Negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan
Jika desa rusak, negara akan kekurangan bahan makanan
Kalau tidak ada tentara, negara lain mudah menyerang kita
Karena itu, peliharalah keduanya, itu perintah saya!
Perintah Raja Majapahit Hayam Wuruk kepada para wadana (semacam kepala wilayah yang membawahi sejumlah wanua atau saat ini disebut desa) seperti di atas, tertera di pupuh LXXXIX/2 Nagarakretagama.
Salah satu isi perintah tersebut, yaitu menjaga desa, menyiratkan pemahaman Hayam Wuruk akan pentingnya memelihara ketahanan pangan.
Perintah penguatan ketahanan pangan yang tertulis di Nagarakretagama tak hanya itu. Di pupuh LXXXVIII/2 dan 3 diceritakan, seusai perayaan besar di lapangan Bubat, Sri Nata Wengker (penguasa nagari atau raja Negara Bagian Wengker, sekarang masuk wilayah Ponorogo bagian selatan), di hadapan Hayam Wuruk, juga mengingatkan hal yang sama kepada para pembesar dan wadana.
"Tunjukkan cinta serta setia baktimu kepada Baginda Raja, terutama dataran tinggi dan sawah, agar tetap subur," demikian, kata Sri Nata Wengker.
Namun, tak sebatas titah. Hayam Wuruk juga memberi contoh dengan membuka ladang Watsari di Tigawangi. Demikian pula para pembesar Majapahit lainnya. Hal itu ditulis Mpu Prapanca di pupuh LXXXII/2, Nagarakretagama.
Bukti pembukaan ladang itu masih terlihat jejaknya hingga kini. Di area ladang yang dibuka Hayam Wuruk yang kini ada di daerah bernama Pare, Kediri, misalnya, ditemukan terowongan air bawah tanah yang dulu untuk irigasi persawahan.
Mengutip Peradaban Jawa, Dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir, karya Supratikno Rahardjo, penguatan ketahanan pangan berlangsung masif pada era Majapahit (1293 hingga 1486). Tidak sebatas ekstensifikasi berupa mencetak sawah baru. Namun, upaya intensifikasi juga dilakukan, seperti dengan memperbanyak pembangunan saluran irigasi dan kanal, kolam penampung air, hingga bendungan.
Dari foto udara yang pernah dilakukan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional mulai tahun 1973 sampai tahun 1980, terlihat adanya jaringan kanal di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, yang dulu menjadi ibu kota Majapahit. Jaringan itu panjangnya 4,5 hingga 5,5 kilometer dengan lebar bisa mencapai 80 meter dan kedalamannya hingga 9 meter.
Saat ini, mayoritas dari kanal itu sudah sulit dikenali karena tertutup sawah, permukiman penduduk, dan jalan raya. Namun, sisa-sisanya masih bisa dijumpai di beberapa tempat.
Adapun jumlah waduk, mengutip tulisan Karina Arifin di Majapahit: Trowulan, setidaknya terdapat 20 waduk kuno yang tersebar di dataran sebelah utara daerah Gunung Anjasmoro, Welirang, dan Arjuno. Begitu pula jumlah kolam penampung air yang banyak jumlahnya dan tiga di antaranya masih bisa dilihat hingga kini di Trowulan, yaitu Kolam Segaran (laut buatan), Balong Bunder (kolam bulat), dan Balong Dowo (kolam panjang).
Aturan pertanian
Pentingnya ketahanan pangan kian terlihat saat Hayam Wuruk memasukkan sejumlah aturan terkait pertanian berikut sanksinya, di kitab undang-undang hukum Majapahit yang disebut Kitab Undang-undang Kutara Manawa atau Agama.
Slamet Muljana dalam bukunya yang berjudul Perundang-undangan Majapahitmenulis, petani yang membiarkan tanah atau ladangnya terbengkalai, harus membayar ganti rugi sebesar nilai padi yang dapat dihasilkan dari tanah tersebut.
Bahkan, petani bisa dikenakan pidana mati jika diketahui telah mempersempit sawahnya. Jenis pidana ini disamakan dengan pencuri yang mencuri pada malam hari.
