Thursday, 20 October 2016

Dari Santri untuk Negeri


Dulu, pesantren identik dengan sistem pendidikan tradisional yang suntuk menggeluti ilmu agama, dan para santri seolah terputus dari dunia luar. Saat modernitas menggebu dengan teknologi informasi kian canggih, pesantren pun lebih responsif. Jangan heran jika kini semakin banyak santri yang terbuka, gaul, dan berjiwa nasionalis.
Para santri madrasah tsanawiyah  tengah belajar bahasa Arab di Laboratorium Bahasa, Pondok  Pesantren Darunnajah, Kelurahan Ulu Jami, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Selasa (18/10).
KOMPAS/ILHAM KHOIRI
Para santri madrasah tsanawiyah tengah belajar bahasa Arab di Laboratorium Bahasa, Pondok Pesantren Darunnajah, Kelurahan Ulu Jami, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Selasa (18/10).
Selasa (18/10) siang yang cerah, sejumlah santri putri Madrasah Tsanawiyah (MTs) berkumpul di Laboratorium Biologi Pondok Pesantren Darunnajah di Kelurahan Ulu Jami, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Mereka mengenakan seragam jilbab putih, baju lengan panjang putih, dan rok panjang biru.
Terbagi dalam beberapa kelompok, masing-masing dibekali satu mikroskop, mereka bergiliran memicingkan mata di depan lensa bulat kecil untuk melihat wujud stomata atau lubang-lubang pernapasan pada daun. Mereka mencocokkan pengamatan satu sama lain. ”Wah, bentuknya kayak sarang tawon,” kata Jihan (12), siswa kelas I MTs.
”Santri kami perkenalkan pada sel sebagai bagian dari sistem organisasi kehidupan,” kata Dwi Retno, guru pendamping di laboratorium.
Tak jauh dari situ, di Laboratorium Bahasa, para santri putra menonton animasi yang ditayangkan di layar lebar di depan kelas. Film itu mengisahkan beberapa anak yang bermain, tetapi membuat barang-barang di rumah menjadi berantakan. Semuanya dalam bahasa Arab yang bisa jelas didengar lewat headphone di setiap meja.
Saya’ti abiy wa yuaqibuniy,” kata salah satu bocah dengan wajah kecut dalam animasi itu.
Kepala Laboratorium Bahasa Arab Siti Kholilah Yasin menjelaskan, maksud kalimat tersebut adalah ayah bocah itu akan datang dan bakal menghukumnya. Para santri lantas diajak bersama-sama mengulangi kalimat itu.
”Lebih enak belajar bahasa lewat animasi kayak gini. Visual memudahkan kami memahami mufradat (kosakata),” kata Fatah Hilal Nugraha Ramadhan, siswa kelas 2 MTs.
Laboratorium Biologi dan Laboratorium Bahasa hanya sebagian dari berbagai fasilitas di Pesantren Darunnajah. Lembaga ini juga serius mengembangkan unit-unit usaha, tata boga, koperasi, bahkan salon. Selain pelajaran agama Islam serta bahasa Arab dan bahasa Inggris, para santri juga dibekali berbagai pilihan keterampilan.
Kepala Sekolah MTs Darunnajah Much Hasan Darojat menjelaskan, semua program itu untuk menyiapkan santri yang berkualitas, unggul, dan bisa berkompetisi di kehidupan nyata. ”Selepas dari pesantren, mereka bisa menjadi apa saja sesuai minat masing-masing,” katanya.
Lebih dari itu, para santri juga diperkenalkan pada jaringan internasional. Pesantren Darunnajah mempunyai program pertukaran pelajar bekerja sama dengan Holy Family Catholic School di Inggris. Selama 10 tahun, ada 22 guru dan 27 santri tingkat madrasah aliyah yang mengikuti program itu.
”Santri jadi lebih terbuka, wawasan luas, dan tidak kuper (kurang pergaulan),” kata Much Hasan, yang juga dipercaya sebagai Kepala Bidang Hubungan Luar Negeri Pesantren Darunnjah.
Nasionalisme


