Friday, 21 October 2016

Jihad Ideologis: Ekonomi Pancasila

Oleh: aHMAD ERANI YUSTIKA
Dalam sejarah, beberapa kali muncul perdebatan serius bernuansa keilmuan di Tanah Air. Misalnya, polemik pilihan bentuk negara kesatuan atau federal. Di ranah kebudayaan, ada polemik antara kelompok pengusung Manifes Kebudayaan dan kelompok seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat. Dalam pemikiran ekonomi, berlangsung polemik keras terkait sistem ekonomi nasional yang berkembang menjadi debat ”Ekonomi Pancasila”.
POLEMIK EKONOMI PANCASILA: PEMIKIRAN DAN CATATAN, 1965-1985

PENYUSUN:
Tarli Nugroho
KATA PENGANTAR:
M Dawam Rahardjo
PENERBIT:
Mubyarto Institute
CETAKAN:
2016
TEBAL:
xiv + 928 halaman
ISBN:
978-602-1217-28-3

Akar rumusan ekonomi negara sendiri dipengaruhi pikiran Mohammad Hatta. Bahkan, diyakini Pasal 33 UUD 1945 adalah ide otentik Hatta. Namun, istilah Ekonomi Pancasila sendiri tak dipakai oleh Hatta. Emil Salim, lewat dua risalah yang dipublikasikan pada 1965 (Sistem Ekonomi dan Ekonomi Indonesia dan Politik dan Ekonomi Pantjasila) adalah ekonom yang menggunakan istilah itu pertama kali.

Bermula dari tulisan Emil itulah meluncur pertukaran gagasan dari beragam ekonom pada zamannya, seperti Sumitro Djojohadikusumo, Mubyarto, Budiono, Anwar Nasution, Mohammad Sadli, Sukadji Ranuwihardjo, Ace Partadiredja, Frans Seda, Kwik Kian Gie, ataupun Sri-Edi Swasono. Bahkan, terlibat pula dalam bidang lain, seperti Franz-Magnis Suseno (filsafat), Arief Budiman (sosiologi), Ismail Suny (Hukum), dan beragam nama lagi.
Salah satu yang tekun menggeluti wacana Ekonomi Pancasila tersebut, tak sekadar berpolemik dengan Emil, adalah Mubyarto. Tulisan-tulisan terkait topik tersebut terserak dan menjadi penanda ”jenis kelamin” Mubyarto dalam memosisikan lokus akademiknya. Mubyarto meletakkan dasar-dasar persemaian debat intelektual dan sekaligus menjadi ”die hard” pertempuran wacana ini.

Publikasi Emil pada tahun 1965 sendiri juga menarik ditelaah. Hatta sebagai pusat pembentuk karakter sistem dan kebijakan ekonomi harus diakui telah meletakkan dasar-dasar sosialisme (penyebutan ini juga menimbulkan perdebatan). Pilihan tersebut menimbulkan implikasi yang dipandang tak enak terhadap perekonomian, seperti kemajuan ekonomi yang lambat, investasi yang tersendat, inisiatif warga yang tertekan, dan inefisiensi ekonomi. Faktor ini menjadi pangkal kritik Emil dari spirit risalahnya sehingga pesan ”Sistem” Ekonomi Pancasila-nya bisa dipersepsikan sebagai hasrat menanggalkan praktik ”ekonomi sosialis”. Namun, Emil berhati-hati untuk berbicara sistem ekonomi pasar, seperti apa yang ditulisnya, ”Apabila kita ingin mengarahkan kegiatan-kegiatan ekonomi ke arah pembangunan, maka organisasi ekonomi yang terlalu tergantung kepada pasar tidak begitu jitu memenuhi kebutuhan kita,” (hal 62).
Publikasi pada 1965 bukan sebuah kebetulan karena pada saat itu telah terjadi akumulasi proses ekonomi dan politik atas dinamika yang terjadi sejak 1945. Itu sebabnya, gagasan Ekonomi Pancasila yang dicetuskan Emil mulanya tak diniatkan sebagai ”jihad ideologis” mencari karakter paling sesuai dengan corak Indonesia. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan Hatta dan Mubyarto. Hatta jelas ideologis karena watak anti kapitalisme mengendap dalam nadi intelektualnya sehingga muncul rumusan Pasal 33 UUD 1945. Selini dengan anggapan ini, pada Juni 1979 Hatta juga menulis risalah Ekonomi Terpimpinyang disampaikan sebagai bahan pengarahan di Lembaga Pengkajian Ekonomi Pancasila. Adapun Mubyarto selalu bertolak dari Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) sebagai basis merumuskan ”Teori” Ekonomi Pancasila.

