Friday, 3 February 2017

Tabayyun

Oleh: Muh. Taufiq Al Hidayah*

Pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami kini seiring dengan maraknya penggunaan media sosial menjadi rawan tersiar berita bohong (hoax). Malahan penyebaran informasi yang dilakukan oleh suatu kelompok sosial tertentu kepada pendengar atau khalayak yang heterogen serta tersebar di mana-mana makin gencar dilakukan guna mendulang massa. Akhirnya mudah sekali khalayak termakan hoax, kemudian menjadi aksi yang pada ujung dan pangkalnya mereka sendiri cenderung tidak begitu paham mengenai inti pokok persoalannya. Hanya sekedar mengikuti arus gelombang massa.

Apalagi dalam penyampaian pesan tersebut semakin didukung oleh media komunikasi yang setiap waktu dalam genggaman tangan, semakin memudahkan orang menerima informasi dan menyebarkannya kembali. Barangkali menyebarkan informasi yang diperoleh sekedar untuk membagi pengetahuan dan pengalaman. Atau ingin menjadi orang pertama dalam memberitakan maupun yang menginformasikan apa pun yang diperoleh. Kecenderungan untuk membagi tanpa terlebih dahulu memverifikasi kebenaran informasi yang diperoleh yang menjadikan berita bohong akhirnya menjadi konsumsi publik dan diyakini oleh massa sebagai kebenaran.

Satu hal yang luput dari perhatian kita di tengah banjir informasi hari ini, yaitu pemeriksaan tentang kebenaran laporan, informasi, perhitungan maupun lainnya berganti dengan latah jari membagikan. Pokoknya tinggal pencet share dalam sekejap informasi yang diinginkan tanpa ba.. bi.. bu.. akan tersebar. Begitulah. Perkawinan antara komunikasi dan teknologi informasi via internet ternyata melahirkan arus informasi yang telah memberikan beragam kemudahan dalam pergaulan hidup manusia yang tak lagi mengenal sekat, tak lagi sebatas ruang dan waktu. Hal ini pula yang menjadi tumpuan proses masuknya apapun ke ruang lingkup dunia.

Berbagi memang salah satu hal yang dianjurkan dalam agama, sebab berbagi dapat mengasah kepekaan sosial kita terhadap sesama. Berbagi informasi salah satunya. Informasi membuat kita hidup dengan mudah, juga bisa celaka. Berita, fakta, prasangka dan fitnah terkadang bercampur aduk, jika tak berhati-hati bisa berbahaya. Tak sedikit informasi yang disebar jadi penyebab orang masuk bui. Wajar jika Rasulullah bersabda, “Keselamatan seseorang tergantung pada menjaga lisan”. Lisan disini bukan hanya kata-kata yang keluar dari mulut kita, tapi tweet dan status, informasi yang di-share, SMS dan BBM yang di-broadcast.

Terkadang banyak dari kita yang menerima informasi tanpa pikir panjang menyebarnya begitu saja, kita malas mengecek kebenarannya. Itu sebabnya informasi mengalir begitu deras tak terbendung. Konon ketika berita baik menyebar beberapa kilometer, berita buruk lebih dulu mengelilingi dunia. Wajar jika kini persangkaan makin kuat diantara kita, padahal “Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran” (QS. An Najm [53]: 28).

Lantas bagaimana cara kita mengelola informasi yang baik? Setidaknya tanyakan beberapa hal ini pada diri kita sebelum menyebarkan informasi: Apakah informasi ini benar, sudahkah kita tabayyun? Apakah itu fakta atau prasangka? Jika fakta apakah perlu disebarkan? Apakah ada orang akan tersakiti dengan tersebarnya informasi itu? Terakhir, apakah informasi yang kita sebarkan memberi kebaikan atau justru menyulut permusuhan? Mari ber-tabayyun dulu.

Jangan Lupa Tabayyun

Tabayyun dalam tafsiran Al-Qur’an adalah mencari kejelasan hakekat sesuatu atau kebenaran suatu fakta dengan teliti, seksama dan hati-hati. Hal ini menjadi sangat diperlukan pada setiap diri setiap muslim. Bagaimana tidak, kadang hal yang harusnya menjadi konsumsi pribadi berubah jadi konsumsi publik, dari hal yang terlihat kecil, sepele, bisa saja disulut dan menjadi tampak besar, atau yang hari ini menuai puja-puji, esoknya bisa hina dina. Sungguh, kini dorongan untuk berbuat buruk, negatif, menyebar berita hoax justru menjadi daya gerak banyak orang/pihak dalam berkomunikasi.

