Oleh: aHMAD ERANI YUSTIKA
Dalam sejarah, beberapa kali muncul perdebatan serius bernuansa keilmuan di
Tanah Air. Misalnya, polemik pilihan bentuk negara kesatuan atau federal. Di
ranah kebudayaan, ada polemik antara kelompok pengusung Manifes Kebudayaan dan
kelompok seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat. Dalam pemikiran ekonomi,
berlangsung polemik keras terkait sistem ekonomi nasional yang berkembang
menjadi debat ”Ekonomi Pancasila”.
POLEMIK EKONOMI PANCASILA: PEMIKIRAN DAN CATATAN, 1965-1985
PENYUSUN:
Tarli Nugroho
KATA PENGANTAR:
M Dawam Rahardjo
PENERBIT:
Mubyarto Institute
CETAKAN:
2016
TEBAL:
xiv + 928 halaman
ISBN:
978-602-1217-28-3
Akar rumusan ekonomi
negara sendiri dipengaruhi pikiran Mohammad Hatta. Bahkan, diyakini Pasal 33
UUD 1945 adalah ide otentik Hatta. Namun, istilah Ekonomi Pancasila sendiri tak
dipakai oleh Hatta. Emil Salim, lewat dua risalah yang dipublikasikan pada 1965
(Sistem Ekonomi dan Ekonomi Indonesia dan Politik dan Ekonomi Pantjasila) adalah ekonom yang menggunakan istilah
itu pertama kali.
Bermula dari tulisan Emil itulah meluncur
pertukaran gagasan dari beragam ekonom pada zamannya, seperti Sumitro
Djojohadikusumo, Mubyarto, Budiono, Anwar Nasution, Mohammad Sadli, Sukadji
Ranuwihardjo, Ace Partadiredja, Frans Seda, Kwik Kian Gie, ataupun Sri-Edi
Swasono. Bahkan, terlibat pula dalam bidang lain, seperti Franz-Magnis Suseno
(filsafat), Arief Budiman (sosiologi), Ismail Suny (Hukum), dan beragam nama
lagi.
Salah satu yang tekun
menggeluti wacana Ekonomi Pancasila tersebut, tak sekadar berpolemik dengan
Emil, adalah Mubyarto. Tulisan-tulisan terkait topik tersebut terserak dan
menjadi penanda ”jenis kelamin” Mubyarto dalam memosisikan lokus akademiknya.
Mubyarto meletakkan dasar-dasar persemaian debat intelektual dan sekaligus
menjadi ”die hard” pertempuran wacana ini.
Publikasi Emil pada tahun 1965 sendiri
juga menarik ditelaah. Hatta sebagai pusat pembentuk karakter sistem dan
kebijakan ekonomi harus diakui telah meletakkan dasar-dasar sosialisme
(penyebutan ini juga menimbulkan perdebatan). Pilihan tersebut menimbulkan
implikasi yang dipandang tak enak terhadap perekonomian, seperti kemajuan
ekonomi yang lambat, investasi yang tersendat, inisiatif warga yang tertekan,
dan inefisiensi ekonomi. Faktor ini menjadi pangkal kritik Emil dari spirit risalahnya
sehingga pesan ”Sistem” Ekonomi Pancasila-nya bisa dipersepsikan sebagai hasrat
menanggalkan praktik ”ekonomi sosialis”. Namun, Emil berhati-hati untuk
berbicara sistem ekonomi pasar, seperti apa yang ditulisnya, ”Apabila kita
ingin mengarahkan kegiatan-kegiatan ekonomi ke arah pembangunan, maka
organisasi ekonomi yang terlalu tergantung kepada pasar tidak begitu jitu
memenuhi kebutuhan kita,” (hal 62).
Publikasi pada 1965
bukan sebuah kebetulan karena pada saat itu telah terjadi akumulasi proses ekonomi
dan politik atas dinamika yang terjadi sejak 1945. Itu sebabnya, gagasan
Ekonomi Pancasila yang dicetuskan Emil mulanya tak diniatkan sebagai ”jihad
ideologis” mencari karakter paling sesuai dengan corak Indonesia. Hal ini
berbeda dengan yang dilakukan Hatta dan Mubyarto. Hatta jelas ideologis karena
watak anti kapitalisme mengendap dalam nadi intelektualnya sehingga muncul
rumusan Pasal 33 UUD 1945. Selini dengan anggapan ini, pada Juni 1979 Hatta
juga menulis risalah Ekonomi
Terpimpinyang disampaikan sebagai bahan pengarahan di Lembaga Pengkajian Ekonomi
Pancasila. Adapun Mubyarto selalu bertolak dari Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945
(Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan)
sebagai basis merumuskan ”Teori” Ekonomi Pancasila.