Muara perdebatan
Apakah perdebatan serius tersebut telah bermuara kepada penemuan bentuk Ekonomi Pancasila sebagai dasar penyelenggaraan ekonomi? Jika mengacu kepada kehendak memformulasikan ”teori” Ekonomi Pancasila, jawabannya belum. Namun, apabila kerangka jawaban berhilir kepada ”ciri” Ekonomi Pancasila, persilangan ide itu sudah memberi arah yang lumayan jelas. Seperti ditulis Mubyarto, setidaknya ciri itu tersebut dalam lima corak (hal 709): 1. Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral; 2. Kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah keadaan kemerataan sosial sesuai asas-asas kemanusiaan; 3. Prioritas kebijakan ekonomi adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh dan jiwa nasionalisme; 4 Koperasi merupakan soko guru perekonomian; dan 5. Adanya imbangan yang jelas antara perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi untuk menjamin keadilan ekonomi dan sosial.
Pandangan lain, dengan sebagian kerangka pemikiran yang berbeda, dilayangkan oleh Emil. Ia memberikan tekanan pada keberadaan perencanaan ekonomi, kegiatan ekonomi dipasrahkan kepada satuan-ekonomi-individual, pasar yang bekerja aktif, dan mekanisme harga terpakai untuk alokasi sumber-sumber dana dan faktor produksi. Pelaku ekonomi bekerja dalam hubungan keselarasan antara sesama, kegandrungannya pada unsur kemanusiaan, dan nilai-nilai agama sebagai basis aktivitas ekonomi (hal 123-125). Tampak bahwa ”sistem” Ekonomi Pancasila yang didesain Emil mewarisi tradisi berpikir ekonomi klasik yang bertumpu kepada mekanisme pasar dengan sentuhan nilai-nilai lain yang termaktub dalam Pancasila. Dengan tepat, Tarli Nugroho (penyusun buku ini) menyebut formula yang disusun Emil itu bukanlah sistem, melainkan ”orde ekonomi”. Sementara gagasan Mubyarto bukan teori, tetapi ”politik perekonomian” (hal 16).
Istilah-istilah itu merujuk tulisan Hatta yang membedakan antara teori ekonomi, politik ekonomi, dan orde ekonomi. Ilmu ekonomi adalah ilmu empiris mengenai cara manusia dalam mencapai kemakmuran. Politik ekonomi adalah siasat untuk melaksanakan teori ekonomi secara rasional dalam tindakan nyata. Orde ekonomi adalah bangun ekonomi, atau organisasi yang dibentuk untuk memecahkan persoalan ekonomi riil yang bersifat historis-relatif (hal 13). Jadi, ruang besar yang tersisa dari perdebatan ini adalah pekerjaan menata balok ”teori” Ekonomi Pancasila. Salah satunya bisa dilacak dari kritik Arief Budiman yang menganggap perdebatan Ekonomi Pancasila ini abai dalam dua hal pokok: filsafat manusia dan struktur sosial. Baginya, mustahil sistem perekonomian (Pancasila) tak berbicara soal asumsi manusia dan struktur sosial, tempat di mana penyelenggaraan ekonomi dilakukan (hal 373-376).
Buku ini sumbangan luar biasa bagi khazanah keilmuan nasional, lebih-lebih dalam konteks mendokumentasikan perdebatan sebuah topik khusus. Tarli Nugroho layak diberi apresiasi tinggi atas ketekunannya mengumpulkan bahan-bahan serta memberikan catatan yang menggugah. Buku ini makin relevan ketika pemerintah kembali mengagungkan terma ”Berdikari, Trisakti, Konstitusi, dan Pancasila” sebagai tulang punggung penyusun Nawacita. Tugas kita selanjutnya, seperti diungkapkan M Dawam Rahardjo dalam pengantarnya, menghidupkan kembali kajian mengenai Pancasila. Bergerak!
AHMAD ERANI YUSTIKA, EKONOM, DIRJEN PPMD KEMENDES; PENDAPAT PRIBADI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Oktober 2016, di halaman 24 dengan judul "Jihad Ideologis: Ekonomi Pancasila".


Categories:

0 comments:

Post a Comment