Monday, 24 October 2016

Majapahit, Politik Kekuasaan dan Maritim



Bangsa Indonesia dibangun melalui sejarah yang panjang. Kondisi sosial-politik Indonesia saat ini tak hadir dengan tiba-tiba dan pengaruhnya juga tidak akan serta-merta hilang pada masa depan. Mulai hari ini hingga Mei 2017, "Kompas" akan mengupas sejarah perjalanan bangsa Indonesia hingga kemungkinan yang akan terjadi di depan. Liputan bertajuk "Membaca Indonesia" ini, akan muncul di lima tulisan selama satu minggu pada setiap bulan, di halaman Politik Hukum "Kompas".



Majapahit sering dipandang sebagai mitos, bagian dari propaganda kebesaran bangsa Indonesia. Terlepas dari hal itu, tradisi dan gagasan pada era Majapahit yang saat puncak kebesarannya mampu menguasai Nusantara, dari Aceh sampai Papua, termasuk Semenanjung Malaysia, masih tersisa hingga saat ini.
Majapahit yang didirikan pada tahun 1293, mengalami puncak kejayaan di era Mahapatih Gajah Mada (menjabat 1334-1359) sampai meninggalnya Raja Hayam Wuruk (memerintah 1350-1389). Masa keemasan Majapahit ini dipengaruhi oleh aspek internal dan eksternal.
Pengajar pada Universitas Pertahanan, Kusnanto Anggoro, mengatakan, aspek eksternal yang memengaruhi masa keemasan Majapahit adalah kekuasaan di Tiongkok bagian selatan yang tidak bersifat totaliter. Hubungan Majapahit dengan India juga relatif independen. Dua hal ini memberi ruang pada Gajah Mada dan Panglima Angkatan Laut Majapahit Laksamana Nala untuk mendesakkan kekuasaannya di bagian barat Nusantara.
Sementara faktor internal terdiri dari teknologi perkapalan dan stabilitas politik internal Majapahit. Ketua Ikatan Asosiasi Arkeolog Indonesia (IAAI) Junus Satrio Atmodjo mengatakan, pada era Majapahit, kapal-kapal Nusantara telah sangat digdaya, terutama dibandingkan dengan kapal-kapal Tiongkok. Semua bangkai kapal yang ditemukan di perairan Indonesia kontemporer berasal dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, atau Sulawesi. Kapal-kapal itu berlayar sampai ke India dan Tiongkok. "Contohnya, reruntuhan kapal di Cirebon yang berasal dari tahun 973 M, panjangnya 50 meter," kata Junus.
Fakta menarik disampaikan peneliti Pierre-Yyves-Manguin dalam Journal of Southeast Asian Studies Vol 11, No 2, 1980. Ia membantah kalau perahu bercadik di relief Candi Borobudur adalah representasi kapal Nusantara. Menurut dia, perahu bercadik itu hanya untuk menjaga keamanan laut di wilayah pantai dan berbeda dengan kapal dagang samudra. Manguin mengutip catatan dari Tiongkok yang menyebut bahwa hingga abad ke-8 Masehi, Tiongkok tidak punya kapal samudra. Tiongkok malah gentar dengan kapal-kapal K'un-lun, sebutan untuk Asia Tenggara. Catatan tersebut menyebutkan, pada abad ke-3 Masehi, Nusantara telah memiliki kapal layar dengan panjang 50 meter, tinggi di atas air 5 meter, dan bisa mengangkut 700 orang ditambah muatan 750 ton. Bandingkan dengan kapal ekspedisi samudra Santa Maria milik Columbus tahun 1460, yang panjangnya hanya 19 meter dan mengangkut 41 orang.
Catatan lain berasal dari Gaspar Coereia, kru kapal Portugis Alfonso D'Albuquerque yang pada 1510 harus menghadapi kapal Nusantara. Ia bercerita, armada Portugis yang tiap kapalnya berukuran sekitar 20 meter menghadapi satu kapal Asia Tenggara "jung" yang ukurannya beberapa kali lipat. "Semua tembakan kami tidak membuat kapal juncto ini lecet sedikit pun. Tidak ada yang berani mendekat karena kapal itu tinggi sekali. Dindingnya empat lapis. Meriam terbesar kami tidak bisa menembus lebih dari dua lapis. Akhirnya sebuah kapal itu bisa kami kalahkan setelah bertarung dua hari," tulis Gaspar Coereia dalam catatannya.
Mandala
Konsolidasi politik internal juga menjadi faktor penting yang memengaruhi kebesaran Majapahit. Sejak didirikan oleh Raden Wijaya, Majapahit harus mengalami sejumlah pemberontakan yang dipicu oleh ketidakpuasan kalangan internal. Pemberontakan itu, antara lain, dilakukan Rangga Lawe (1295), Lembu Sora (1298-1300), Nambi (1316), dan yang terberat adalah pemberontakan Kuti (1319). Pemberontakan Kuti membuat Sri Jayanegara, raja kedua Majapahit, harus lari ke luar keraton. Ia diselamatkan oleh Gajah Mada.
