dan dianggap mengancam negara. Pendukung rezim pemerintah pun ikut-ikutan fasis dan ultra-nasionalis sehingga selalu ingin mengawasi, meneror, mengendalikan, dan merepresi siapa pun yang tidak sejalan dengan pemerintah dan paham nasionalismenya yang bergaris keras.

Oleh karena itu, paham ultra-nasionalis di mana pun selalu bermasalah. Sikapnya cenderung represif terhadap pihak lain. Cinta bangsa dan bela Tanah Air diterjemahkan secara monolitik berdasarkan pahamnya sendiri yang sempit, naif, dan meneror. Kelompok nasionalis yang ultra tersebut tidak toleran terhadap perbedaan.

Kelompok lain yang berbeda dengan dirinya akan dianggap ancaman terhadap negara memgikuti pandangannya sendiri yang tertutup. Akibatnya, sikap dan tindakannya pun suka sewenang-wenang atas nama cinta bangsa dan negara, bahkan tak segan melakukan kekerasan atas nama bela negara.

Dalam konteks keagamaan, ketika cinta bangsa dan negara atau cinta Tanah Air dibungkus dengan kredo hubbul wathan min al-iman, yang terjadi malah bias perilaku dan represif. Agama dan iman bukan menjadi ajaran pencerah, sebaliknya sebagai alat pemukul yang sakral. Gampang menuding pihak lain radikal, padahal dirinya sama radikalnya.

Karena paham ultra-nasionalisme yang berlebihan, maka melahirkan ketidakseimbangan antara jiwa keimanan dan cinta ketanah-airan. Imannya menjadi kering karena serbaverbal dan jarang dijernihkan, sementara cinta negerinya serbaekstrem dan berhenti di kulit luar. Dimensi iman yang sublim (jernih dan mencerahkan ruhani) dikalahkan atau bahkan menjadi subordinasi dari nasionalisme yang ingar-bingar.

Akibat lebih jauh bahwa iman sebagai ranah transendensi (melampaui, tak terbatas) yang bersumbu pada tauhid menjadi serbaimanen (dekat, sekuler)dan kehilangan pengaruh nilai ruhaniahnya yang mencerahkan dalam jiwa berbangsa dan bernegara.

Dengan ultra-nasionalisme yang naif seperti itu, maka sensitivitas terhadap simbol-simbol ketuhanan, keagamaan, dan keimanan yang murni menjadi mati suri dikalahkan simbol-simbol verbal nasionalisme yang dangkal. Lafaz Asma al-Husna pun dengan ringan direduksi oleh orientasi ideologi dan politik yang sempit sehingga kehilangan nilai dan maknanya yang luhur.

Paham nasionalismenya yang ultra dan radikal dapat mengalahkan pandangan keagamaan atau keimanannya yang damai dan luhur. Kalimah tauhid dihayati serba dhahir dan tercerabut dari batinnya yang esensial karena dibayangi cemburu buta dan sikap curiga terhadap siapa pun yang dianggap ancaman bagi diri dan negerinya.

Cinta butanya terhadap Tanah Air sampai mengalahkan cinta sejatinya kepada Allah sebagaimana dilukiskan Alquran, yang artinya: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS: at-Taubah Ayat: 24).

Muslim di mana pun, meskipun cinta Tanah Air, niscaya lurus tauhidnya kepada Allah sebagaimana firman-Nya: ”Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-An’aam: 162). Bukankah di antara ciri orang-orang yang beriman, mereka amat sangat mendalam cintanya kepada Allah?

Maka, sungguh merugi manakala ada yang bersikap tahawwur atau nekat dengan meluruhkan iman nan jernih dan mengoyak keutuhan ukhuwah dengan saudara seiman demi cinta Tanah Air yang berlebihan. Padahal, Islam mengajarkan, sebaik-baik urusan ialah yang bersifat tengahan. Lalu, mengapa mesti mengambil jalan radikal untuk mencintai Indonesia dalam sangkar besi ultra-nasionalisme yang usang?

Monday, 2 July 2018

Menarasikan Tokoh-tokoh Bangsa

*Menarasikan Tokoh-Tokoh Banngsa*
Indra Trenggono

Nasionalisme adalah "menu" yang kurang diminati kalangan anak muda. Nasionalisme masih termarjinalisasi di atas "meja prasmanan" yang penuh sesak nilai, gagasan, paham, filsafat, atau ideologi yang berbasis pada agama, materi, kapital, dan pasar.

Kalangan anak muda pun terbelah. Mereka yang taat beragama cenderung menyukai atau dekat dengan radikalisme. Adapun mereka yang sekuler cenderung menjadi hedonis atau menyukai hedonisme. Lalu, di mana anak-anak muda yang nasionalis atau penghayat dan pengamal nasionalisme?

