Thursday, 26 January 2017

Mengenai Wallahu a’lam

Oleh: Zulhamdani
Kitab-kitab kuning masih tersusun rapi di rak-rak buku perpustakaan: bisu, tak tersentuh. Kita pun tahu, sebenarnya kitab-kitab kuning tersebut hanya sekumpulan kertas yang di bendel jadi satu, buah tulis tangan dari pengarangnya. Apa yang tertulis dalam lembar demi lembar kertas yang berwarna kuning, itu mula-awal dari kenyataan yang dipahami oleh si pengarang, lalu diolahnya sehingga tersusun kata menjadi kalimat demi kalimat yang dapat dibaca sampai dimengerti benar. Mula dari pemahaman yang dicerna atas kenyataan inilah yang nantinya ditulis sebagai buah pemahaman dan penangkapan seturut daya si pengarang mengolah kenyataan menjadi deret kata demi kata, lalu menjadi kalimat sampai tersusun dalam paragraf dan di bendel akhirnya menjadi yang apa kita sebut itu kitab.

Berbicara tentang tradisi dalam penulisan kitab-kitab kuning berbahasa Arab, ada, katakanlah sebuah titik yang menarik dari para pengarang atau penulis kitab kuning yang unik dan patut dibicarakan. Sebuah titik yang menarik itu adalah membubuhkan kata Wallahu a’lam (hanya Allah yang lebih tahu) atau lewat kata yang senada dengan kata itu pada setiap akhir tulisan. Kata tersebut juga bisa menjadi penutup dari sebuah tulisan yang menandakan tulisan yang Anda baca sudah sampai akhir, tamat. Lalu apa maksud dari penulisan kata Wallahu a’lam itu disana? Kenapa para kebanyakan pengarang atau penulis membubuhkan kata itu sebagai akhir dari tulisan?

Bila kita berpikir secara teologis, kata tersebut akan menjadi kata sakti yang membingkai indah sebuah tulisan, sehingga pemahaman yang diperoleh tidak lebih dari secuil ilmu Allah. Allah dengan semesta pengetahuannya menyisihkan sepersekian dari ilmu-Nya yang atas pekenan-Nya pula singgah pada diri manusia yang haus pengetahuan ini. Di sisi lain, tanda lewat kata Wallahu a’lam bisa juga dimaknai sebagai bukti ketundukan diri manusia atas pencipta yang Maha Mengetahui. Implikasinya akan ditarik kembali ke ranah spiritual bahwa manusia disadarkan kembali, bahwa hanya Allahlah jua yang empunya pengetahuan. Sehingga berimanlah kepada-Nya, karena Dia yang telah membuka tabir pengetahuan yang tak terbatas.
Tulisan ini tidak akan mengulas lebih dalam soal itu dalam ranah teologis. Untuk hal itu, sila eksplorasi dan kembangkan lebih jauh. Akan tetapi penulis akan berusaha menengok sedikit mengenai bubuhan kata Wallahu a’lam dalam alur sirkulasi pengetahuan yang sampai ke hadapan kita.

Kita ambil contoh sederhana, bagaimana kita memaknai sebuah bencana alam terlebih dahulu. Kita dan orang-orang di sekitar ketika dihadapkan dengan bencana banjir bandang yang menelan banyak kerugian besar harta-benda-nyawa. Lalu, dari kenyataan banjir tersebut menjadi bahan pembicaraan yang hangat di sekitar kita. Orang-orang mulai memahami dalam diri mereka masing-masing akan kenyataan tentang banjir itu. Kemudian, pada gilirannya akan muncul pengungkapan sebagai buah dari pemahaman dalam diri manusia. Dari situ mulailah bermunculan pendapat, bahwa banjir itu boleh jadi sebagai bentuk laknat dari Allah kepada orang-orang yang merusak alam. Ada yang memaknainya lain lagi, bahwa bencana banjir sebagai bentuk ujian bagi hamba-Nya untuk “naik kelas”. Lain dari itu juga timbul penafsiran berbeda yang menyebutnya sebagai rahmat, berupa berkah pasca banjir. Dan masih akan banyak lagi pendapat ataupun penilaian lainnya yang bermunculan dari tiap masing-masing orang.

