Oleh:
Zulhamdani
Kitab-kitab kuning masih tersusun rapi di
rak-rak buku perpustakaan: bisu, tak tersentuh. Kita pun tahu, sebenarnya
kitab-kitab kuning tersebut hanya sekumpulan kertas yang di bendel jadi satu,
buah tulis tangan dari pengarangnya. Apa yang tertulis dalam lembar demi lembar
kertas yang berwarna kuning, itu mula-awal dari kenyataan yang dipahami oleh si
pengarang, lalu diolahnya sehingga tersusun kata menjadi kalimat demi kalimat
yang dapat dibaca sampai dimengerti benar. Mula dari pemahaman yang dicerna
atas kenyataan inilah yang nantinya ditulis sebagai buah pemahaman dan
penangkapan seturut daya si pengarang mengolah kenyataan menjadi deret kata
demi kata, lalu menjadi kalimat sampai tersusun dalam paragraf dan di bendel
akhirnya menjadi yang apa kita sebut itu kitab.
Berbicara tentang tradisi dalam
penulisan kitab-kitab kuning berbahasa Arab, ada, katakanlah sebuah titik yang
menarik dari para pengarang atau penulis kitab kuning yang unik dan patut
dibicarakan. Sebuah titik yang menarik itu adalah membubuhkan
kata Wallahu a’lam (hanya Allah yang lebih tahu) atau lewat kata yang
senada dengan kata itu pada setiap akhir tulisan. Kata tersebut juga bisa
menjadi penutup dari sebuah tulisan yang menandakan tulisan yang Anda baca
sudah sampai akhir, tamat. Lalu apa maksud dari penulisan kata Wallahu a’lam
itu disana? Kenapa para kebanyakan pengarang atau penulis membubuhkan kata itu
sebagai akhir dari tulisan?
Bila kita berpikir secara teologis, kata
tersebut akan menjadi kata sakti yang membingkai indah sebuah tulisan, sehingga
pemahaman yang diperoleh tidak lebih dari secuil ilmu Allah. Allah dengan
semesta pengetahuannya menyisihkan sepersekian dari ilmu-Nya yang atas
pekenan-Nya pula singgah pada diri manusia yang haus pengetahuan ini. Di sisi
lain, tanda lewat kata Wallahu a’lam bisa juga dimaknai sebagai bukti
ketundukan diri manusia atas pencipta yang Maha Mengetahui. Implikasinya akan
ditarik kembali ke ranah spiritual bahwa manusia disadarkan kembali, bahwa
hanya Allahlah jua yang empunya pengetahuan. Sehingga berimanlah kepada-Nya,
karena Dia yang telah membuka tabir pengetahuan yang tak terbatas.
Tulisan ini tidak akan mengulas lebih dalam soal
itu dalam ranah teologis. Untuk hal itu, sila eksplorasi dan kembangkan lebih
jauh. Akan tetapi penulis akan berusaha menengok sedikit mengenai bubuhan kata Wallahu
a’lam dalam alur sirkulasi pengetahuan yang sampai ke hadapan kita.
Kita ambil contoh sederhana, bagaimana kita
memaknai sebuah bencana alam terlebih dahulu. Kita dan orang-orang di sekitar
ketika dihadapkan dengan bencana banjir bandang yang menelan banyak kerugian
besar harta-benda-nyawa. Lalu, dari kenyataan banjir tersebut menjadi bahan
pembicaraan yang hangat di sekitar kita. Orang-orang mulai memahami dalam diri
mereka masing-masing akan kenyataan tentang banjir itu. Kemudian, pada
gilirannya akan muncul pengungkapan sebagai buah dari pemahaman dalam diri
manusia. Dari situ mulailah bermunculan pendapat, bahwa banjir itu boleh jadi
sebagai bentuk laknat dari Allah kepada orang-orang yang merusak alam. Ada yang
memaknainya lain lagi, bahwa bencana banjir sebagai bentuk ujian bagi hamba-Nya
untuk “naik kelas”. Lain dari itu juga timbul penafsiran berbeda yang
menyebutnya sebagai rahmat, berupa berkah pasca banjir. Dan masih akan banyak
lagi pendapat ataupun penilaian lainnya yang bermunculan dari tiap
masing-masing orang.