Fenomena yang mengkhawatirkan itu bisa kita lihat dari dunia pendidikan. Banyak sekolah berorientasi pada nasionalisme kini susut, surut, bahkan gulung tikar. Ini berkebalikan dengan sekolah-sekolah yang berorientasi pada agama yang semakin menguat. Adapun sekolah negeri, yang semestinya mengembangkan nilai-nilai nasionalisme, tidak sedikit yang terpapar paham radikal.

Sekolah sebagai lembaga yang mendidik mengasah akal budi dan mengajarkan pengetahuan/ keilmuan serta kemampuan teknis bisa disebut garda depan kebudayaan bangsa. Otomatis kualitas, karakter, dan orientasi nilai para siswa lebih ditentukan  internalisasi nilai-nilai dalam sistem pendidikan dan pengajaran yang dijalankan sekolah daripada  keluarga dan masyarakat.

Jika kurang dihadirkan dalam wahana pendidikan formal dan informal, nasionalisme terancam jadi "jimat" dibandingkan ideologi yang bekerja. Sebagai "jimat", nasionalisme dimunculkan hanya dalam ritus-ritus sosial dan politik. Itu pun dengan cara yang kurang menyentuh kesadaran dan memberikan inspirasi.

Melemahnya nasionalisme dan mengecilnya jumlah nasionalis berdampak pada pelucutan identitas, karakter, dan perilaku patriotik warga negara dan penyelenggara negara. Lahirlah masyarakat "anonim" dan pragmatik yang permisif terhadap penguatan segala paham/ideologi non-kebangsaan dan penguasaan aset bangsa atas kuasa modal asing. Akhirnya yang muncul lebih banyak komprador atau kolaborator daripada patriot-patriot sejati bangsa. UU dan regulasi pun otomatis cenderung berpihak pada kuasa modal asing.

Di sisi lain, lenyapnya rasa cinta dan bangga pada bangsa dan negara berakibat tergerusnya integritas, komitmen, dan dedikasi mereka yang punya otoritas atas negara. Terjadi reduksi kepentingan dari publik ke privat melalui korupsi uang dan korupsi politik/kekuasaan. Setiap aktor kekuasaan merasa hanya bertanggung jawab pada diri sendiri dan keluarganya sehingga tidak malu menumpuk harta yang semestinya didistribusikan kepada rakyat. Begitu juga dalam soal akses ekonomi yang dikuasai lebih banyak kelompok elite. Rakyat kian sulit mendapatkannya.

Generasi steril

Kehidupan berbangsa dan bernegara yang nir-nasionalisme melahirkan generasi muda yang "tuna-nasionalisme". Mereka bersekolah, kuliah, lulus, mendapat ijazah dan bekerja hanya bercita-cita jadi orang yang mukti (melimpah harta) dan lupa keadaan kanan-kiri. Mereka jadi steril atas persoalan-persoalan kebangsaan, seperti ketidakadilan, kemiskinan, dan kebodohan serta kebangsaan. Mereka pintar, tetapi tidak lantip (memiliki orientasi nilai sosial) dan waskita (memiliki orientasi nilai ideologis-spiritual).

Generasi yang lahir pun lebih banyak generasi "mesin". "Mesin" hanya patuh pada perintah yang mengendalikan dan memberinya bahan bakar. Mereka hanya tahu knop on dan off atau layaknya komputer mereka hanya enter, shift, backspace, save,   tapi lupa hal-hal di luar dirinya.

Mereka pun menyerahkan totalitas dirinya pada gawai, hidup dalam kubangan isu, gosip medsos dari soal narsisme sampai hoaks. Melemahnya daya kritis menjadikan mereka gampang diindoktrinasi paham-paham radikal dan mudah diadu domba. Mereka hanya tahu yang serba tampak dan sedang aktual. Jangan kaget jika mereka gagap mengucapkan sila-sila dalam Pancasila atau menyanyikan lagu "Indonesia Raya". Jangan kaget juga jika mereka tidak paham apa itu Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, Sukarno, Soeharto,  dan presiden RI berikutnya. Apalagi nama-nama menteri. Mereka lebih hafal nama-nama artis atau pemain sepak bola yang sedang populer.

Forum udar kisah

Bahaya terbesar bagi suatu bangsa adalah lupa pada sejarah. Bangsa yang ahistoris tak lebih dari kumpulan besar manusia tanpa orientasi nilai. Bangsa macam itu gampang ditelikung dan dikuasai kekuatan yang mengincar kekayaan negeri ini. Dalam konteks ini, inisiasi sekolah kebangsaan menjadi penting.

Namun, bukan sekolah  kebangsaan yang diselenggarakan secara konvensional layaknya anak didik menghafal teks buku-buku sejarah, melainkan sekolah dengan pendekatan baru. Yakni, proses pendidikan dan pengajaran yang tidak formal, kaku, dan kering, melainkan lebih mendekati sebuah forum udar kisah dan gagasan yang mengutamakan kekuatan narasi.