KOMPAS/ILHAM KHOIRI
Para santri Madrasah Aliyah Pondok Pesantren An Nahdlah di Pondok Petir, Bojongsari, Depok, Jawa Barat, Selasa (18/10), tengah belajar organisasi dan kepemimpinan.
Hari beranjak sore. Di Pesantren An-Nahdlah di Kelurahan Pondok Petir, Kecamatan Bojongsari, Depok, Jawa Barat, puluhan santri madrasah aliyah juga sibuk. Di satu ruang pertemuan, mereka mengikuti latihan kepemimpinan yang digelar Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU). Mereka diberi kertas karton, dan tiap kelompok diminta membuat dream mapping alias peta mimpi sebagai pemuda.
Satu kelompok melukis pelangi, burung garuda, dan bendera merah putih. Saat maju presentasi di depan, Fadlillah (16), salah satu anggotanya, menjelaskan, pelangi itu gambaran tentang masyarakat Indonesia yang majemuk. ”Pemuda harus membangun negara, juga berakhlakul karimah (perilaku baik),” katanya, yang disambut tepuk tangan teman-temannya.
Ketua IPPNU Komisariat An-Nahdlah Syifa Fauzia mengungkapkan, pengenalan organisasi itu dirancang untuk melatih para santri agar menjadi mandiri, belajar kepemimpinan, bertanggung jawab, dan peduli dengan sesama manusia. Program ini juga menyadarkan mereka tentang Indonesia yang telah diperjuangkan para pendiri bangsa dan harus dijaga oleh generasi muda.
”Para santri dimotivasi agar punya mimpi besar untuk negara dan agama,” kata Syifa, yang kini kelas III madrasah aliyah.
Pengasuh Pesantren An Nahdlah Miftahul Huda menambahkan, para santri di sini diajak memahami Islam yang santun, damai, bisa hidup rukun dalam bingkai negara Indonesia yang majemuk. ”Santri kuat memegang prinsip keislaman, tapi juga menghargai orang beragama lain,” katanya.
Peran besar
Program pendidikan di Pesantren Darunnajah dan An Nahdlah menggambarkan usaha pesantren untuk memodernisasi diri agar tetap relevan dengan perubahan zaman. Para santri tidak melulu mendalami ilmu agama, tetapi juga dibekali ilmu umum, teknologi, dan berbagai keterampilan praktis. Mereka juga berlatih kepemimpinan dan memperluas wawasan kebangsaan.
Menurut Ketua Robithoh Ma’ahid Islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama (NU) Abdul Ghafar Rozin, pesantren dituntut untuk mengembangkan wawasan kebangsaan agar melahirkan para santri yang mampu memahami sumber-sumber agama Islam, sekaligus menerjemahkannya sesuai konteks bangsa. Dengan demikian, mereka lebih terbuka, berjiwa nasionalis, dan tidak terjebak dalam pandangan sempit. Fungsi ini strategis karena jumlah pesantren sangat besar.
Berdasar data RMI, ada sekitar 22.000 pesantren yang berafiliasi dengan NU di seluruh Indonesia. Ditambah pesantren dari organisasi-organisasi Islam lain, total jumlahnya diperkirakan mencapai 28.000 pesantren. Sebagian merupakan pesantren salaf yang mempertahankan sistem pendidikan tradisional. Sebagian lain mengadaptasi pendidikan modern.
Semua pesantren itu diharapkan menanamkan pemahaman kebangsaan kepada anak didiknya. ”Jika demikian, para santri akan menjadi garda depan dalam menjaga keutuhan negara,” katanya.
Dalam hal ini, keputusan Presiden Joko Widodo menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional sejak tahun 2015 cukup beralasan. Momen itu merujuk ”Resolusi Jihad” yang dicanangkan KH Hasyim Asyári. Pendiri NU itu menyerukan jihad untuk membela Tanah Air dari penjajah sebagai fardhu áin(kewajiban) bagi setiap orang.
Seruan itu mengantisipasi tentara Belanda yang datang untuk menguasai kembali Indonesia. Bermodal resolusi ini, arek-arek Surabaya—termasuk para santri—bahu-membahu mempertahankan Indonesia. Santri adalah bagian penting dari upaya memperjuangkan kemerdekaan.
Zaman berubah, dan para santri tetap memiliki tugas besar. Kini, mereka—bersama seluruh elemen bangsa—dituntut menjaga keutuhan NKRI yang telah diperjuangkan para pendiri bangsa.(IAM/TIA)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Oktober 2016, di halaman 25 dengan judul "Dari Santri untuk Negeri".
Categories: ,

0 comments:

Post a Comment