Sunday, 6 November 2016

Jejak Orang Bijak

“Konon, ahli mantik, ahli hukum, ahli agama, dan beberapa pakar lainnya berjumlah 7 orang  berkumpul di istana raja untuk mengintrogasi Nasrudin (Seorang Tokoh Sufi). Mereka mengganngap ulah Nasrudin sebagai kasus yang serius karena Nasrudin seringkali berkelana dari satu desa ke desa lainnya dengan meneriakkann khutbah yang sama. “orang-orang yang mengaku dan disebut bijak, ahli dan terhormat itu” kata Nasrudin “sebetulnya adalah orang-orang bodoh, kebingungan dan orang yang tidak bisa mengambil keputusan”. Tentu saja perkataan itu dianggap subversif yang dapat mengganggu stabilitas negara. Dan Nasruddin dituding melecehkan, merendahkan dan mencemarkan nama baik para elit pada waktu itu.
Singkat cerita, sidang untuk Nasuddin dilanjutkan. Sebelum para pakar itu diberi waktu untuk mengintrogasi Nasruddin, Raja terlebih dahulu memperkenankan Nasrudin untuk bicara dan menyampaikan sesuatu jika ada yang ingin disampaikan.
“Tolong dibawakan kertas dan pena”, kata Nasrudin. Rajapun menyuruh pelayannya untuk memenuhi permintaan Nasruddin. “Tolong bagikan kertas dan pena kepada tujuh pakar yang duduk dihadapan saya.”Kemudian kertas itu dibagikan, “saya mohon setiap orang menulis jawaban di kertas itu pertanyaan ini” minta Nasruddin. “Apa itu roti?”
Raja kemudian meminta para pakar itu untuk memenuhi permintaan Nasruddin. Tujuh pakar itu pun melaksanakan permintaan raja. Setelah selesai, kertas yang dibagikan tadi itu kemudian di serahkan pada Raja, kemudian raja membacakan jawaban para pakar yang ditulis di kertas.
“Roti adalah sejenis makanan” kata pakar pertama. Pakar kedua menulis “Roti adalah tepung bercampur dengan air.” Pakar ketiga megatakan “Roti adalah tepung yang sudah di masak.” Kemudian pakar keempat menulis “Makna roti berubah-rubah tergantung apa yang anda maksud dengan roti.” “Roti adalah karunia tuhan.” kata pakar kelima. “Roti adalah makanan yang bergizi”, “Tidak seorang pun yang tahu sebenarnya apa itu roti.” Menurut pakar keenam dan ketujuh berkata “Hanya tuhan yan tahu makna roti yang hakiki”.
Mendengar jawaban para pakar yang dibacakan raja itu Nasrudin tersenyum dan berkata kepada raja:
“Dapatkan anda memercayakan urusan penilaian, keputusan kepada orang-orang ini. Bukankah sangat aneh, mereka tidak sepakat tentang sesuatu yang mereka makan setiap hari, tapi mereka sepakat menentukan bahwa saya adalah ahli bid’ah dan berlaku subversif.?”
           
Saya tidak mengetahui apakah kisah ini benar-benar terjadi atau tidak di masa lampau. Tetapi yang saya pahamai – terlepas dari benar-tidaknya peristiwanya – kisah ini, merupakan cara yang digunakan kaum bijak untuk memberikan nasehat atau pelajaran kepada orang-orang mengaku-aku paling segalanya dan punya otoritas untuk menyalah-benarkan orang lain sesuka kepala dan mulutnya. Kisah ini adalah cara kaum sufi untuk menggambarkan para pengaku ahli agama tetapi kemudian sibuk berdebat memperebutkan mana mazhab yang benar dan mana yang salah.
Nasrudin ingin memberikan pelajaran kepada para pemikir, para pakar agama, tentang sesuatu hal dengan cara yang sangat bijak. Seringkali identitas jabatan, kepakaran dan keahlian yang disematkan pada seseorang bisa menjebak dan menjauhkan seseorang dari mengenal siapa sebenarnya dirinya. Karena tidak disadari, jebakan itu membuat ia menghabiskan sisa hidup untuk menjaga dan melindungi identitas ‘kehormatan’ yang tersemat dan dianggap final olehnya. Akibatnya, ulah dan tingkah orang lain mudah dicurigai dan ia mudah tersinggung atasnya.
Para pakar, elit dan ahli yang sudah terjebak pada jebakan identitas dan mudah tersinggung itu seringkali satu suara untuk menvonis seseorang. Tetapi karena vonisnya hanya didasarkan pada asas ketersinggungan maka ketika diminta pertanggungjawaban atas vonis itu, mereka tidak punya alasan selain hanya karena sakit hati. Ibarat peristiwa dalam kisah Nasruddin di atas, sebenarnya yang mereka sepakati ialah bahwa orang yang di vonis itu adalah bersalah, dan kesalahan yang diperbuat tervonis itu adalah “menyinggung identitas kebesaran dan kehormatannya”.
Andai saja para pakar itu ditanya lebih tentang deteil sakit hatinya, maka jawabannya bisa beragam, sebagaimana beragamannya jawaban para pakar ketika ditanya tentang “apa itu roti?” oleh Nasruddin.
Terakhir, saya teringat pernyataan seorang guru “Andai saja sakit hati dan tersinggung bisa dijadikan alasan yang benar dan diterima untuk mengutuk dan mencaci orang lain, maka betapa banyak yang saya “anjing” dan “babi”kan dalam hidup ini.”
Sakit hati dan tersinggung adalah hak semua orang, tetapi kalau ia dijadikan pemandu kehidupan, akan hilanglah prikemanusiaan dalam hidup ini...
Categories:

0 comments:

Post a Comment