Selain itu, materi pelajaran tak selalu berupa teks-teks pengetahuan yang konseptual dan abstrak, tetapi teks-teks tentang tokoh-tokoh bangsa. Misalnya ngobrol bareng tentang HOS Tjokroaminoto, Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Ki Hadjar Dewantara, Kartini, Tjut Nya Dien, atau Hamengku Buwono IX.

Narasi tentang mereka berisi tentang karakter para tokoh yang terpantul dari perjalanan dan dinamika perjuangan yang mereka lakukan. Banyak fakta historis berupa sisi-sisi kemanusiaan yang perlu diangkat karena selama ini tak pernah muncul jadi pengetahuan publik. Sambil menikmati minuman dan kudapan, mereka mendengar, memaknai, dan melakukan internalisasi nilai-nilai patriotisme para tokoh bangsa. Selanjutnya dilakukan dialog dengan narasumber dan sesama peserta ngobrol. Kiranya cara ini sesuai dengan gaya anak muda yang tidak suka diindoktrinasi dengan gaya ceramah.

Proses menyimak dan menghayati berbagai narasi mendorong imajinasi mereka hidup, berkembang, dan membuka ranah-ranah kemungkinan yang memperkaya cara pandang. Soal ini, bisa menjadi tebusan kultural atas bangsa kita yang selama ini cenderung miskin imajinasi.

Pola penarasian tokoh-tokoh bangsa, baik secara pemikiran, kepribadian, maupun proses terbentuknya ketokohan melalui paparan peristiwa penting bisa dilakukan berbagai kalangan anak muda dan kantong-kantong sosial-budaya. Tentu dengan pendekatan masing-masing. Yang penting, kisah tokoh itu mengandung nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme, sekaligus watak yang terbangun dalam diri tokoh yang menjadikannya mendarmakan totalitas dirinya pada rakyat dan negara.

Indra Tranggono
Pemerhati Kebudayaan

Kompas, 2 Juli 2018

Saturday, 24 March 2018

Ingin merasakan kehadiaran Tuhan

Ada yang datang membawa cerita "Masa mudaku kurang berbunga-bunga bukan kurang bergaul dan kurang banyak teman, melainkan karena kurang bermain."

"bermain-manilah kalau begitu" kataku.

"itulah, sudah kucoba mengikuti mengikuti gaya hidup orang yang nampak sangat membahagiakan: jalan-jalan, semalaman di tempat hiburan, pesta pora, karaokean, dan lain-lainnya. Tapi entah mengapa, dari setiap aktivitas itu tak sedikitpun ada kerinduan untuk mengulanginya. semua terasa kosong, tak ada makna,  sia-sia. hanya buang-buang waktu saja."

"kalau begitu jatuh cinta-lah"

"Apalagi itu, saya merasa tak punya waktu untuk jatuh cinta." Katanya.

"Sebenarnya apa yang kau inginkan atau apa yang sebenarnya kau sibukkan?" tanyaku

"Aku ingin merasakan kehadiran Tuhan, benar-benar hadir. aku sibuk mencari cara untuk itu."

"Wah... abottt tenan.. aku yo pengin juga, cuma bedanya belum menyibukkan diri sepertimu dan merasa tak perlu sibuk-sibuk untuk itu" jawabku..

"Kenpa begitu?"

"Entahlah..,!!"

Wednesday, 21 March 2018

LOCAL GENUS HMI, ADAKAH?!


Oleh : Ikhwanushoffa

Prasaran
Setiap peradaban besar pasti mempunyai pilar penyangga. Yakni memiliki nilai unggul universal baru dan tetap merengkuh nilai tradisional yang bermanfaat. Paling tidak itu yang diungkap oleh DR Sir Mohammad Iqbal ketika menceritakan kejayaan Yunani, dan DR Hassan Hanafi ketika memeri kehebatan Mao Tse Thung dalam mengukuhkan China.
Kesadaran ini sebenarnya sudah jamak dalam pikiran kader, tetapi dalam praktiknya tentulah tidak mudah. Gegap gempita polah gerakan mahasiswa ikut menarik-narik konsentrasi HMI dalam fokusnya mendidik diri. Kalaupun ada yang konsern dengan pembangunan nilai-nilai, kebanyakan lebih menawarkan nilai-nilai baru yang memang kelihatan lebih wah.

Ketika saya menyeleksi calon peserta LK III di Padepokan Syeh Siti Jenar saat itu, sempat mengemukan tidak saja nilai strategis dari local genus, tetapi juga kedahsyatannya. Tetapi ternyata itu tidak keluar, bahkan ketika pelaksanaan LK III. Problemnya ternyata sederhana, nilai  lokal itu ada disekitar kita, maka bila nilai itu tidak dihayati maka akan sangat mudah untuk menilainya, jadi sangat terukur. Tentu ini jadi problem bagi yang belum siap melaksanakannya, hatta itu oleh peserta LK III yang merupakan post LK kita.