Alkisah, pada suatu waktu sahabat nabi, Usamah bin Zaid, diutus dalam sebuah perang. Suatu ketika sahabat ini menyerbu musuh dan mendapati musuh itu terdesak sehingga tak bisa lagi melarikan diri. Merasa terdesak si musuh itu tadi mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallaah. Namun Usamah tak bisa menahan diri hingga akhirnya menghujamkan tombaknya, akhirnya musuh itu tewas. Kabar tersebut sampai kepada Rasulullah, kemudian beliau menanyakan langsung ke Usamah, ”Hai Usamah, mengapa engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah? Dijawab oleh Usamah, bahwa, ”Dia mengucapkan itu hanya untuk melindungi diri”. Namun Rasulullaah saw terus mengulang-ulang pertanyaan itu (HR. Bukhari). Bahkan di hadis riwayat Muslim, Nabi Saw bertanya kepada Usamah, “Apakah kamu telah membedah hatinya?”
Lain lagi cerita dari seorang yang hidup di zaman nabi yang bernama Al Walid bin Uqbah. Kala itu ia diutus untuk mengambil zakat Bani Al Musththaliq. Belum sampai ia di tempat amanahnya, ia melapor kepada nabi bahwa mereka enggan membayar zakat dan hampir membunuhnya. Mendengar hal ini, Rasulullah SAW segera bertindak mengklarifikasi laporan itu melalui Khalid. Hampir saja terjadi peperangan antar muslim karena kabar tersebut. Inilah yang menjadi latar dari turunnya perintah tabayyun (QS. Al Hujurat [49]: 6). Maka hal yang wajar, jika Allah menggariskan orang yang tak ber-tabayyun, itu akan menyesali perbuatannya, seperti halnya Usamah menyesal hingga merasa belum pernah masuk Islam sebelumnya.

Belakangan ini orang jadi sangat sensitif dan penuh prasangka negatif. Akal sehat seperti tumpul dikalahkan oleh realita yang ada, lalu sampai pada penggiringan sebuah opini individu yang menjadi kebenaran mutlak. Sehingga kebenaran hanya milik yang merasa benar. Hasilnya? “Fanatik Buta”. Informasi yang kadang nyatanya isu belaka dan tak bisa dipertanggungjawabkan bergulir liar diantara kita, mengelinding seperti bola panas, menyulut bagi yang tak berpikir jernih dan bersumbu pendek. Padahal, bisa saja isu itu adalah “trap” untuk mengetahui sedalam mana air beriak sehingga kedalaman air bisa diketahui, macam test of the water.

Inilah pentingnya mengetahui duduk suatu perkara, mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Bukankah dalam mencerna sebuah informasi kita harus adil seperti apa yang diungkapkan Pramudya Ananta Toer, “Adil sejak dalam pemikiran”. Ceroboh namanya jika informasinya langsung ditelan mentah-mentah tanpa lebih dulu menyaring. Lebih baik menjawab,“Saya tidak tahu” karena itu merupakan separuh ilmu, kata Syaikh Sholih Fauzan. Ketimbang menjawab asal-asalan, sok tahu, padahal tak mengusai ilmu, sehingga sesat menyesatkan terjadi.
Saya jadi teringat pidato gubernur Nusa Tenggara Barat pada Hari Pers Nasional 2016 lalu yang dihadiri oleh banyak tokoh pers se-Indonesia dan presiden Jokowi. Beliau sempat menceritakan pengalamannya ketika beliau berada di Mesir, “Satu-satunya berita yang masih dapat dipercaya hanyalah berita yang dimuat di halaman 10, yakni berita duka”. Bayangkan, saking tak ada informasi yang bisa dipercaya lagi, hanya berita duka itulah satu-satunya berita/informasi yang dapat dipercaya. Mengerikan. Allahumma arinal-haqqa haqqan warzuqnat-tiba’ah, wa arinal-batila batilan warzuqnaj-tinabah, bi rahmatika ya arhamar-rahimiin.

*Muh. Taufiq Al Hidayah, Mahasiswa Magister Ekonomi Syariah UIN Sunan Kalijga, Yogjakarta.

Tulisan ini terbit cetak di Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, 3 Februari 2017.
Categories:

0 comments:

Post a Comment