Banjir tersebut pada intisarinya hanya sebuah kenyataan. Kenyataan tersebut bisu tanpa bisa diajak bicara apa maksud dari yang tampak [banjir] maupun yang tersembunyi dibalik setiap peristiwa atau bencana. Lalu manusia yang berakal ini berhadapan dengan kenyataan yang bisu itu, lalu aktif berpikir dan merenungkannya. Maka kenyataan yang bisu itu mulai dipahami seturut kemampuan daya pikir dan sejauh jangkauan pemahaman akal sehat, yang itu terbatas pula, sampai lahirlah sebuah pemahaman. Maka, kenyataan yang bisu itu telah direduksi menjadi sebuah pemahaman. Kemudian pemahaman yang ditangkap dalam diri manusia mulai diekspresikan ke hadapan publik sehingga muncullah pemaknaan, penafsiran ataupun ekspresi lainnya. Semuanya yang muncul itu pun bukan hasil yang penuh, namun telah terjadi reduksi dari sekian banyak jaringan makna yang mengelilingi sebuah kenyataan banjir. Jadi, dari kenyataan ke pemahaman kemudian ke ekspresi seterusnya telah terjadi sebuah simplifikasi atau penyederhanaan dalam menangkap, mengungkap, menyikapi sebuah kenyataan. Lalu, apa hubungannya dengan kata Wallahu a’lam?

Kita menyadari dalam alur sirkulasi pengetahuan, salah satunya yang didokumentasi dalam kitab-kitab kuning juga lahir dari rahim sebuah kenyataan yang bisu. Kita kembali ke masa Nabi Muhammad sebagai masa turunnya Al-Qur’an dan disabdakannya hadis. Beliau tidak kosong dari kenyataan yang dihadapi. Termasuk juga para sahabat atau dalam ranah yang lebih umum disebut “Saksi Pertama Al-Qur’an dan Hadis” yang menjadi bagian dari kenyataan. Mereka ikut juga memaknai kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka mengaitkan ayat Al-Qur’an dengan sebuah kejadian atau sebuah kejadian berhubungan erat dengan ayat Al-Qur’an, begitu juga pada hadis.

Pada gilirannya penafsiran para sahabat yang menjadi memori kolektif itu juga dikonsumsi generasi setelahnya, sehingga menjadi kenyataan yang baru lagi yang butuh penafsiran lagi dari generasi yang berbeda setelahnya. Sirkulasi ini secara natural terpelihara hingga memamah kitab-kitab yang sampai ke hadapan kita sehingga menjadi sebuah rangkaian dari sekian banyak kenyataan, menjadi pemahaman lalu lahirlah penafsiran, kemudian dari penafsiran itu menjadi kenyataan yang akan dipahami lagi lalu ditafsiri lagi hingga sampai pada orang terakhir pada masa yang tak bisa dikira.

Mudahnya sebagai contoh, Tafsir Al-Azhar yang dikarang oleh Buya Hamka merupakan hasil interpretasinya dari kitab-kitab tafsir sebelumnya yang bisu yang dipahami Hamka kemudian ditulis-sampaikannya dalam bentuk tafsir yang berjilid-jilid pula. Kita pun akan memahami dan menafsiri ulang terkait apa yang dipahami Hamka sebagai seorang penafsir. Akan begitu terus bila ditelusuri dan diproyeksikan lagi ke belakang sampai ke sumber pertama yang menjadi kenyataan awal, sampai ke zaman nabi sejak 14 abad lamanya dalam sejarah tradisi Islam.

Implikasinya, pengetahuan yang diwarisi sekarang yang sampai ke kita adalah hasil reduksi dalam arti positif, sebagai semacam bentuk penyederhanaan pemahaman akan kenyataan yang bertali temali sampai ke zaman dahulu awal. Makanya dari alur sirkulasi pengetahuan ini menjadi momentum kearifan seorang pengarang akan luasnya sebuah pengetahuan yang bertransimisi waris-mewariskan dari memori orang-orang sebelumnya. Di sinilah kata Wallahu a’lam berperan penting sebagai simbol kebijaksanaan pengarang atau penulis yang menyadari bila mungkin saja terjadi reduksi dan menyerahkan hasil sepenuhnya itu kembali kepada Allah (hanya Allah yang lebih tahu). Karena pengetahuan yang dimilikinya pun juga sebagai buah hasil penafsirannya dari warisan pengetahuan orang sebelumnya, yang tidak terbebas dari reduksi dan penyederhanaan. Wallahu a'lam.

*Zulhamdani,

Mahasiswa PPs UIN Sunan Kalijaga, bergiat literasi di MJS Project.
Tulisan ini terbit di Buletin Masjid Jendran Sudirman edisi Jumat 20 Januari 2017.
Categories:

0 comments:

Post a Comment