Banjir tersebut pada intisarinya hanya sebuah
kenyataan. Kenyataan tersebut bisu tanpa bisa diajak bicara apa maksud dari
yang tampak [banjir] maupun yang tersembunyi dibalik setiap peristiwa atau
bencana. Lalu manusia yang berakal ini berhadapan dengan kenyataan yang bisu
itu, lalu aktif berpikir dan merenungkannya. Maka kenyataan yang bisu itu mulai
dipahami seturut kemampuan daya pikir dan sejauh jangkauan pemahaman akal
sehat, yang itu terbatas pula, sampai lahirlah sebuah pemahaman. Maka,
kenyataan yang bisu itu telah direduksi menjadi sebuah pemahaman. Kemudian
pemahaman yang ditangkap dalam diri manusia mulai diekspresikan ke hadapan
publik sehingga muncullah pemaknaan, penafsiran ataupun ekspresi lainnya.
Semuanya yang muncul itu pun bukan hasil yang penuh, namun telah terjadi
reduksi dari sekian banyak jaringan makna yang mengelilingi sebuah kenyataan
banjir. Jadi, dari kenyataan ke pemahaman kemudian ke ekspresi seterusnya telah
terjadi sebuah simplifikasi atau penyederhanaan dalam menangkap, mengungkap,
menyikapi sebuah kenyataan. Lalu, apa hubungannya dengan kata Wallahu a’lam?
Kita menyadari dalam alur sirkulasi pengetahuan,
salah satunya yang didokumentasi dalam kitab-kitab kuning juga lahir dari rahim
sebuah kenyataan yang bisu. Kita kembali ke masa Nabi Muhammad sebagai masa
turunnya Al-Qur’an dan disabdakannya hadis. Beliau tidak kosong dari kenyataan
yang dihadapi. Termasuk juga para sahabat atau dalam ranah yang lebih umum
disebut “Saksi Pertama Al-Qur’an dan Hadis” yang menjadi bagian dari kenyataan.
Mereka ikut juga memaknai kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka mengaitkan
ayat Al-Qur’an dengan sebuah kejadian atau sebuah kejadian berhubungan erat
dengan ayat Al-Qur’an, begitu juga pada hadis.
Pada gilirannya penafsiran para sahabat yang
menjadi memori kolektif itu juga dikonsumsi generasi setelahnya, sehingga
menjadi kenyataan yang baru lagi yang butuh penafsiran lagi dari generasi yang
berbeda setelahnya. Sirkulasi ini secara natural terpelihara hingga memamah
kitab-kitab yang sampai ke hadapan kita sehingga menjadi sebuah rangkaian dari
sekian banyak kenyataan, menjadi pemahaman lalu lahirlah penafsiran, kemudian
dari penafsiran itu menjadi kenyataan yang akan dipahami lagi lalu ditafsiri
lagi hingga sampai pada orang terakhir pada masa yang tak bisa dikira.
Mudahnya sebagai contoh, Tafsir Al-Azhar yang
dikarang oleh Buya Hamka merupakan hasil interpretasinya dari kitab-kitab tafsir
sebelumnya yang bisu yang dipahami Hamka kemudian ditulis-sampaikannya dalam
bentuk tafsir yang berjilid-jilid pula. Kita pun akan memahami dan menafsiri
ulang terkait apa yang dipahami Hamka sebagai seorang penafsir. Akan begitu
terus bila ditelusuri dan diproyeksikan lagi ke belakang sampai ke sumber
pertama yang menjadi kenyataan awal, sampai ke zaman nabi sejak 14 abad lamanya
dalam sejarah tradisi Islam.
Implikasinya, pengetahuan yang diwarisi sekarang
yang sampai ke kita adalah hasil reduksi dalam arti positif, sebagai semacam
bentuk penyederhanaan pemahaman akan kenyataan yang bertali temali sampai ke
zaman dahulu awal. Makanya dari alur sirkulasi pengetahuan ini menjadi momentum
kearifan seorang pengarang akan luasnya sebuah pengetahuan yang bertransimisi
waris-mewariskan dari memori orang-orang sebelumnya. Di sinilah kata Wallahu
a’lam berperan penting sebagai simbol kebijaksanaan pengarang atau penulis
yang menyadari bila mungkin saja terjadi reduksi dan menyerahkan hasil
sepenuhnya itu kembali kepada Allah (hanya Allah yang lebih tahu). Karena
pengetahuan yang dimilikinya pun juga sebagai buah hasil penafsirannya dari
warisan pengetahuan orang sebelumnya, yang tidak terbebas dari reduksi dan
penyederhanaan. Wallahu a'lam.
*Zulhamdani,
Mahasiswa
PPs UIN Sunan Kalijaga, bergiat literasi di MJS Project.
Tulisan
ini terbit di Buletin Masjid Jendran Sudirman edisi Jumat 20 Januari 2017.
0 comments:
Post a Comment