Tawaran
Dalam kesempatan baik ini kembali saya menawarkan nilai tradisional yang sejak saya aktif di HMI selalu saya kampanyekan, karena akan benar-benar memperjelas posisi gerak kita, sekaligus menjadi pembeda yang gamblang  antara MPO dengan Dipo, sedemikian sehingga kita menjadi layak merasa penting untuk eksis. Nilai tradisional tentang: Harta, Tahta dan Wanita, amat khas dalam khasanah mozaik Indonesia. Nilai-nilai itu coba saya turunkan dalam agenda gerakan.

Harta
Dalam antologi tulisan-tulisan saya ketika masih aktif di Himpunan, yakni Corat-Coret Seorang Kader ada bab yang khusus membahas soal ini, judulnya “Bareng-Bareng”. Dalam pemenuhan sarana teknis untuk aktifitas HMI sungguh paling tepat kita meminjam konsepnya Mahatma Gandhi: Swadesi. Maka nilai-nilai pengorbanan akan tetap bertahan secara maksimal. Kita menjaga jarak dari pengajuan proposal kepada founding. Founding luar negeri begitu mengerikan kalau sudah menggelondorkan dana. Rata-rata diatas budget yang dibutuhkan, maka mark up-pun dengan senang hati dilakukan. Character assassination, itulah yang dilakukan para founding, sengaja atau tidak. Nilai kejujuran dan pengorbanan dibunuh, perlahan diganti dengan ketergantungan dan kesilauan terhadap proyek.


Tahta
Sungguh membosankan melihat kader yang bangga bisa bertemu pejabat atau politikus, lebih repot lagi bila hal itu dianggap prestasi. Kita bacalah tulisan-tulisan Kuntowijoyo, yang dengan jernihnya, dari pembacaan secara sejarah  yang jeli mampu membuktikan secara paradigmatik bahwa politik bukan penentu peradaban. Maka sangat pantas bila Himpunan ini berkonsentrasi mendidik manusia. Membangun karakter kader yang tidak terbawa arus dalam perubahan sistem politik apapun. Rosululloh sendiri sudah membuktikan bahwa manusialah penentu, bukan sistem. Usahlah kita berdebat mana dulu antara ayam dan telur.
Sungguh memilukan bagi saya bila pengurus HMI begitu enjoy keluar masuk gedung parlemen atau departemen bukan dalam rangka mengevaluasi, tetapi meminta jatah.

Wanita
Supaya ini tidak dianggap sebagai bias gender, saya ganti istilah dengan lawan jenis atau hijab. Ya, HMI kita ini mustinya hijabnya harus lebih ketat dibanding Dipo, ini bukan apa-apa, ini soal Islam.
Ketiga hal diatas bagi saya sebenarnya sekedar derivate dari makna Independensi di Khittah HMI yang entah saat ini masih tercantum atau tidak.
Sungguh bila local genus itu tidak ada di Himpunan kita, maka pertanyaan saya  adalah apa bedanya kita dengan Dipo?! Dipo dari dulu sudah dekat-dekat dengan kekuasaan, sudah biasa menerima proyek dan sebegitu bebasnya dalam pergaulan. Lalu bila mulai mirip-mirip dengan Dipo masih pantaskah kita ada?!
Local genus itu semacam raison d’etre (asbab keberadaan) kita, karena kita lahir dari rahim yang sama maka hampir bisa dipastikan kita punya nilai-nilai universal yang sama. Coba kalau sekarang teman-teman mulai membikin link dengan senayan atau istana, yang sudah sejak sononya Dipo melakukan itu sedemikian sehingga kita hanya akan menjadi yunior baginya. Tidak akan pernah besar sesuatu yang sekedar jadi pengekor.