Muara perdebatan
Apakah perdebatan serius tersebut telah
bermuara kepada penemuan bentuk Ekonomi Pancasila sebagai dasar penyelenggaraan
ekonomi? Jika mengacu kepada kehendak memformulasikan ”teori” Ekonomi
Pancasila, jawabannya belum. Namun, apabila kerangka jawaban berhilir kepada
”ciri” Ekonomi Pancasila, persilangan ide itu sudah memberi arah yang lumayan
jelas. Seperti ditulis Mubyarto, setidaknya ciri itu tersebut dalam lima corak
(hal 709): 1. Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan
moral; 2. Kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah keadaan kemerataan
sosial sesuai asas-asas kemanusiaan; 3. Prioritas kebijakan ekonomi adalah
penciptaan perekonomian nasional yang tangguh dan jiwa nasionalisme; 4 Koperasi
merupakan soko guru perekonomian; dan 5. Adanya imbangan yang jelas antara
perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi untuk menjamin keadilan
ekonomi dan sosial.
Pandangan lain, dengan sebagian kerangka
pemikiran yang berbeda, dilayangkan oleh Emil. Ia memberikan tekanan pada keberadaan
perencanaan ekonomi, kegiatan ekonomi dipasrahkan kepada
satuan-ekonomi-individual, pasar yang bekerja aktif, dan mekanisme harga
terpakai untuk alokasi sumber-sumber dana dan faktor produksi. Pelaku ekonomi
bekerja dalam hubungan keselarasan antara sesama, kegandrungannya pada unsur
kemanusiaan, dan nilai-nilai agama sebagai basis aktivitas ekonomi (hal
123-125). Tampak bahwa ”sistem” Ekonomi Pancasila yang didesain Emil mewarisi
tradisi berpikir ekonomi klasik yang bertumpu kepada mekanisme pasar dengan
sentuhan nilai-nilai lain yang termaktub dalam Pancasila. Dengan tepat, Tarli
Nugroho (penyusun buku ini) menyebut formula yang disusun Emil itu bukanlah
sistem, melainkan ”orde ekonomi”. Sementara gagasan Mubyarto bukan teori,
tetapi ”politik perekonomian” (hal 16).
Istilah-istilah itu merujuk tulisan Hatta
yang membedakan antara teori ekonomi, politik ekonomi, dan orde ekonomi. Ilmu
ekonomi adalah ilmu empiris mengenai cara manusia dalam mencapai kemakmuran.
Politik ekonomi adalah siasat untuk melaksanakan teori ekonomi secara rasional
dalam tindakan nyata. Orde ekonomi adalah bangun ekonomi, atau organisasi yang
dibentuk untuk memecahkan persoalan ekonomi riil yang bersifat historis-relatif
(hal 13). Jadi, ruang besar yang tersisa dari perdebatan ini adalah pekerjaan
menata balok ”teori” Ekonomi Pancasila. Salah satunya bisa dilacak dari kritik
Arief Budiman yang menganggap perdebatan Ekonomi Pancasila ini abai dalam dua
hal pokok: filsafat manusia dan struktur sosial. Baginya, mustahil sistem perekonomian
(Pancasila) tak berbicara soal asumsi manusia dan struktur sosial, tempat di
mana penyelenggaraan ekonomi dilakukan (hal 373-376).
Buku ini sumbangan luar biasa bagi
khazanah keilmuan nasional, lebih-lebih dalam konteks mendokumentasikan
perdebatan sebuah topik khusus. Tarli Nugroho layak diberi apresiasi tinggi
atas ketekunannya mengumpulkan bahan-bahan serta memberikan catatan yang
menggugah. Buku ini makin relevan ketika pemerintah kembali mengagungkan terma
”Berdikari, Trisakti, Konstitusi, dan Pancasila” sebagai tulang punggung
penyusun Nawacita. Tugas kita selanjutnya, seperti diungkapkan M Dawam Rahardjo
dalam pengantarnya, menghidupkan kembali kajian mengenai Pancasila. Bergerak!
AHMAD ERANI YUSTIKA, EKONOM, DIRJEN PPMD
KEMENDES; PENDAPAT PRIBADI
Versi cetak artikel ini terbit di harian
Kompas edisi 22 Oktober 2016, di halaman 24 dengan judul "Jihad Ideologis:
Ekonomi Pancasila".
0 comments:
Post a Comment