Karena jasanya, Gajah Mada lalu diangkat menjadi Patih Kahuripan dan kemudian Patih Daha, lalu Mahapatih Majapahit pada 1334.
Dalam perkembangannya, Gajah Mada praktis menjadi komandan militer sekaligus pemimpin politik yang berhasil mengonsolidasikan internal Majapahit sehari sebelum ia mengucapkan Sumpah Palapa. Sumpah tersebut ibarat pernyataan politik yang menjadi pemersatu ke dalam dan memberi efek gentar ke luar.
Dalam menjalankan sumpahnya, Gajah Mada menggunakan strategi mandala yang diadopsi dari Kautilya, ahli strategi asal India yang memadukan perang dan diplomasi untuk mendapatkan kekuasaan. Hal ini secara implisit ada dalam kitab Negarakertagama, yang menyebutkan jika raja adalah pusat lingkaran yang konsentris. Tujuan dari Majapahit adalah perluasan Mandala, yaitu pengaruh dan bukan perluasan teritori. Menurut Kautilya, perang fisik, operasi intelijen, bahkan perang informasi bisa dipakai sebagai alat untuk meraih kekuasaan.
Dalam konsep Mandala, wilayah Majapahit dibagi dalam sejumlah istilah, seperti Jawabhumi, Nusantara, dan Mitreka Satata.
Paul Michel Munoz dalam bukunya Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula menjelaskan, terhadap penguasa perdikan (provinsi) di lingkaran Jawabhumi yang terbentang dari Yogyakarta sampai Madura dan Bali, Majapahit menarik pajak dan meminta dukungan militer. Armada perang laut Majapahit berasal dari perdikan di Tuban, Surabaya, dan Gresik.
Sementara terhadap penguasa di lingkaran Nusantara, seperti Maluku dan Sumatera, Majapahit memonopoli perdagangan serta menuntut loyalitas. Ikatan dilakukan dengan kekerasan militer atau pernikahan. Para penguasa di lingkaran Nusantara ini wajib mengirimkan upeti dan datang ke Majapahit setahun sekali untuk menunjukkan loyalitas. Pelanggaran akan ditindak tegas, terutama saat kekuatan militer Majapahit menurut buku A Story of Majapahit karya Slamet Muljana memiliki 30.000 prajurit.
Di luar Nusantara adalah lingkaran negara-negara sahabat, yang disebut Mitreka Satata, seperti Siam, Campa, Tiongkok, dan India. Upaya damai selalu didahulukan terhadap negara-negara itu. Caranya, antara lain, melalui pernikahan politik yang dilakukan dengan putri Campa. Namun, ada juga jalur kekerasan seperti dikisahkan buku History of South East Asia, tahun 1377 Majapahit menyerbu Palembang. Serbuan ini adalah bentuk hukuman karena tahun 1371 Palembang membuka hubungan langsung dengan Tiongkok.
Kekayaan
Majapahit menjadi kaya karena memanfaatkan potensi maritimnya, terutama poros perdagangan India-Tiongkok. Majapahit bahkan punya pejabat yang disebut Senopati Sarwa Jala-panglima berbagai air, termasuk sungai yang menjadi urat nadi distribusi beras yang adalah hasil utama Majapahit, ke pelabuhan di pantai utara. Beras kemudian dibawa ke Maluku untuk sebagian ditukar dengan rempah-rempah. Rempah-rempah dan beras ini yang kemudian dibawa ke Tiongkok atau India untuk ditukar keramik atau pakaian.
Di sepanjang perjalanan kapal yang membawa komoditas seperti beras dan rempah ini, bongkar-muat dilakukan di sejumlah tempat perhentian. Akibatnya, kapal tidak pernah kosong. Komoditas baru hasil perdagangan dimasukkan, seperti kapur barus dan emas. Ini membuat Majapahit kaya raya karena mendapatkan uang dari perdagangan, pajak, dan uang perlindungan untuk keamanan dari bajak laut. "Majapahit itu menjadi hub atau titik temu dengan adanya sentra-sentra produksi yang bisa dikuasai," kata Junus Satrio Atmodjo.
Akhirnya, kunci keberhasilan strategi Poros Maritim Majapahit ada dalam kemampuannya memainkan kekuatan maritim dan diplomasi dalam mengeksploitasi laut sebagai jalur perdagangan. Majapahit juga berhasil mengendalikan produksi komoditas, terutama beras dan rempah-rempah yang dibutuhkan negara lain, serta mengendalikan distribusi dan pertukaran antara berbagai pihak dengan menjamin keamanan maritim perairan Nusantara.
(EDNA C PATTISINA/A PONCO ANGGORO)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Oktober 2016, di halaman 5 dengan judul "Majapahit, Politik Kekuasaan dan Maritim".

Categories:

0 comments:

Post a Comment