Saran
Namun bila local genus itu dirasa tidak mungkin dilakukan oleh HMI kita, bila dianggap tidak realistis, maka dengan keikhlasan, dengan sejernih-jernihnya pemikiran, saya menyarankan untuk ada reunifikasi antara MPO dan Dipo.
Teman-teman tidak perlu emosional dalam hal ini, kalau memang kader-kader  mulai konsern menjalin hubungan dengan birokrat dan politikus, mulai menikmati adanya proyek, dan berijtihad bahwa itu juga untuk perjuangan, itu sah-sah saja.  Bagi saya ijtihad itu perlu ditingkatkan, demi kebaikan yang lebih besar, demi Indonesia.
Dulu sebelum ada MPO-Dipo suara HMI benar-benar menentukan kebijakan Negara, ini mungkin yang belum banyak diketahui kader MPO saat ini. Maka bila memang ijtihad kader sekarang, HMI harus konsern ikut menentukan kebijakan Negara, maka betapa amat efektifnya bila itu dari HMI yang satu.
Saya paham, bahwa sebenarnya LK kita memang mendidik kader untuk jadi pemimpin. Sejak Hasan Metarium dan Aisyah Amini ikut TOT ke India dan kemudian ditelurkan menjadi pelatihan formal di HMI ujudnya LK-nya adalah Latihan Kepemimpinan, dan ketika dimetamorfosis menjadi Latihan Kader secara subtansial tidak ada perubahan, tetap tuntutannya menjadi pemimpin. Tidak ada kok dalam LK kita diajarkan bagaimana menjadi bawahan yang tawadlu, lha wong ada peserta pendiam saja dibuat bagaimana caranya bisa bicara. Semua dituntut untuk jadi penggerak, dan itu adalah pemimpin. Maka wajar bila akhirnya banyak kader yang tertarik dengan politik, dan banyak kader yang bertanya ke alumni sudah memimpin apa di daerah masing-masing!
Jangan sampai sekedar sejarah yang berbeda, kita terus merasa berbeda. Tidak ada dosa turunan. Yang penting kini. Bila kita mengkaji secara heurmenetik sejarah Himpunan ini, diawali dengan dialog intens dengan pelaku sejarah dan membaca secara cermat manuskrip-manuskrip saat itu, Insya Alloh bila apa adanya, akan ada  kesimpulan bahwa pada medio 1985-1986 kenapa kanda-kanda kita begitu heroic memegang azas Islam tidak lain dan tidak bukan karena memang pemahaman islamisasi sedang massif di HMI.  Jangan lihat kanda-kanda itu saat ini. Kita harus tahu bagaimana saat itu beliau-beliau begitu teguh dengan ibadah mahdloh (rajin puasa sunnah, rajin tahajud, dsb), begitu basah lisannya dengan nash-nash, begitu getolnya dengan kampanye hijab (jilbab saat itu). Pun juga dalam berpolitik, begitu beraninya mereka menentang Soeharto yang dianggap representasi kaum kufar. Tentu juga dalam islamisasi keilmuan yang sudah kita ketahui bersama.  Alam pikirannya sungguh-sungguh ajaran islam itu syumul dan sungguh mereka jalankan dalam keseharian. Dalam kondisi seperti itu, mereka ditekan adanya azas tunggal, tentu mereka berontak. Tetapi bila kejadian itu terjadi pada kader yang wujudnya seperti saya ke bawah, yang pahamnya sipilis kata orang salafi, sekularisme-pluralisme-liberalisme, di tahun saat itu, rasanya kok kita tidak akan sebegitunya menentang azas tunggal.

Khotimah
Sebenarnya pengendalian diri akan kedudukan, fasilitas hidup dan lawan jenis hanya sekian buah dari Tanaman Akbar yang dipelihara oleh mu’min yang Ihsan, yaitu: syajaratu az-zuhud (Pohon Kezuhudan). Wallaahu a’lam. (sh, sragen 11 Shafar 1434 H)

Ikhwanushoffa
Kader komfak Ushuluddin UIN Sunan kalijaga. Sekum HMI Badko Inbagteng periode 2001-2003



Monday, 19 March 2018

Kita Butuh Nyepi

I WAYAN WESTA

Nyepi menjenguk kita kembali, satu perayaan tahun baru Saka yang tak dirayakan dengan ingar-bingar.  Tak ada kembang api dan suara terompet, tak ada tepuk tangan, tak ada pesta jalanan  dengan suara gemuruh. Sungguh antiklimaks dari riuh keseharian  sepanjang tahun.

Dan Nyepi menjadi semacam drama kesunyian di mana kegaduhan dipulangkan ke dalam hening. Dan kita  kemudian menyepakati; Nyepi adalah cara ampuh menge-nol-kan diri. Ke titik inilah  semua drama hidup dikembalikan: dari nol menuju nol, dari sunyi menuju sunyi.
Semua atribut badani diistirahatkan, indria-indria dikendalikan. Ini ritual agung ke dalam diri paling dramatik— poya-poya, nafsu rendah, kerakusan akan materi ditekuk ke titik nadir, bahwa  jalan materi bukanlah tempat bersandar  abadi.

Musuh terbesar

Nun dalam perjuangan paling dramatik itu, lawan paling tangguh  manusia adalah dirinya sendiri. Bukankah globalisasi, kapitalisme, dan konsumerisme telah menyentuh sisi-sisi paling dasariah manusia? Betapa mahalnya hening hari ini di tengah-tengah  revolusi informasi yang telah mengubah penduduk bumi  menjadi homo digital, hal mana dunia bisa direngkuh dalam satu lentikan ujung jari di layar ponsel cerdas. Ini adalah dunia  senyap sekaligus dunia yang gaduh.

Satu misteri bumi  disulap menjadi kian datar. Lewat kebudayaan nirkabel, manusia berhadapan dengan sejumlah kemungkinan dan pilihan. Inilah "durga maya", sesuatau yang dianggap misteri sekaligus menjadi realitas.  Eric Schmidt bersama Jared Cohen, lewat buku bertajuk The New Digital Age,   diterbitkan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dengan judul Era Baru Digital (2014), mengingatkan kita tentang lompatan besar itu. 