Hayam Wuruk juga melindungi petaninya. Pada pasal 260 Kutara Manawa disebutkan, siapa pun yang membakar padi di ladang harus membayar denda kepada petani pemiliknya. Denda itu besarnya lima kali lipat dari padi yang dibakar ditambah denda dua laksa oleh raja.
Sanksi ini terbilang besar karena besar denda di aturan lain, umumnya hanya dua kali lipat.
Dengan intensifikasi dan ekstensifikasi yang dilakukan secara masif, serta diperkuat oleh aturan hukum, produksi beras pada era Majapahit pun melimpah. Kondisi ini tak hanya memastikan rakyat Majapahit lepas dari kelaparan. Namun, lebih dari itu, beras akhirnya juga menyejahterakan rakyat. Ini karena beras itu diekspor hingga ke luar Majapahit, bahkan hingga ke wilayah negeri lain di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Asia Timur. "Sulit memercayai semua ini hanya dilakukan rakyat tanpa komando penguasa. Pencapaian itu juga menyiratkan kuatnya keberpihakan penguasa pada pangan. Ini karena penguasa sadar, pangan merupakan urat nadi penghidupan rakyat dan negara," tutur arkeolog dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono.
Keberpihakan itu menjadi salah satu kunci yang membuat Hayam Wuruk berkuasa hingga 39 tahun di Majapahit, dari 1350 hingga 1389. Kekuatan pangan itu pula yang membawa Majapahit ke puncak kejayaannya.
Tidak terpisahkan
Politik dan pangan memang seperti dua hal yang tidak terpisahkan. Beratus tahun pasca Majapahit, sejarah telah berulang-ulang menunjukkan bagaimana dua hal itu tidak dapat dipisahkan.
Kelangkaan pangan, turut menjadi faktor pendorong berakhirnya Orde Lama.
Pada era Orde Baru, persisnya pada tahun 1984, Badan Pangan Dunia (FAO) mengakui Indonesia mampu berswasembada pangan. Saat itu, harga pangan murah dan kondisi politik relatif stabil. Namun, keberhasilan ini tak berlangsung lama. Produksi beras berangsur mulai menurun dan di sisi lain ada peningkatan konsumsi beras. Akibatnya, pada 1990 Indonesia harus mengimpor beras.
Ujungnya, menjelang akhir era Orde Baru, lonjakan harga pangan kembali terjadi dan menjadi salah satu faktor yang mendorong berakhirnya Orde Baru.
Pada era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, masalah seputar beras sempat terjadi tahun 2015 sebagai dampak dari kemarau panjang. Harga beras sempat merambat naik. Masalah stok beras dan perlu tidaknya impor beras, sempat menjadi perbincangan.
Saat menghadiri peringatan Hari Pangan Sedunia ke-35, 17 Oktober 2015, Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat mengingatkan, masalah pangan bisa berimplikasi serius. Tidak hanya pada ekonomi, tetapi juga politik. "Kekurangan pangan bisa membuat tumbang suatu keadaan, di mana pun di dunia ini," ujar Kalla saat itu.
Apakah berbagai lintasan sejarah politik pangan ini lalu membuat kebijakan negara lebih berpihak pada pangan?
Kini, sebagian pemandangan yang terlihat adalah alih fungsi sawah masih banyak terjadi, sejumlah jaringan irigasi masih bermasalah, dan sistem distribusi pupuk belum bebas dari masalah. Petani pun sering kali cenderung dibiarkan sendirian menghadapi perubahan iklim yang mengganggu pola tanam hingga gejolak harga gabah dan beras.
Guru Besar Ilmu Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin melihat yang diinginkan oleh penguasa dan yang tertuang di rencana pembangunan, sering kali belum bisa diterjemahkan oleh sistem administrasi negara dan pemerintahan menjadi tindakan yang layak dan nyata di lapangan. Ini yang membuat keinginan swasembada pangan masih belum bisa terwujud.
Akhirnya, masa kejayaan Majapahit yang salah satunya disebabkan karena adanya keberpihakan terhadap pangan, kini masih menjadi harapan untuk terulang kembali di Indonesia. Ketika hal itu masih menjadi harapan, instabilitas politik berpotensi terus terjadi.
(A PONCO ANGGORO/EDNA C PATTISINA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Oktober 2016, di halaman 2 dengan judul "Pangan dan Gonjang-ganjing Politik".
0 comments:
Post a Comment