Friday, 10 February 2017

Apakabar aksi bela-bela?

Dipenghujung 2016 aksi bela Islam mampu menarik perhatian. Dari ibu sampai anak-cucu kota - bahkan sebagian dari desa/kampung - ikut menyemarakkan aksi super damai yang dipusatkan di Jakarta pada 2/12/2016. Ada yang menyebut, massa aksi tersebut adalah yang terbesar sepanjang sejarah Nusantara. Tak tanggung-tanggung jumlahnya lebih dari 7 juta.

Selain aksi tersebut, di 2016 juga muncul aksi bela yang lain yang tak selalu berbentuk demonstrasi: seperti bela pancasila, bela negara, bela rakyat, bela ulama, belah buruh, bela petani, dan aksi bela-bela sekawannya.  Olehnya, tidak keliru jika 2016 dinobatkan sebagai tahun bela-bela.

Di era informasi yang menbanjir begitu deras perhatian publik pun cepat berubah. Dampaknya setiap gerakan yang muncul baik sosial, budaya, politik, ekonomi, dll., dst., pun juga bersifat sementara. Apa yang diviralkan di media mendapat perhatian publik tetapi ketika fenomina lain muncul dan diviralkan yang sebelumnya dilupakan. Bersamaan dengan itu masalah yang diperjuangkan juga tak dipikirkan sampai tiba saatnya muncul gejala serupa dan kita baru sadar bahwa masalah yang lalu ternyata tak terselesaikan.

Begitulah, tampa disadari secara perlahan kita hanya sibuk mencari masalah dan mempermasalahkan tanpa pernah serius mencari jawaban apalagi menyelesaikan masalah. Akumulasi dari masalah-masalah yang ditabung itulah sepertinya yang kemudian menggunung dan kini kita memanin buahnya. Karena yang ditabung masalah maka buahnya pun berupa masalah.

Kini, kita baru mengetahui bahwa di semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara bermasalah. Sektor politik, hukum, keagamaan, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, energi, agraria, kesehatan, dan sektor lainnya penuh masalah. Maka muncullah beragam aksi bela di semua sektor sebagai bentuk luapan emosi pada keadaan yang (dirasa) menyesakkan.

Dalam sebuah tulisan, Kuntowijoyo pernah bilang kurang lebih begini "ketika masalah kini dirasa sangat menyesakkan dan tak kunjung dijumpai solusinya, maka banyak orang yang merindukan masa lalu." bersamaan dengan itu orang-orang ada yang berimajinasi  untuk membandingkan dengan keadaan saat ini yang kacau "kalau dulu begini, kalau dulu begitu, kalau dulu tidak begini dan tidak begitu,  andai saja dulu tidak begini dan tidak begitu".

Selanjutnya, dalam kebingungan menghadapi masalah saat ini, masa lalu yang dianggap lebih baik ingin dihadirkan sebagai solusi. Bahkan yang meninggalpun ikut bangkit dan aktif di media kekinian dengan sering bertanya "Piye, penak Jamanku toh?".

Nampaknya, saat ini kita baru sampai pada tahap mengetahui bahwa tabungan masalah sudah menggunung. Tetapi belum pada tahap menyadari. Olehnya, keingininan untuk menyelasikan masalah masih dibarengi dengan semacam fanatisme yang membuat solusi yang muncul dari diri dan kelompoknya dirasa paling segalanya. Yang agamawan merasa bahwa masalah saat ini hanya bisa diselesaikan dengan mengikuti petuahnya, yang politisi, ahli hukum, ahli ekonomi, ahli budaya pun juga berpandangan bahwa pendekatan berdasarkan keahlian mereka masing-masing yang bisa menyelesaikan. Dalam setiap kelompok keahlian masing-masing itu diam-diam mereka menertawakan dan meremehkan keahlian  kelompok yang lain.

Kalau masih seperti ini, aksi bela ini dan bela itu seberapun maraknya hanya akan menjadi seremoni insidental yang tak akan menjawab persoalan..
Categories:

0 comments:

Post a Comment