Dalam kata pengantar cukup menegangkan, penulis The New Digital Age itu mencatat, dalam sejarah planet ini, internet-lah eksperimen terbesar yang melibatkan anarki. Setiap menit, ratusan juta orang membuat dan menyerap konten digital yang tak terhitung banyaknya, dalam dunia online yang tak terikat pada hukum bumi. Kemampuan baru berekspresi dan menggerakkan informasi dengan leluasa pun melahirkan lanskap virtual mahakaya yang kita kenal hari ini.

Bayangkan setiap hubungan yang ditempa, setiap perjalanan yang direncanakan, setiap pekerjaan yang ditemukan, juga setiap mimpi yang terlahir, mendewasa, dan mewujud lewat platform ini. Sampai di sini, Jared Cohen bersama Eric Schmidt pun mewanti, "Renungkan juga semua fenomena yang dimungkinkan ketiadaan kendali atas-ke-bawah: penipuan online, kampanye hitam, situs kelompok pembenci, dan ruang-ruang obrolan teroris. Inilah internet, ruang nirpenguasa terbesar dunia".

Krisis kejiwaan dan moral

Dan dalam dunia  yang riuh sekaligus senyap itu Nyepi kita butuhkan untuk mengontrol insting-insting primata kita yang liar, menemukan kemanusiaan kita, menyadari hening  itu menjadi kebutuhan menghaluskan jiwa dari kekasaran-kekasaran libido primata. Lawan ketamakan sesungguhnya adalah kesederhanaan. Satu aras hidup dikendalikan dengan satu kata; cukup.

Itulah Nyepi, upaya terus-menerus merawat jiwa. Hidup bukan melulu menyangkut  soal bagaimana  rasa lapar dan  haus dipuaskan, nafsu-nafsu dikobarkan, semua dikuasai. Dalam semesta hidup ada jiwa yang perlu dirawat,  karenanya ia  perlu nutrisi jiwa (amreta jiwa). Setelah menyadari bekapan tubuh yang rapuh,   jiwa pun sadar, bahwa  sejatinya ia adalah hening, melampaui  kehadiran dan ketidakhadiran. Melampaui masa kini, masa lalu, dan masa depan. Itulah parama artha sunya, jiwa yang mengatasi hidup.

Nyepi adalah persoalan merawat jiwa, persoalan merawat batin di dalam. Dalam kehidupan berbangsa misalnya, kita perlu memeriksa ulang pendekatan-pendekatan pembangunan kita, yang selama ini melulu mengejar pertumbuhan ekonomi.  Willy Brandt, dari TheIndependent Comission on International Development Issues, Leppenas, 1980, jauh-jauh hari telah mengingatkan, mengajukan diadakannya penilaian kembali atas prioritas-prioritas, pertimbangan-pertimbangan non-ekonomi diperhitungkan secara bersungguh-sungguh.

Pertimbangan-pertimbangan non-ekonomi ini penting disadari dalam rangka pembangunan jiwa. Proyek-proyek fisik mesti diimbangi dengan proyek-proyek meta-fisik. Pemberdayaan sedalam-dalamnya peran kebudayaan dan  peran seni dalam pengertian lebih luas akan menyalakan  gen peradaban batin  bangsa ini. Betapa di situ, seluruh dimensi pembangunan tak cuma menyentuh pembangunan fisik, tapi turut serta merawat jiwa anak-anak bangsa.

Krisis semesta hidup yang kita alami hari ini boleh jadi berhulu sumber pada krisis kejiwaan– krisis moral. Karena yang sesungguhnya terjadi jiwa-lah yang lupa kita rawat. Praktik pendidikan  jauh dari spirit pemuliaan hidup. Seperti mencetak robot-robot tak berjiwa. Otak mereka cerdas, tapi jiwa-jiwa mereka lemah, moral mereka tak menyala. Kita lupa mengajarkan kesederhanaan, kita lupa mendidik mereka memaknai hidup, saling menghormati dan bertanggung jawab.  Kita tahu, kemulian itu sejatinya adalah kebaikan-kebaikan kecil yang menyala di setiap sanubari anak bangsa.

Melawan ketamakan diri

Dan kita semua sesungguhnya butuh Nyepi. Kita butuh energi untuk melawan ketamakan diri sendiri. Bila sehari sebelum Nyepi orang Bali menggelar ritual Tawur, makna simboliknya tak semata menggembalikan unsur pembangun semesta hidup untuk menjadi segar kembali, akan tetapi  ini sekaligus menjadi ajang "pertempuran" tak pernah  henti. Pertempuran melawan musuh-musuh di dalam diri,  melawan; ketamakan, kemalasan, kedengkian, kemarahan, kebodohan, dan karakter-karakter rendah lainnya.

