MEMBACA INDONESIA
Kompas, 27 Oktober 2016
Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, kitab perundang-undangan telah hadir di Nusantara untuk menciptakan keteraturan sosial. Aturan di kitab itu juga pernah betul-betul ditegakkan hingga akhirnya terwujud puncak kejayaan dan kesejahteraan rakyat.
Kitab perundang-undangan itu bernama Kutara Manawa atau Kitab Agama. Kitab itu terdiri atas 275 pasal dengan mayoritas di dalamnya memuat hukum pidana dan hanya sedikit yang mengatur hukum perdata.
Belum ada sumber pasti mengenai waktu lahirnya kitab ini. Mpu Prapanca dalam karyanya _Nagarakretagama_ menulis, saat Majapahit dipimpin Hayam Wuruk (1350-1389), aturan dan pelaksanaan dari kitab itu diperkuat. Akibatnya, rakyat tak berani melanggar ketentuan di kitab itu hingga akhirnya tercipta ketenangan dalam hidup.
"Hayam Wuruk yang berwibawa, memiliki pengetahuan sempurna. Padamlah niat jahat para penjahat dan pencuri. Pasti celaka barang siapa yang menentang perintah beliau atau yang menyeleweng dari kebenaran." Demikian bunyi pupuh 92 _Nagarakretagama._
Kala itu, raja memang menjadi kunci dalam penegakan aturan. Hal itu tersirat pula dalam mukadimah Kutara Manawa.
"Semoga Sang Amawabhumi (orang yang mempunyai atau menguasai negara) teguh hatinya dalam menerapkan besar- kecilnya denda, jangan sampai salah terap. Jangan sampai orang yang bertingkah salah, luput dari tindakan. Itulah kewajiban Sang Amawabhumi, jika beliau mengharapkan kerahayuan negaranya."
Namun, tegaknya aturan di Majapahit tak semata karena raja. Slamet Mulyana dalam bukunya, _Perundang-undangan Majapahit,_ menyebutkan tegaknya aturan juga karena kecakapan pejabat di Majapahit, terutama Mahapatih Gajah Mada dalam mengendalikan pemerintahan.
Tak hanya tajam ke bawah
Kepatuhan rakyat pada hukum di Majapahit juga terjadi karena hukum tak hanya tajam ke bawah. Ketika orang dekat atau pejabat di kerajaan melakukan pelanggaran, mereka pun harus dihukum.
Aturan mengenai hal itu tegas disebutkan di Pasal 6 Kutara Manawa. "Hamba raja meski ia menteri, jika ia menjalankan dusta, supaya diperlakukan sebagai pendusta. Jika ia melakukan tjorah (pencurian), perbuatannya mengikuti perbuatan pencuri. Jika hamba raja yang demikian atau jika ada menteri yang demikian, apabila dibunuh orang, pembunuhan tidak akan digugat."
Saat itu, ancaman untuk pendusta dan pencuri adalah hukuman mati. Bahkan, untuk kasus pencurian, raja berhak menyita harta dan tanah milik pencuri, istri, dan anaknya.
Selain hukuman mati, bentuk hukuman lain yang ada di Majapahit, antara lain pemotongan anggota tubuh, membayar denda, dan mengganti kerugian korban.
Khusus untuk denda, jika pelaku tak sanggup membayarnya, pelaku terhitung berutang kepada raja. Oleh karena itu, pelaku harus menjadi _dandadasa_ atau budak raja.
Beratnya ancaman hukuman di Majapahit itu menciptakan efek gentar bagi siapa pun untuk berbuat jahat. Terlebih penegakan hukum tidak pandang bulu. Siapa pun dihukum jika melanggar.
Inilah yang mendorong keteraturan sosial terjadi pada era Hayam Wuruk. Keteraturan sosial itu kemudian menjadi salah satu pendorong terciptanya kesejahteraan. Ketika hal itu terpenuhi, Majapahit mencapai puncak kejayaannya.
Namun, setelah Hayam Wuruk meninggal, kemudian pewarisnya tidak memiliki kepemimpinan yang kuat, seperti Hayam Wuruk, apalagi sering kali suksesi tidak mulus diwarnai perpecahan dan peperangan, supremasi hukum tak terelakkan ikut ditinggalkan.
"Dalam kondisi itu, keteraturan sosial pasti tidak terjadi. Hal itu bisa jadi salah satu penyebab utama Majapahit terus mengalami kemunduran pasca Hayam Wuruk," ujar pengajar Arkeologi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Daud Aris Tanudirjo.
Pelajaran
Pasang-surut penegakan hukum di Majapahit yang akhirnya juga berimbas pada pasang surut kerajaan itu, menjadi pelajaran yang relevan hingga saat ini. Jika sungguh-sungguh ingin membawa negara ke puncak kejayaan dan menyejahterakan rakyat, supremasi hukum menjadi salah satu kunci utamanya.
Pelajaran itu, saat ini masih menjadi pekerjaan rumah di Indonesia untuk mewujudkannya. Merujuk hasil kajian Indonesia Legal Roundtable (ILR), misalnya, indeks negara hukum Indonesia tahun 2015 ada di angka 5,32 dengan skala 1-10.
Indeks ini mengacu pada lima indikator, yaitu pemerintahan berdasarkan hukum, legalitas formal, independensi kekuasaan kehakiman, akses ke keadilan, dan perlindungan hak asasi.
Direktur Eksekutif ILR Todung Mulya Lubis mengatakan, skor di indeks negara hukum tahun 2015 menunjukkan regulasi yang masih belum berkualitas meski penyusunannya sudah lebih transparan dan partisipatoris. Pembenahan internal aparat penegak hukum juga masih bergerak lambat. Sementara instansi penegak hukum masih belum mampu membersihkan dirinya dari korupsi.
"Walaupun masih banyak kelemahan, aturan hukum saat ini pasti jauh lebih baik dibandingkan era Majapahit. Namun, itu tidak ada artinya kalau birokrat dan aparatur hukum tidak menegakkannya," ujar pengajar Hukum di Universitas Indonesia, Akhiar Salmi.
Belakangan ini, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya reformasi hukum. Salah satu implementasi kebijakan itu adalah pemberantasan pungutan liar di sejumlah tempat.
Namun, ada sejumlah pihak yang khawatir reformasi hukum ini hanya berlangsung sesaat. Pasalnya, janji penegakan hukum selalu disampaikan petinggi negeri ini di berbagai waktu pemerintahan.
Waktu akhirnya akan menjawab benar tidaknya kekhawatiran itu. Satu hal yang pasti, belajar dari Majapahit, jika ingin sungguh-sungguh ingin membawa negeri ini ke puncak kejayaan, tempatkan hukum di posisi tertinggi.
(A PONCO ANGGORO/EDNA C PATTISINA)
__________
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Oktober 2016, di halaman 5 dengan judul "Supremasi Hukum untuk Kejayaan".
0 comments:
Post a Comment