Nyepi bukanlah pertunjukan kolosal yang riuh, bukan perjalanan keluar dengan pesta melimpah, penuh sorak gempita. Nyepi menjanjikan bahwa keheningan itu adalah juga nutrisi jiwa, yang terlalu lama kita lupakan. Keheningan yang kelak membuat jiwa-jiwa tersenyum, seperti senyum matahari saat fajar menjenguk. Kita memang telah lama membiarkan jiwa ini tak  menyala, tertekan sejumlah problem tubuh dan mental. Karenanya para tetua  Nusantara-Bali memberi jalan, temukan hening di dalam, saat mana, niat rendah, indria-indria liar bertemu jiwa hening di dalam — di situ semua yang kasar, kembali pada  ke maha-heningan. Itulah sunyi yang membebaskan.

Bila esok hari  Nyepi jatuh bertepatan dengan hari suci Saraswati, hari pemuliaan Tuhan karena telah menurunkan ilmu pengetahuan untuk membebaskan derita hidup manusia, segera kita sadar, tugas penting ilmu pengetahuan itu untuk memuliakan hidup dan mengharmonikan dunia. Tentu hanya mereka yang telah menemukan hening dalam diri bisa melakukan itu– karena ia bebas dari dialektika,  ia telah melampaui tubuh dan pikiran

I WAYAN WESTA
PEKERJA KEBUDAYAAN, TINGGAL DI DENPASAR


Kompas, 16 Maret 2018

Friday, 16 March 2018

Mencari Kabar ”Mutawatir”

Oleh DAMHURI MUHAMMAD
Kompas, 15 Maret 2018


Ribuan  tahun silam, nun di Yunani kuno, filsuf Plato (427-347 SM) menukilkan sebuah kisah yang lazim dikenal sebagai Allegory of the Cave. Tentang sejumlah  manusia yang terkurung dalam gua.

Dalam Politeia (514a-517a)—sebagaimana dikutip A Setyo Wibowo (2010)— Plato menggambarkan satu sisi dari dinding gua itu memantulkan bayang-bayang dari api unggun yang menyala di belakang orang-orang terkurung itu. Oleh karena sekumpulan manusia dalam gua itu berada dalam keadaan terbelenggu—tak bisa menengok ke kiri, ke kanan, dan ke belakang—lalu mereka memercayai bayang-bayang yang memantul di dinding gua sebagai kenyataan yang sejati.

Hingga suatu saat ada yang berhasil membebaskan diri, lalu menengok ke belakang. Ia melihat secara langsung realitas yang lebih asali dari sekadar bayang-bayang di dinding gua.

Dari kisah alegoris itu Plato kemudian merumuskan empat tingkatan pengetahuan. Pertama, pengetahuan yang didasarkan pada bayang-bayang di dinding gua, yang ia sebut pengetahuan konjektural, alias dugaan belaka.

Kedua, sebagaimana  manusia bebas yang telah melihat kenyataan secara langsung, tetapi masih berada di dalam gua, maka pengetahuan indrawi itu masih diselimuti oleh doxa (opini) atau pistis (kepercayaan). Bagi Plato, jika manusia bebas itu mau bersusah payah, ia akan mencapai pengetahuan sejati, atau dalam istilah Plato disebut noetik.

Meski begitu, noetik tak mudah digapai karena sebelum menggapainya orang terlebih dahulu harus melihat bayang-bayang sebagai simbol dari pengetahuan analitis dan matematis. Dengan demikian, pada level indrawi (di dalam gua) atas dasar obyek indrawi yang dapat dilihat (bayang-bayang atau benda riil), manusia memang memiliki semacam pengertian, tetapi hanya dalam arti konjektur dan doxa. Sementara di level intelligible, di luar gua, manusia dapat meraih pengetahuan rasional.

Alegori platonik itu mengingatkan saya pada lalu lalang informasi di linimasa media sosial semacam Facebook—yang secara kebetulan juga menggunakan istilah ”dinding” (wall)– yang dapat saya umpamakan sebagai  bayang-bayang lidah api di dinding gua, sementara para facebooker adalah orang-orang yang terpenjara di labirin gua.

Para netizen begitu lekas menerima setiap kabar yang muncul sebagai pengetahuan. Padahal, informasi yang berseliweran itu masih diselubungi doxa.

Tak banyak yang bersusah payah untuk membebaskan diri dari kepungan linimasa, akibatnya mutu pengetahuan yang diperoleh tak meningkat ke level intelligible.


Fakta dan fiksi bersenyawa

Inilah sebuah kurun ketika fakta dan fiksi telah bersenyawa hingga sukar dipilah secara jernih. Dukungan dari kerumunan orang bisa membuat dusta beralih rupa menjadi kebenaran. Sebaliknya, kebenaran yang minim pembela bisa terpelanting sebagai bohong belaka. Berangkat dari dunia yang sedang terkeranda oleh semesta keabu-abuan itu, tahun 2016 kamus Oxford memilih terminologi post-truth sebagai Word of the Year.

Menurut catatan Wisnu Prasetya Utomo (2017), jumlah penggunaan istilah tersebut di tahun 2016 meningkat 2.000 persen jika dibandingkan dengan tahun 2015. Di ”dunia pascafakta”—demikian terjemahan Reza AA Wattimena (2017) atas istilah post-truth era—kebenaran tak lagi penting.

Yang dicari adalah kehebohan sesaat. Politisi bisa memenangi pilkada bukan karena ia berpijak pada kebenaran, tetapi karena mampu menghibur massa dengan kebohongan dan kehebohan dangkal.

Oleh karena itu, kata Reza, ”Fakta dan data tidak lagi penting. Yang dicari adalah sensasi yang mengaduk-aduk emosi. Berita di media sosial lebih berpengaruh ketimbang data dan fakta tentang kenyataan. Ini semua lalu menjadi pembenaran untuk kemalasan dan kedangkalan berpikir.”

Maka, terbuktilah kiranya apa yang telah diramalkan filsuf Friedrich Nietzsche (1844-1900) dalam On Truth and Lies in a Nonmoral Sense (1896) dengan konsep army of metaphors. Bagi Nietzsche, yang kita sebut sebagai ”kebenaran” tak lebih dari ilusi tentang sesuatu yang telah dikelupaskan dari diri sejatinya. Nietzsche menggunakan analogi sebuah koin yang martabatnya telah terdistorsi sebagai logam karena simbol dan gambar di permukaan koin itu sudah luntur dan tak dapat dikenali lagi.

Adapun yang mengakibatkan kebenaran terpelanting menjadi ilusi menurut Nietzsche adalah armada metafora, army of methapors, yang di era digital mungkin dapat diamsalkan dengan cyber army atau pasukan buzzer yang saban hari berkhidmat mendistribusikan informasi berdasarkan pesanan, guna membangun persepsi atas kepentingan tertentu. Akibatnya, seperti koin yang hanya tersisa sebagai logam, kebenaran terdegradasi jadi persepsi dan opini.


Melarikan diri

Lalu, masih mungkinkah kita melarikan diri dari gua platonik atau keterbelengguan di dinding linimasa alam maya?

Saya teringat kaji lama semasa di madrasah, nun di pedalaman Sumatera, khususnya perbincangan intens perihal hadis mutawatir. Makna dasar kata mutawatir sama artinya dengan kata at-tatabu’u, yakni ’berturut-turut atau beriring-iringan’.

Mahmud Thahhan (2007) menjelaskan, hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi (orang yang meriwayatkan) kepada semua thabaqat (generasi) yang menurut akal dan adat (kebiasaan) tak mungkin bersekongkol untuk berdusta.

Dari pengertian ini, A Qadir Hassan (1966) kemudian merumuskan sejumlah syarat bagi hadis mutawatir. Pertama, sanad -nya (rangkaian perawi yang mengantarkan materi hadis sampai ke sumber mula-mulanya; Muhammad SAW) harus banyak. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan besaran jumlah perawi tersebut dan pendapat yang terpilih adalah minimal 10 orang.

Kedua, ada keseimbangan jumlah perawi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Misalnya, jika sanad di generasi terkini berjumlah 50 perawi, maka generasi di belakangnya harus berjumlah sama, begitu seterusnya, hingga generasi sanad yang secara langsung mendengar matan (materi) hadis dari Nabi.

Ketiga, dari semua tingkatan generasi sanad yang sampai kepada sumber pertama, secara rasional dan secara adat (kebiasaan), mustahil mereka melakukan dusta bersama.

Keempat, sandaran kabarnya adalah pancaindra alias pengalaman empiris, yang ditandai dengan kalimat ra-ai-na (kami telah melihat) dan sami’na (kami telah mendengar). Artinya, perawi paling mula sungguh berhadapan langsung dengan sumbernya. Satu saja dari empat syarat itu tak terpenuhi, derajat ke-"mutawatir"-an hadis akan gugur seketika.

Tentang mutu kebenaran hadis mutawatir, jumhur ulama telah menyepakatinya dengan nilai dharury, yakni suatu keharusan untuk mengakui kebenaran informasi, sebagaimana orang yang telah menyaksikan suatu peristiwa dengan mata kepala sendiri. Semua hadis mutawatir adalah maqbul alias dapat diterima sebagai dasar hukum.

Metode verifikasi yang ketat, terukur, dan sudah ratusan tahun bekerja di ranah Ulumul-Hadist ini sangat berguna dalam memilah dan menyaring kabar di jagat maya. Kabar mutawatir dapat menyelamatkan kita dari kepungan doxa dan armada metafora di rimba raya pascafakta.



Damhuri Muhammad,
Pengajar Filsafat Universitas Darma Persada, Jakarta; Tenaga Ahli UKP-PIP